KONTRIBUSI BINUS UNTUK PENGKAJIAN MPR
Pada tanggal 28 Mei 2019, Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, Shidarta, diundang sebagai narasumber oleh Lembaga Pengkajian MPR untuk menyampaikan pemikirannya di Gedung MPR-RI, Senayan, Jakarta. Diskusi dibuka oleh Ir. Rully Chairul Azwar, M.Si (politisi senior Partai Golkar) dan dimoderatori oleh Prof. Dr. Satya Arinanto (UI). Topik yang dibahas adalah tentang penegakan hukum melalui sistem peradilan, menampilkan dua pembicara lain dari Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial. Semula yang diundang adalah Ketua MA Prof. Dr. Hatta Ali, namun kemudian menugaskan dua hakim agung untuk menggantikan kehadirannya, yakni Dr. Andi Samsan Nganro dan I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H., sedangkan dari KY hadir Dr. Jaja Ahmad Jayus.
Acara ini dihadir oleh politisi, akademisi, aktivis senior seperti mantan Menkumham Andi Mattalata, politisi Jakob Tobing, Permadi, Zain Badjeber, Ketua Komnas HAM/MUI K.H. Amidhan, akademisi A.B. Kusuma (UI), Prof. Didik Rachbini (Mercu Buana), Prof. Adji Samekto (Undip/BPIP), mantan hakim konstitusi Dr. Maruarar Siahaan, mantan kedua IDI dr. Sulastomo, dan puluhan tokoh lainnya.
Shidarta dalam presentasinya memaparkan tentang peran profesi hakim dalam penegakan hukum, terutama dilihat dari perspektif filsafat hukum. Ia menekankan pentingnya profesi ini diberikan perhatian secara khusus agar kualitas penegakan hukum di Indonesia bisa menjadi lebih baik. Salah satu kebijakan yang harus diambil adalah pola pendidikan hukum, rekrutmen hakim, pelatihan, sampai pada pengawasan. Ia menyayangkan tarik-menarik soal kewenangan pengawasan internal dan eksternal antara MA dan KY, yang kontraproduktif.
Di sisi lain, penghormatan masyarakat terhadap sistem peradilan juga berkaitan erat dengan penghormatan mereka terhadap harkat dan martabat profesi hakim. Shidarta mencermati minat lulusan-lulusan terbaik fakultas hukum masih belum banyak terarahkan ke profesi ini. Pola rekrutmen juga masih belum cukup transparan. “Oleh sebab itu, MA tidak mungkin bisa bekerja sendiri memperbaiki ini semua. Keberadaan KY harus dimanfaatkan agar dapat mengisi kekurangan tersebut,” ujar peneliti dan eksaminator berbagai putusan hakim dan penulis buku penalaran hukum ini. Pada akhirnya, ia menyarankan agar peningkatan kualitas putusan hakim dapat didorong dengan menggalakkan eksaminasi putusan dan pemberian kemudahan akses bagi hakim-hakim dalam mengakses yurisprudensi. Hakim-hakim mulai dari tingkat pertama, menurutnya, juga harus berani membuat penemuan hukum (rechtsvinding), kendati mungkin terbuka kemungkinan dianulir oleh pengadilan tingkat banding dan kasasi.
Hakim Agung I Gusti Agung Sumanatha, S.H., M.H. mengakui bahwa ada perasaan segan para hakim di tingkat judex facti untuk melakukan terobosan-terobosan, karena boleh jadi malah dicurigai oleh Komisi Yudisial. Namun, ia menambahkan bahwa MA sendiri sebenarnya tidak punya niat untuk mereduksi apalagi meniadakan kewenangan MA dalam pengawasan terhadap perilaku para hakim, kendati ia berharap ada kejelasan koridor kewenangan dari masing-masing lembaga. (***)