People Innovation Excellence

NORMA “OPPRESSIVE” SEBAGAI BENTUK PERLINDUNGAN TERHADAP PEMEGANG SAHAM MINORITAS

Oleh AGUS RIYANTO (Juni 2019)

Dalam tulisan ini terminologi “oppressive”merujuk kepada konteks hukum korporasi. Tidak untuk arti yang lain. Hal ini penting diperjelas untuk menghindari salah paham pemaknaannya. Apakah oppressive itu ? Dalam bahasa Inggris Oppressive diterjemahkan sebagai menindas. Namun yang dimaksudkan Oppressive dalam tulisan ini adalah adanya pemaksaan kehendak pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas. Hal ini dapat terjadi karena dalam Perseroan Terbatas selalu saja ada potensi pertentangan (tension)pemegang saham mayoritas dan pemegang saham minoritas. Kebertentangan bermula dari keberbedaan besaran kepemilikan saham antara kedua pemegang saham. Pemegang saham mayoritas dengan kekuatan mengendalikan lebih dari setengahnya saham (50%) dan pemegang saham minoritas hanya memiliki kurang dari setengah (49%) saham yang tidak dapat mengendalikan perusahaan. Dengan dominasi kepemilikan, maka pemegang saham mayoritas berpotensi menyalahgunakan kekuasaannya dengan menindas pemegang saham minoritas dalam hal terjadi perbedaan kepentingan.

Ketidaksamaan kepentingan dapat terjadi dalam hal terjadinya pengambilihan saham, penggabungan, penjualan saham yang ditolak, peningkatan modal perseroan, perubahan status badan hukum tertutup menjadi terbuka, pembelian kembali saham, pemberhentian dan pengangkatan Direksi atau Komisaris, peningkatan modal dan lain-lain aksi korporasi yang dapat mempengaruhi harmonisasi hubungan antara pemegang saham. Dalam hal terjadi pertentangan-pertentangan tersebut sesuai dengan Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) jalan keluarnya adalah melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sebagai penyelesaiannya. Dalam RUPS, sebagai forum para  pemegang saham, telah diaturlah prosedur pengambilan suara (voting) dengan ketentuan bahwa keputusan RUPS adalah sah dan mengikat apabila disetujui lima puluh pemegang saham ditambah satu atau dikenal dengan prinsip suara terbanyak (majority rule).  Dengan ketentuan inilah, pemegang saham mayoritas dengan mudah memaksakan kehendaknya kepada pemegang saham minoritas. Inilah yang penulis maksudkan dengan “oppressive” pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas. Konsekuensinya, maka pemegang saham minoritas yang lemah dengan mudah disisihkan, serta akan dirugikan dengan kepentingannya pemegang saham mayoritas yang tidak dikehendakinya. Prinsip mayoritas berpegang kepada ketentuan siapakah yang menguasai atau mengendalikan lebih dari setengah suara plus satu berarti yang bersangkutanlah yang berhak menentukan keputusan-keputusan yang akan diambil oleh perseroan.

Di dalam prakteknya, oppressive pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas dapat dilakukan minimal dengan dua cara, yaitu: Pertama, oppressive secara langsung. Dalam hal ini pemegang saham mayoritas secara langsung dapat memaksakan kehendaknya kepada pemegang saham minoritas. Misalnya dalam pengangkatan Direksi atau Komisaris atau penentuan garis kebijakan perseroan. Pemegang saham mayoritas dapat menolak calon dan/atau rencana yang diajukan pemegang saham minoritas dengan jumlah suara yang ada padanya memaksakan pengangkatan calon dari pemegang saham mayoritas. Hal ini tidaklah dapat dihindari karena pemegang saham minoritas memiliki keterbatasan jumlah suara yang dimilikinya dan kalah dengan kepemilikan saham milik pemegang saham mayoritas. Kedua, oppressive secara tidak langsung. Dalam hal ini pemegang saham mayoritas tidak secara langsung memaksakan kehendak terhadap pemegang saham minoritas akan tetapi pemaksaan dilaksanakan melalui pengurus perseroan yaitu Direksi dan Komisaris. Hal ini dapat dilakukannya karena RUPS yang diadakan untuk dapat memberhentikan atau mengangkat Direksi dan Komisaris maka pemegang saham mayoritas akan memilih dan mengangkat orang yang disukainya dan tidak untuk yang tidak disukainya. Hal ini biasanya terjadi pada perusahaan tertutup karena yang menjadi Direksi atau Komisaris perseroan adalah para pemegang sendiri. Dengan kondisi ini, seluruh kegiatan dari seluruh kegiatan perseroan akan dilakukan dengan mengikuti kehendak pemegang saham mayoritas dan tanpa harus memperhatikan kehendaknya pemegang saham minoritas meskipun mungkin saja ide-ide dan gagasannya dapat memberikan keuntungan perseroan.

Untuk memperoleh gambaran akan diberikan ilustrasi bagaimana oppressive itu dapat terjadi. Perseroan A bergerak dalam bidang usaha tertentu dan telah mencapai kemajuan dan berkembang yang pesat serta memberikan keuntungan yang besar kepada pemegang saham. Pemegang saham yang tidak beritikad baik (dalam hal ini adalah pemegang saham mayoritas) setelah itu menyadari hal ini, mulai mengatur strategi untuk memiliki seluruh kegiatan dan keuntungan yang dimilikinya perseroan A. Langkah pertama yang dilakukan adalah mendirikan perseroan baru, perseroan B, yang tentunya tidak mengikusertakan pemegang saham lainnya (terutama sekali pemegang saham minoritas diperseroan A). Perseroan B ini merupakan perseroan tandingan yang bergerak di dalam bidang yang sama. Tahap selanjutnya adalah menjerumuskan perseroan A dengan tujuan yang tidak menguntungkan atau bahkan pailit. Untuk itulah, diangkat Direksi dan Komisaris yang selanjutnya mengelola perseroan A secara tidak baik (setara serampangan dan sembrono). Akibatnya perseroan A menjadi lumpuh dan akhirnya mengalami kehancuran dan sesuai rencana terpaksa bangkrut atau dibubarkan. Keseluruhan rencana ini tentunya tidak dapat dilakukan pemegang saham minoritas karena tidak dapat mengontrol dan mengendalikan perseroan A tersebut dan kalaupun tidak sependapat dengan kehendak pemegang saham mayoritas dalam RUPS pemegang saham minoritas tidak akan dapat menolak kehendak pemegang saham mayoritas. Artinya, kepemilikan saham yang terbatas menjadi penyebab utama pemegang saham dapat menindas dengan sekehndak dan keinginannya.

Terjadinya oppressive dalam praktik, baik yang langsung maupun tidak, ternyata menjadi kenyataan terjadi di hampir seluruh belahan dunia. Menghadapi kenyataan ini beberapa negara telah mencoba membatasi atas berbahayanya oppressive ini terhadap pemegang saham minoritas membuat norma tersendiri dalam hukum korporasinya. Hal ini terlihat beberapa negara telah mengaturnya seperti di United Kingdom dalam section 210 Companies Act 1948, Australia melalui section 232 Corporations Act 2001, Canada dalam Section 241 Canada Business Corporation Act 1985, New Zealand melalui Section 174 Companies Act 1993, Singapore dalam Section 216 Companies Act (Cap 50) 2006. Kontradiksi dengan yang diatur Pasal 61 UUPT yang ternyata tidak mengaturnya. Pasal 61 UU-PT hanya menegaskan bahwa :

 (1)    Setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan terhadap Perseroan ke pengadilan negeri apabila dirugikan karena tindakan Perseroan yang dianggap tidak adil dan tanpa alasan wajarsebagai akibat keputusan RUPS, Direksi, dan/atau Dewan Komisaris.

  (2)  Gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan ke pengadilan negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Perseroan.

Dengan ketentuan Pasal 61 UUPT tersebut, maka alas dasar untuk menggugat pemegang saham minoritas hanya terbatas karena alasan tidak adil dan tanpa alasan wajar (yang tidak jelas juga maksudnya, karena tidak dijelaskan rinci ukuran dan kriterianya) dan tidak ada atau tidak diatur norma “oppressive” di dalamnya. Dengan ketiadaan norma tersebut menjadi bertambah sulitlah memperjuangkan pemegang saham minoritas menegakkan hak-haknya apabila ditindas pemegang saham mayoritas. Masalah ini mendesak untuk diatur, karena di negara-negara yang telah mengaturnya saja Oppressive kerap dan terjadi (lihat kasus Ebrahimi v Westbourne Galleries Ltd [1973] AC 360), sementara di Indonesia yang tidaklah memiliki tradisi dan sejarah kuat dalam menangani dan melindungi pemegang saham minoritas urgensi untuk mengatur dengan menambahkan norma Oppressive dalam Pasal 61 UUPT adalah realitas yang seharusnya segera dilakukan. Melalui penormaan Oppresive, maka kejelasan dan keberpihakan negara kepada yang lemah dapat dibuktikan kesungguhan sebagaimana yang diamanatkan Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 yang menegaskan bahwa “ ….. untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia….”. Dengan dasar ini, maka kata melindungi memberikan dasar yang paling kuat bagi negara untuk menjalankan tugasnya melindungi segenap bangsa Indonesia, melindungi warganya dari tindakan-tindakan yang tidak adil, karena kekerasan, kelaliman dan termasuk juga perbuatan penindasan terhadap pemegang saham minoritas.

 LITERATUR :

  • Vanesa Mitchell, Gamboto and the Rights of Minority Shareholders, (1994) 6 Bond Law Review.
  • Lyden Griggs and John P. Lowry, Minority Shareholder Remedies : A Comparative View, Journal Business Law, Vol 10 (1994) 463.
  • Stapledon, Use of the Oppression Provision in Listed Companies in Australia and the United Kingdom, The Australian Law Journal, Vol 67 (1993).
  • Brian Cheffins, The Oppression Remedy in Corporate Law: The Canadian Experience, 10 J. Int’l L. 305 (1998).
  • Pearlie Koh, A Reconsideration of the Shareholder’s Remedy for Oppression in Singapore. (2013). Common Law World Review. 42, (1).
  • Timbul Thomas Lubis, Mayoritas Versus Minoritas di Dalam Suatu Perseroan Terbatas, Jurnal Hukum & Pembangunan, FH-UI,Vol 12, No5 (1982).
  • Misahardi Wilamarta, Hak Pemegang Saham Minoritas Dalam Good Corporate Governance (Disertasi), Pasca Sarjana FH UI, Jakarta, 2002


Published at : Updated

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close