CATATAN SEPUTAR RUU PENGHAPUSAN KEKERASAN SEKSUAL
Oleh SHIDARTA (April 2019)
Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang naskahnya sudah beredar di masyarakat luas, menarik untuk diberikan catatan kritis. Tulisan singkat ini tidak bermaksud memberikan catatan pasal demi pasal, melainkan hanya berfokus pada beberapa aspek saja, khususnya pada terma-terma penting yang memiliki implikasi terhadap pemahaman konseptual atas objek pengaturan undang-undang ini.
Konsideran menimbang pada RUU PKS ini menjelaskan latar belakang filosofis dan sosiologis dari keperluan pengundangannya. Redaksional dari konsideran ini perlu diperbaiki karena judul dari undang-undang ini adalah kekerasan seksual, sementara pada huruf c dari konsideran, muncul terminologi “diskriminasi gender” Tampaknya pembentuk undang-undang memang mengasosiasikan kekerasan seksual selalu berkonotasi kekerasan terhadap perempuan, padahal pada huruf d dari konsideran ini ditegaskan bahwa korbannya bisa perempuan, anak, dan kelompok rentan lainnya.
Dapat diduga bahwa fokus perhatian pertama yang dialamatkan pada RUU PKS ini adalah definisi dari kekerasan seksual itu sendiri. Kekerasan seksual menurut Pasal 1 butir 1 RUU PKS ini adalah:
“… setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya terhadap tubuh, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan/atau politik.”
Mari kita cermati definisi tersebut secara lebih saksama!
Pertama, kata-kata “… perbuatan merendahkan, menghina, menyerang, dan/atau perbuatan lainnya”. Kata-kata ini sekilas ingin menunjukkan adanya gradasi dari perbuatan kekerasan, yaitu dengan cara merendahkan, menghina, dan menyerang. Jika berhenti pada kata-kata ini, maka cara-cara tersebut bisa saja dilakukan secara verbal. Namun, kelanjutan dari kata-kata itu menunjukkan bahwa sasaran dari perbuatan itu ditujukan pada “tubuh seseorang…. secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang…” Kata-kata tersebut apabila dirangkai, memperlihatkan bahwa kekerasan di sini adalah kekerasan yang sudah sampai pada tahap kekerasan fisik. Tidak lagi berupa pelecehan seksual dengan cara verbal. Ternyata, kesimpulan sekilas ini keliru! Pada Pasal 11 dari RUU PKS ini disebutkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual meliputi: (1) pelecehan seksual, (2) eksploitasi seksual, (3) pemaksaan kontrasepsi, (4) pemaksaan aborsi, (5) perkosaan, (6) pemaksaan perkawinan, (7) pemaksaan pelacuran, (8) perbudakan seksual, dan (9) penyiksaan seksual. Dari sembilan kategori tersebut, kategori keenam (pemaksaan perkawinan) akan langsung menyedot perhatian khusus karena paling berpotensi mengundang polemik.
Kedua, sasaran dari kekerasan itu tidak hanya terhadap tubuh, tetapi juga hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi. Tidak jelas, apa maksud dari kata-kata “hasrat seksual seseorang” pada potongan kalimat ini. Juga kata “seseorang” di sini tampaknya diletakkan keliru karena seharusnya ditempatkan setelah kata “fungsi reproduksi”. Kata “tubuh” sebenarnya sudah mencakup semua anggota tubuh, termasuk yang berfungsi sebagai alat reproduksi.
Di atas sudah disinggung bahwa salah satu kategori dari tindak pidana kekerasan seksual adalah pemaksaan perkawinan. Apabila ditelaah dari pengertian yang dicantumkan dalam Pasal 17 RUU PKS ini, pemaksaan perkawinan terjadi apabila ada seseorang menyalahgunakan kekuasaannya dengan kekerasan, ancaman kekerasan, tipu muslihat, rangkaian kebohongan, atau tekanan psikis lainnya, sehingga seseorang (korban) tidak dapat memberikan persetujuan yang sesungguhnya untuk melakukan perkawinan. Tampaknya perancang undang-undang ini mengasumsikan bahwa jika sudah terjadi pemaksaan terhadap korban agar mau menikah (kawin?) dengan orang lain di luar persetujuannya, maka dengan sendirinya akan ada pemaksaan dalam hubungan seksual antara suami kepada isterinya (atau sebaliknya). Asumsi ini bisa menimbulkan implikasi yang tidak sederhana. Pertama, sasaran dari kekerasan itu, pada tahap persetujuan untuk melangsungkan perkawinan, tentu memperluas area kekerasan itu sendiri. Tidak lagi langsung ditujukan pada tubuh, atau lebih khusus lagi alat reproduksi. Kedua, apabila dua orang yang sudah terikat dalam perkawinan dikenakan tindak pidana demikian, maka akan muncul polemik tentang apa yang lazim disebut “marital rape”. Tampaknya RUU PKS ini memang membuka peluang pemidanaan terhadap perbuatan tersebut.
Ketiga, kata-kata “… secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, …” menunjukkan redudansi. Semua bentuk pemaksaan pasti bertentangan dengan kehendak, dalam hal ini kehendak dari korban. Namun, kata-kata ini bisa menjebak kita pada perdebatan. Bagaimana jika pada awalnya ada persetujuan dari salah satu pihak (baca: korban) dan pemaksaan baru terjadi pada tahapan perbuatan lebih lanjut? Dengan perkataan lain, apakah genus di dalam definiens-nya harus diubah, tidak lagi “perbuatan” melainkan “rangkaian perbuatan”?
Keempat, kata-kata “yang menyebabkan..” dan kata-kata “.., atau dapat berakibat ” merupakan dua potongan kalimat yang membingungkan. Tampak sekali perancang undang-undang ini terjebak dalam dilema penggunakan kata “sebab” dan “akibat”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata-kata “menyebabkan” dan “mengakibatkan” memang dimaknai kurang lebih sama, namun sebagai bahasa hukum, kita seharusnya dapat lebih hati-hati menggunakan kedua kata itu. Jika kita kembali kepada definisi kekerasan seksual dalam RUU PKS ini, anak kalimat: “… yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, … yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan …” menunjukkan bahwa tindak pidana kekerasan seksual adalah delik material. Delik ini membutuhkan akibat atau potensi akibat, yaitu berupa: (1) ketidakmampuan memberikan persetujuan secara bebas; dan kemudian belanjut menimbulkan: (2) penderitaan atau kesengsaraan fisik, psikis, seksual, dan kerugian ekonomi/sosial, budaya/politik. Suatu akibat dengan indikator yang tidak akan mudah ditentukan tolok ukurnya! Perlu dicatat bahwa ketidakmampuan memberikan persetujuan secara bebas ini haruslah disebabkan karena adanya ketimpangan relasi kuasa dan/atau relasi gender. Kata-kata “relasi gender” di sini sesungguhnya tidak perlu dicantumkan karena sudah tertampung pada kata-kata “relasi kuasa”. [Ketimpangan] relasi kuasa ini bisa antara orangtua dan anak, antara pria dan wanita, antara kakak dan adik, antara majikan dan buruh, dan sebagainya.
Pasal 1 butir 3 RUU PKS ini juga mendefinisi kata “orang”. Dikatakan bahwa setiap orang adalah orang perseorangan secara individual, orang secara kelompok yang terorganisir (baca: terorganisasi) atau tidak terorganisir, atau korporasi. Lalu kata “korban” pada Pasal 1 butir 5 dimaknai sebagai setiap orang, terutama perempuan dan anak yang mengalami peristiwa kekerasan seksual. Jika kedua definisi ini digabung, maka korban bisa sangat luas. Korban tidak harus orang perserorangan (individual), tetapi juga kelompok individu, bahkan korporasi. Tentu, sulit untuk membayangkan ada korporasi yang menjadi korban kekerasan seksual. Di samping itu, kata “peristiwa” dalam potongan anak kalimat: “.. yang mengalami peristiwa kekerasan seksual” pada definisi tentang korban, adalah kata yang mengganggu. Kekerasan seksual sudah didefinisikan sebagai perbuatan, sehingga kata “peristiwa” sebaiknya tidak perlu muncul.
Dalam rangka pencegahan kekerasan seksual ini, Pasal 6 RUU PKS mengamanatkan agar materi penghapusan kekrasan seksual dijadikan bahan ajar dalam kurikulum, non-kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan usia dini sampai perguruan tinggi. Amanat ini tentu bertujuan sangat baik, tetapi ada sedemikian banyak undang-undang yang memberi pesan serupa. Bisa dibayangkan, betapa sesak nanti kurikulum kita dengan materi-materi titipan seperti ini, yang sebenarnya bisa peserta didik dapatkan tanpa harus melalui bahan ajar di jalur pendidikan formal. Pasal 6 ini juga tidak konsisten dengan Pasal 8 RUU PKS karena di dalam Pasal 8 disebutkan bahwa kurikulum yang dimaksud adalah kurikulum pendidikan/pelatihan bagi pejabat dan aparatur penegak hukum. Tidak ada di sini penekanan bahwa pendidikan yang bermuatan materi itu adalah kurikulum pendidikan usia dini sampai dengan perguruan tinggi.
Hal lain yang pentng dicermati adalah hadirnya lembaga baru untuk melaksanakan undang-undang ini, yaitu Lembaga Pengada Layanan, yang bertugas melakukan pendampingan dan pelayanan korban dalam mengakses haknya atas penanganan, perlindungan dan pemulihan. Belum terlalu jelas seberapa lembaga ini memiliki irisan tugas pokok dan fungsi dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Di luar catatan-catatan tersebut masih banyak hal yang menarik untuk dipelajari dari RUU PKS ini, antara lain terkait dengan prosedur penegakan (hukum acara). Sebagai contoh tentang restitusi yang harus diberikan kepada korban. Jika terdakwa tidak sanggup membayar, maka restitusi ini dibebankan penalangannya kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) atau perusahaan tempat tersangka/terdakwa bekerja. Kata-kata “tersangka/terdakwa” di sini saja sudah menimbulkan tanda tanya, karena terminologi ini menunjukkan bahwa proses pengadilan belum selesai (bedakan dengan kata “terpidana”), sehingga sangat tidak lazim apabila sudah ada eksekusi berupa pembayaran uang restitusi kepada korban atau keluarga korban. (***)