PEROMBAKAN PERJANJIAN EKSTRADISI ASEAN
Oleh REZA ZAKI (Juni 2019)
ASEAN (Association of Southeast Asian Nations) dibentuk pada tanggal 8 Agustus 1967 di Bangkok, Thailand oleh lima negara pendiri, yaitu Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand melalui penandatanganan Deklarasi Bangkok. ASEAN beranggotakan beberapa negara di Asia Tenggara yaitu Indonesia, Malaysia, Filphina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Mengingat kepentingan geografis, ekonomis dan politik yang strategis, ASEAN telah mencoba perluasan anggota kepada negara-negara tetangga di sekitar ASEAN sejak beberapa tahun belakangan ini. Negara-negara perluasan keanggotaan ASEAN tersebut yaitu Bangladesh, Palau, Papua Nugini, Republik Tiongkok (Taiwan), dan Timor Leste.
Sejak dibentuknya ASEAN sebagai organisasi regional, negara ASEAN telah meletakkan kerjasama ekonomi sebagai salah satu agenda utama yang perlu dikembangkan. Pada awalnya ekonomi difokuskan pada program-program pemberian preferensi perdagangan (preferential trade), usaha patungan (joint ventures), dan skema saling melengkapi (complementation scheme) antar pemerintah negara ASEAN maupun pihak swasta di kawasan ASEAN.
Pada era 80 dan 90-an, ketika di berbagai negara di belahan dunia mulai melakukan upaya-upaya untuk menghilangkan hambatan-hambatan ekonomi, negara-negara anggota ASEAN menyadari bahwa cara terbaik untuk bekerjasama dengan saling membuka perekonomian mereka, guna menciptakan integrasi ekonomi kawasan.
Negara-negara anggota ASEAN tengah menggondok model perjanjian ekstradisi di kawasan. Namun, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI) menyebutkan bahwa kesepakatan itu masih terkendala perbedaan sistem hukum masing-masing negara tersebut.
Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, “Damos Dumoli Agusman” mengatakan bahwa kesepuluh negara ASEAN masih terus berupaya menyelaraskan kepentingan dan sistem hukumnya masing-masing demi menghasilkan suatu model perjanjian yang bisa diterima semua anggota.
Setahun sebelum pelaksanaan AEC (ASEAN Economic Community) dimulai, pemerintah Indonesia telah menerbitkan Keputusan Presiden No. 37 Th. 2014 Tentang Komite Nasional Persiapan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Keputusan Presiden tersebut adalah sebagai bentuk penerapan hasil dari perjanjian internasional yang telah disepakati dari kesepakatan tersebut ke dalam hukum nasional Indonesia, yang sesuai pada Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional, dalam tahapan ratifikasi dalam Pasal 1 huruf (b) UU No. 24 Th. 2000 dan Pasal 1 ayat (2) Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2004 Tentang Komite yang dibentuk sepenuhnya bertanggungjawab kepada Presiden. Pasal ini menginstuksikan semua hal yang dilakukan oleh komite yang telah dibentuk, sepenuhnya dilaporkan dan dipertanggung jawabkan kepada Presiden. Pasal ini mengartikan Komite ini ada dibawah naungan tanggungjawab Presiden, yang mana sesuai dengan Konstitusi, hal tersebut akan dipertanggungjawabkan oleh Presiden kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai Lembaga Negara yang berwenang mengawasi dan mengontrol berjalannya Keputusan Presiden tersebut.
Dalam Pasal 2 Keputusan Presiden No. 37 Tahun 2014, disebutkan tugas-tugas dari komite tersebut. Dari intisari Pasal tersebut, dapat ditarik garis lurus mengenai beberapa alasan mengapa Presiden membentuk Komite ini, diantaranya yaitu: 1. Waktu pelaksanaan perjanjian tersebut yang tidak terasa cepat, dan kesiapan pemerintah Indonesia baik secara Sumber Daya Manusia (SDM) , dan aspek-aspek pendukung lainnya seperti alat teknologi dan komunikasi yang bisa disebut seadanya, tanpa persiapan yang matang; 2. Supaya Sumber Daya Manusia (SDM) di Indonesia dapat bersaing dalam berjalannya AEC (ASEAN Economic Community) tersebut walaupun masih berada dibawah harapan untuk dapat bersaing dengan Sumber Daya Manusia (SDM) dari Negara ASEAN yang lainnya yang dimulai dari segi ilmu pendidikan, kreativitas, dan faktor pendukung lainnya. Selain itu, masing belum maksimalnya sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah kepada masyarakat mengenai AEC (ASEAN Economic Community) ini, yang mengakibatkan banyaknya masyarakat Indonesia yang tidak paham dan tidak mengerti akan AEC (ASEAN Economic Community)ini, bahkan sampai menimbulkan rasa takut didalam prasangka masyarakat Indonesia; 3. Selain faktor-faktor penghambat yang telah disebutkan, regulasi didalam negeri Indonesia pun mulai dari pusat hingga daerah belum sepenuhnya dalat menjadi pondasi yang dapat menopang pelaksanaan dari AEC (ASEAN Economic Community) tersebut.
Adanya kerjasama antarnegara-negara ASEAN tersebut disebabkan karena adanya perbedaan Sumber Daya Alam (SDA) di masing-masing negara, adanya perbedaan perkembangan teknologi di masing-masing negara, dan adanya perbedaan potensi dan spesialisasi di masing-masing negara tersebut. Kerjasama tersebut dikarenakan rata-rata negaranya adalah negara berkembang yang memerlukan negara lain untuk berinteraksi, berinterelasi dan menunjang negara berkembang untuk menjadi negara lebih maju. Maka sesama anggota ASEAN perlu adanya tolong menolong/saling membantu (kerja sama) dalam bidang apapun. Karena jikalau terjadi perpecahan negara di kawasan ASEAN mampu bertahan apabila terjadi krisis perekonomian dunia. Jadi, sebagai perhimpunan negara-negara yang berdomisili di kawasan Asia Tenggara, ASEAN memantapkan diri kepada masyarakatnya dalam berbagai bidang. (***)