KRITIK FEINBERG TERHADAP PANDANGAN MILL
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2019)
Dalam tulisan ini, penulis akan membahas salah satu kritik Joel Feinberg terhadap apa yang dikemukan oleh John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Pandangan dari Joel Feinberg dimuat dalam tulisanya yang berjudul The Limits of Free Expression of Opinion yang ditulis pada tahun 1975. Tulisan tersebut merupakan salah satu bab dalam buku Feinberg yang berjudul Freedom and Fulfilment.
Feinberg mengemukakan teori yang lebih memperketat kebebasan berekspresi dengan mendasarkan pada prinsip bahaya (harm principles). Fokusnya pada pembenaran hukum pidana sebagai kekuatan politik untuk membatasi kebebasan berbicara. Hal tersebut dilakukan melalui dua cara, yaitu batasan yang kuat khusus pada kriminalisasi ekspresi, dan prinsip-prinsip umum yang membatasi kriminalisasi tindakan pada umumnya.[1]
Pandangan Feinberg merupakan kritik atas pandangan John Stuart Mill dalam bukunya yang berjudul On Liberty. Mill berpendapat bahwa menekan kebebasan berekspresi akan lebih menimbulkan bahaya daripada ekspresi itu sendiri oleh karenanya hal tersebut tidak dibenarkan. Larangan terhadap kebebasan berpendapat tidak hanya berbahaya bagi hak individu tetapi juga bagi publik. Oleh karena itu, hanya ekspresi yang menyebabkan bahaya langsunglah yang dilarang. Dengan tidak melakukan pelarangan terhadap kebebasan beropini yang tidak menimbulkan bahaya langsung maka merupakan bentuk komitmen untuk meminimalisasi risiko permanen atas suatu kesalahan. Dalam pandangan Mill kebebasan berpendapat merupakan upaya untuk mengungkap kebenaran, semakin diberi kesempatan untuk menyerang suatu opini yang disampaikan maka semakian besar kebenaran akan terungkap, kecuali memang para pihak dari awal telah bersepakat untuk mengenyampingkan hal ini. Kebebasan berpendapat tersebut diberikan atas asumsi suatu infabilitas yaitu suatu opini mengenai keadaan yang benar dan tidak dapat salah.[2] Feinberg tidak sependapat dengan pandangan Mill mengenai asumsi infabilitas karena tidak ada risiko untuk membatasi infabilitas tersebut. Asumsi akan infabilitas sulit untuk diterima terutama dalam kaitannya dengan prinsip bahaya (harm principles) karena tidak ada garis pembatas yang jelas mengenai risiko serius yang memperbolehkan seseorang berbicara mengenai opini yang sudah pasti kebenarannya dengan yang tidak/masih belum jelas. Oleh karena itu Feinberg tidak sepaham dengan padangan Mill yang melarang pembatasan kebebasan berbicara atas dasar infabilitas tersebut, menurut Feinberg apabila hanya opini yang benar saja yang diperbolehkan maka semakin besar risiko untuk melarang ekspresi yang bertentangan dengan kebenaran. Feinberg juga mengkritisi pandangan utilitarian Mill yang berpandangan bahwa kemerdekaan berekpresi hanya dibenarkan karena berguna bagi masyarakat. Terhadap hal ini Feinberg mengkririsi bahwa terdapat keadaan di mana mengizinkan orang untuk berbicara dan mengutarakan pendapanya secara bebas akan menyebabkan lebih banyak kerugian. [3]
Feinberg setuju mengenai kebebasan berekpresi namun terdapat batasan-batasan yang lebih ketat dibandingkan dengan apa yang disampaikan oleh Mill. Dengan menggunakan prinsip bahaya (harm principles), Feinberg mengkritisi dan membatasi kebebasan berekspresi dalam bentuk-bentuk ekspresi yaitu penghinaan dan kejahatan kebenaran (defamation and malicious of truth), invasi privasi (inventions of privacy) dan ekspresi yang menyebabkan bahaya bagi orang lain (expressions that cause others to do harm).
Terkait dengan kebenaran (truth), Feinberg mengemukakan dua pendapatnya. Pertama, ia mengkritik kebenaran yang dipergunakan sebagai dasar pembenar untuk melindungi kepentingan privat maupun kepentingan publik. Kebenaran tidak dapat dianggap sebagai perlindungan yang utama karena ada kalanya opini yang salah disampaikan dengan tidak merusak harga diri dan pribadi orang lain sehingga tidak mengandung bahaya. Kedua, ia mengkritik posisi kebenaran dalam pandangan utilitarian Mill. Kebenaran dalam kaitannya dengan kepentingan publik bukanlah dengan memposisikan orang dapat berbicara mengenai kebenaran dengan sepuasnya karena dalam beberapa hal jauh lebih penting untuk menghindarkan kesalahan dari pada mengedepankan kebenaran.[4] Kebenaran tidak selalu didahulukan terhadap kepentingan yang menyangkut reputasi individu seseorang. Rasionalitas dari kebenaran menjadi tidak menyakinkan hanya atas dasar bahwa tidak adanya bahaya bagi kepentingan publik tetapi hal ini sesungguhnya mencederai reputasi dan kehidupan individu.[5] Pada akhirnya Feinberg menyimpulkan bahwa prinsip bahaya (harm principles) akan mengijinkan pernyataan yang tidak berbahaya baik apakah pernyataan benar atau tidak, akan tetapi hal ini membutuhkan tanggung jawab, kecuali hal tersebut memiliki tujuan sosial yang positif.[6]
Terkait dengan invasi privasi (invasions of privacy), Feinberg mengkritisi perselisihan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. Prinsip utilitarian yang dikemukan oleh Mill tidak menyentuh perselisihan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan umum. setiap kepentingan terkait bahaya (harm) akan tetapi tidak mudah untuk menentukan kepentingan mana yang lebih vital. Antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain saling berhubungan dan berkaitan satu dengan yang lainnya serta terdapat penumpukan antara kepentingan pribadi dengan kepentingan publik. Penyeimbangan kepentingan bukan hanya terletak pada membedakan mana yang lebih vital dan mana yang lebih tinggi derajatnya tetapi menjadi satu dengan aspek kualitas moral.[7] Permasalahan mengenai penyeimbangan kepentingan juga menjadi bahasan ketika Feinberg membahas mengenai hasutan untuk melawan otoritas yang sah (sedition).
Dalam hukum pidana, hanya dapat menghukum pelaku ketika perkatanya baik secara lisan maupun tulisan bertujuan menyebabkan terjadinya bahaya atau secara sadar mengabaikan risiko tinggi dan secara tidak rasional membiarkan resiko bahaya akan terjadi. Feinberg membagi ekspresi yang menyebabkan bahaya bagi orang lain (expressions that cause others to do harm) tersebut menjadi tiga yaitu ekspresi yang menyebabkan panikan (causing panic), memprovokasi untuk pembalasan kekerasan (provoking retaliatory violence),[8] menghasut untuk melakukan kejahatan atau pemberontakan (incitement to crime or insurrection).[9] Hanya bahaya yang jelas dan nyata yang merupakan bahaya serius sebagai konsekuensi dari perkataan seseorang yang dikemukan baik secara sengaja maupun secara lalai yang dapat dihukum.[10]
Kausalitas antara ekspresi yang diungkapkan dengan tempat, waktu dan pendengar menjadi hal yang penting untuk diperhatikan. Dalam ekspresi yang menyebabkan panikan (causing panic) harus ada probabilitas yang objektif dimana terjadi kepanikan yang terjadi akibat adanya kata-kata yang ia sampaikan. Oleh karenanya reaksi dari orang-orang disekitar juga mempengaruhi pemenuhan unsur kesengajaan tersebut. Demikian pula dalam provokasi untuk membalas kekerasan (provoking retaliatory violence) ekspresi tersebut dipandang sebagai provokasi yang tidak dilindungi hanya apabila disampaikan di ruang publik kepada pendengar yang tidak memiliki pilihan lain selain mendengarkan perkatan-perkataan tersebut. Pendengar adalah orang normal yang dalam keadaan semula tidak memiliki niat untuk melakukan kekerasan namun provokasi tersebut telah merubah perilakunya sehingga melakukan kekerasan. Lebih lanjut dalam hasutan untuk melakukan kejahatan atau pemberontakan (incitement to crime or insurrection) terdapat dua point yang harus digarisbawahi dalam kaitannya dengan hukuman terhadap orang yang menghasut. Pertama, pendengar harus merupakan pendengar yang radang dan marah. Kedua, seseorang baru dapat dihukum apabila ia menyampaikan hasutannya tersebut dengan kesengajaan atau setidak-tidaknya secara sembarangan dengan menghubungkan pada konsekuensi yang dihasilkan dari perkataannya. Yang perlu menjadi catatan adalah inisiatif dari orang yang memberikan nasehat merupakan faktor krusial penyebab orang melakukan tindak pidana. Apabila pelaku dapat memprediksi respon yang dilakukan oleh orang lain sesuai dengan apa yang ia kehendaki maka perbuatan pelaku merupakan penyebab utama.[11] Hal ini menjadi pembenar prinsip bahaya (harm principles) bagi ekspresi yang menyebabkan bahaya bagi orang lain (expressions that cause others to do harm). (***)
REFERENSI:
[1] David A Richards, “Liberalism, Free Speech and Justice for Minorities,” in Harm’s Way Essay in Honor of Joel Feinbreg, edited by Jules L. Coleman dan Allen Buchanan, (New York: Cambridge University Press, 1994). hlm 92.
[2] John Stuart Mill, On Liberty (Ontario: Batoche Books Limited, 2001). hlm. 19.
[3] Joel Feinberg, Freedom and Fulfilment (New Jersey: Princeton University Press, 1992). hlm. 124-125.
[4] Mill, Op.cit. hlm. 20.
[5] Pandangan Feinberg tersebut dikemukan dengan menggunakan contoh kasus seorang pecandu narkotika dan postitusi yang telah bertobat. Contoh tersebut berawal ketika ada seorang mantan pecandu narkotika yang sekaligus merupakan mantan pekerja seksual yang bertobat dan menikah dengan seorang pimpinan gereja di suatu desa kecil. Ketika ia telah memulai hidup baru dan menjadi orang yang baik, seorang yang tidak senang dengan dirinya memberitahukan kepada masyarakat desa mengenai masa lalu dirinya. Apa yang disampikan oleh orang yang tidak senang tersebut benar akan tetapi hal ini mencederai mantan pecandu narkotika tersebut. Hal ini tentu tidak memberikan ketidakadilan dan memberikan perbaikan pada diri mantan pecandu narkotika yang telah bertobat tersebut.
[6] Feinberg, Op.cit. hlm.132.
[7] Feinberg, Op.cit hlm.135-136.
[8] Memprovokasi untuk pembalasan kekerasan (provoking retaliatory violence) terjadi apabila seseorang menyampaikan perkataan yang tidak menyenangkan berakibat kekerasan terhadap dirinya yang dilakukan oleh penonton yang marah, terjadi kontra kekerasan oleh pihak lain dan bereskalasi menjadi kericuhan merusak kedamaian.
[9] Menghasut untuk melakukan kejahatan atau pemberontakan (incitement to crime or insurrection) meliputi bentuk nasehat, perintah ataupun dorongan tersebut harus begitu serius niatnya dan memungkinkan beberapa kata-kata tersebut menimbulkan keinginan orang lain yang rasional untuk melakukan kejahatan.
[10] Feinberg, Op.cit. hlm.140.
[11] Feinberg, Op.cit. hlm.136-144.