MEMAHAMI ‘SEDITION ACT’ DALAM HUKUM INGGRIS
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2019)
Dalam beberapa literatur dalam common law system terutama dalam hukum Inggris dan negara jajahannya seperti Singapura dan Malaysia kita kerap menemukan jenis kejahatan yang dinamakan dengan sedition. Tindak pidana ini berbeda dengan treason yang dalam bahasa Indonesia disepadankan dengan kata makar. Lalu apa yang dimaksud dengan sedition tersebut?
Secara harafiah sedition diartikan sebagai hasutan untuk menentang otoritas yang sah (sedition). Kata Hasutan makar (sedition), bermula dari kata seditious intent (niat jahat) yang berarti kata-kata apa pun yang diucapkan atau ditulis yang memiliki kecenderungan, untuk menyebabkan pertikaian atau melemahkan kewenangan otoritas pemerintah, dan diucapkan atau dipublikasikan dengan sengaja. Dalam perkembangan awalnya tahun 1695 kebenaran tidak dibenarkan sebagai pembelaan dalam sedition, namun hal ini berubah melalui Fox Libel Act 1792 yang memperbolehkan juri untuk memperbolehkan kebenaran sebagai dasar pembelaan jika opini yang disampaikan dengan niat yang baik. Pada abad kesembilan, melalui Fox Libel Act pengertian sedition berubah menjadi:
“Niat untuk (1) ketidakpuasan yang membangkitkan, kebencian, atau penghinaan terhadap kedaulatan atau pemerintah dan kerajaan, atau parlemen atau peradilan, atau (2) mengasut subjek di bawah kewenangan raja untuk melakukan percobaan guna merubah apapun terkait penetapan gereja atau hukum (3) untuk mempromosikan perasaan niat buruk dan permusuhan antara kelas yang berbeda.”
Secara singkat terdapat tiga model dalam sedition libel. Pertama, menghina untuk menentang terhadap kedaulatan atau pemerintah dan kerajaan, atau parlemen atau peradilan. Kedua, hasutan untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan merubah penetapan hukum. Ketiga hasutan yang bertujuan untuk mengganggu perdamaian antar kelas penduduk. Dalam prinsip bahaya (harm principles), keberadaan ketiga model ini menimbulkan pertanyaan mengenai masih perlukah adanya ketentuan khusus yang mengatur mengenai hasutan untuk menentang otoritas yang sah (sedition). Hal tersebut dikarenakan ketiga model tersebut telah memiliki pengaturannya dalam ketentuan hukum yang ada. Model pertama telah masuk dalam lingkup hukum perdata, sedangkan dua model terakhir telah mencangkup dalam “hukum pidana normal untuk kata-kata” (the normal criminal law of words),[1] Penambahan ketentuan khusus tidak kah merupakan bentuk pengekangan berlebih terhadap kebebasan berekspresi. Dua bentuk terakhir juga telah meliputi dari “hukum pidana normal untuk kata-kata”, sedangkan bentuk yang pertama meliputi bagian dari penghinaan dalam hukum perdata. Dalam prinsip bahaya (harm principle) kemudian dipertanyaan apakah perlu mengatur hukum pidana mengenai sedition ini secara khusus.
Konsep berasal dari hukum Inggris. Terdapat tiga model penghinaan berupa hasutan untuk menentang otoritas yang sah (sedition libel) dalam Fox Libel Act. Pertama, menghina untuk menentang terhadap kedaulatan atau pemerintah dan kerajaan, atau parlemen atau peradilan. Kedua, hasutan untuk melakukan perbuatan melawan hukum dengan merubah penetapan hukum. Ketiga hasutan yang bertujuan untuk mengganggu perdamaian antar kelas penduduk. Dalam prinsip bahaya (harm principles), keberadaan ketiga model ini menimbulkan pertanyaan mengenai masih perlukah adanya ketentuan khusus yang mengatur mengenai hasutan untuk menentang otoritas yang sah (sedition). Hal tersebut dikarenakan ketiga model tersebut telah memiliki pengaturannya dalam ketentuan hukum yang ada. Model pertama telah masuk dalam lingkup hukum perdata, sedangkan dua model terakhir telah mencangkup dalam “hukum pidana normal untuk kata-kata” (the normal criminal law of words), kejahatan-kejahatan tersebut memerlukan salah satu dari kesengajaan berbahaya atau perilaku yang lalai, dan membutuhkan apa yang ada beberapa kemungkinan obyektif bahwa jenis kerusakan yang relevan akan dihasilkan oleh kata-kata yang diucapkan dalam situasi tersebut.[2] Penambahan ketentuan khusus tidak kah merupakan bentuk pengekangan berlebih terhadap kebebasan berekspresi.
Tidak dalam pandangan Feinberg karena “hukum pidana normal untuk kata-kata” (the normal criminal law of words) dengan standart yang ketat langsung kepada bahaya terlalu longgar untuk mencegah bahaya yang serius sehingga memerlukan ketentuan khusus yang memperkuat standar kecenderungan buruk (bad tendency) dan dugaan niat. Kecenderungan buruk (bad tendency) merupakan kata-kata yang dapat dihukum atas kecenderungan bahaya jauh sebelum ada kemungkinan bahwa hal itu kan pecah menjadi tindakan yang melanggar hukum dan tes akan dugaan kesengajaan tersebut hanya dibutuhkan kesengajaan pelaku untuk mempublikasikan kata-katanya. Secara rasional apabila terdapat kata-kata yang pasti berkontribusi pada sebuah situasi yang menuju suatu bahaya, adalah suatu kebodohan untuk tidak menghukumnya sebelum situasi mencapai batas bahaya yang sesungguhnya. Alasannya hal tersebut cenderung merusak rasa hormat dan kesetiaan yang berkontribusi terhadap kerusakan yang lebih serius dalam jangka panjang. Dengan mendasarkan pada padangan Holmes, Feinberg berpendapat bahwa bahwa kongres (negara) memiliki hak untuk mencegah terhadinya bahaya yang jelas dan nyata dengan membuat ketentuan yang menghukum pelaku.[3] Tentu tujuan utamanya adalah untuk menyelamatkan negara. Oleh karenanya ketentuan sedition harus diatur dalam aturan khusus yang berbeda dengan “hukum pidana normal untuk kata-kata” (the normal criminal law of words).
Akan tetapi standart prinsip bahaya (harm principles) sedition sama dengan standart bahaya yang jelas dan nyata pada “hukum pidana normal untuk kata-kata” (the normal criminal law of words). Selain harus memperhatikan situasi tempat, waktu dan pendengar harus terdapat suatu gambaran rasionalitas terhadap bahaya yang jelas dan nyata yang menghubungkan pelaksanaan dari prinsip bahaya (harm principles) dalam area ekspresi politik. Dalam suatu negara yang aman tidak ada tempat untuk hasutan terhadap revolusi, sehingga hasutan terhadap revolusi haruslah dilarang, kecuali apa yang dikatakan oleh Zechariah Chafee sebagai suatu keadaan waktu yang luar biasa dengan ketegangan yang tinggi. Demikian pula dengan seseorang yang mengasut untuk membunuh presiden di media berbeda pengaruhnya dengan orang yang menghasut untuk membunuh presiden di suatu warung di perumahan. Berbeda dengan mengajarkan suatu idologi atau paham politik tertentu di negara yang aman tentu tidak menimbulkan bahaya yang jelas dan nyata. Akan tetapi ketika akan berbahaya ketika dimulai dengan meningkatnya jumlah pengikut, ditambah kekuatan pengikut dan terdapat suatu momentum untuk memantiknya.[4]
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, memiliki ketentuan yang sepadan dengan sedition. Bedanya ketentuan tersebut tidak menjadi satu pasal tetapi bertebaran dalam beberapa subbab dalam buku II KUHP. Beberapa kejahatan yang disepadankan dengan sedition dalam KUHP Indonesia antara lain tindak pidana penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 134 dan Pasal 137 KUHP), tindak pidana penyebaran kebencian anatar sesama penduduk Indonesia (Pasal 154, 155, 156, 156 a dan 157 KUHP) dan tindak pidana penghasutan untuk menyerang kekuasaan umum (160 dan 161 KUHP). (***)
REFERENSI:
[1] Joel Feinberg, Freedom and Fulfilment (New Jersey: Princeton University Press, 1992). hlm. hlm.146.
[2] Ibid., hlm.146.
[3]Ibid., hlm.149.
[4]Ibid., hlm.147-151.