People Innovation Excellence

RENSTRA KOMISI YUDISIAL DALAM OPTIK PUBLIK DAN INTERNAL HAKIM

Oleh SHIDARTA (April 2019)

Pada tahun 2019 ini, Komisi Yudisial akan menyusun kembali rencana strategis (renstra) untuk lima tahun ke depan, yaitu Renstra 2020-2024. Selama ini Komisi Yudisial sudah memiliki enam  sasaran strategis, yaitu:  (1) tersedianya hakim agung, hakim ad hoc di MA, dan hakim yang berkompeten, dan berintegritas; (2) terwujudnya peningkatan kompetensi hakim yang mengikuti pelatihan dan kesejahteraan hakim; (3) terwujudnya pengambilan langkah hukum/langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang atau badan hukum yang merendahkan kehormatan dan keluhuran martabat hakim; (4) terwujudnya hakim yang berkomitmen untuk melaksanakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim; (5) meningkatnya kepercayaan publik terhadap hakim; dan (6) peningkatan kapasitas kelembagaan menjadi organisasi yang efektif dan efisien.

Dari enam sasaran strategis tersebut, tiga di antaranya menyentuh secara langsung masyarakat sebagai pemangku kepentingan, yaitu sasaran nomor (3), (5), dan (6). Sementara tiga sasaran lain secara langsung ditujukan kepada tugas-tugas Komisi Yudisial untuk melakukan rekrutmen hakim, melatih kompetensi hakim, dan menurunkan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Ada indikator-indikator kuantitatif yang sudah ditetapkan untuk mengukur ketercapaian semua sasaran strategis tersebut.

Pada kesempatan ini, saya ingin memberi catatan terkait salah satu sasaran yang paling bersentuhan secara langsung dengan masyarakat. Tampaknya, puncak dari semua sasaran itu terletak pada sasaran nomor (5), yakni meningkatnya kepercayaan publik terhadap [institusi] kehakiman dan peradilan. Menurut catatan Komisi Yudisial, indeks kepercayaan publik terhadap hakim pada tahun 2018 berada pada angka 61. Angka ini melewati tipis skor yang dijadikan target oleh Komisi Yudisial untuk tahun 2019, yaitu 60. Jika saja, hasil Lingkaran Survei Indonesia (LSI) tahun 2018 yang dijadikan patokan, maka angkanya bisa lebih meyakinkan, bahwa kepercayaan publik terhadap kehakiman atau pengadilan mencapai 71,9. Tentu ada basis angka yang harus didiskusikan sebelum kedua angka ini dapat diperbandingkan. Namun, poin yang ingin digarisbawahi di sini adalah bahwa kepercayaan publik terhadap institusi kehakiman atau peradilan kita berada pada level menengah, tidak terlalu buruk dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tentu saja, Komisi Yudisial tidak boleh berpuas diri dengan pencapaian angka tersebut karena — harus dicatat — bahwa responden yang dimintakan persepsinya adalah publik atau masyarakat luas. Publik di sini bisa siapa saja, baik yang sehari-hari berurusan dengan lembaga peradilan maupun bukan. Oleh karena Komisi Yudisial bekerja dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim, maka kepercayaan para hakim sendiri terhadap keberadaan dan sepak terjang Komisi Yudisial, juga perlu diperhatikan. Medan perjuangan terberat bagi Komsi Yudisial justru terletak di sini, yakni merebut kepercayaan bagi para hakim (yang berintegritas, tentunya) terhadap lembaga negara ini. Sungguh miris dan menyedihkan apabila Komisi Yudisial yang berkomitmen menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim itu justru tidak dipercaya oleh penyandang profesi hakim itu sendiri.

Suatu ketika saya sempat membaca sebuah buku yang ditulis oleh seorang hakim yang mengadili sebuah kasus terkait Undang-Undang Pornografi. Dalam buku berjudul “Penerapan Undang-Undang Pornografi pada Kasus Ariel Peterpan” ini hakim tersebut menulis panjang lebar pada Bab Pendahuluan bukunya dengan kata-kata sebagai berikut (catatan: kutipan langsung):

“Begitulah dinamika sebuah putusan, karena seorang Hakim harus siap dilaporkan oleh kedua belah pihak (terutama dalam perkara perdata). Bagi yang menang memuji setinggi langit Hakimnya bagus, namun bagi yang kalah dia akan mencaci maki setinggi langit, surat laporan dikirim kemana-mana dari Presiden sampai DPRD. Hakim harus siap dipanggil dan diperiksa oleh pengawas internal dan lebih-lebih pengawas eksternal yaitu Komisi Yudisial (KY). Terkadang tingkah laku KY dalam prakteknya sangat over acting, karena sering lupa TUPOKSI-nya yang hanya menjaga keluhuran martabat Hakim. KY terkadang bertindak sebagai peradilan tertinggi setelah Mahkamah Agung, pendapat KY-lah yang terbenar, pendapat yang lain dianggap salah. Kekonyolan KY terbesar yang tercatat dalam sejarah perjalanan KY, ketika KY mengapresiasi tingkah laku Hakim Ad Hoc Tipikor yang walk out dari persidangan. Jelas-jelas tingkah laku semacam ini justru meruntuhkan keluhuran dan martabat Hakim justru dianggap sebagai pahlawan karena membuat terobosan hukum. Dan terhadap Hakim karir sebagai Ketua Majelis diusulkan untuk diskor tidak boleh bersidang untuk waktu tertentu. Kekonyolan ini menjadi bahan tertawaan kalangan intelektual hukum internasional, ketika Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji mengikuti sebuah seminar internasional, ditanya apa benar di Indonesia ada Hakim yang walk out dari persidangan, ketika dijelaskan yang walk out adalah Hakim ad hoc Tipikor, mereka berkomentar baru pertama kali ini didunia peradilan ada Hakim yang walk out, Hakim ad Hoc lagi.”

“Uneg-uneg” sang hakim ini kebetulan saja dituliskan dalam buku, sehingga bisa terbaca oleh publik. Namun, bagaimana dengan persepsi yang tidak tersampaikan di benak rekan-rekan sang hakim yang lain? Seberapa banyak para hakim yang memiliki kesan serupa terhadap Komisi Yudisial? Oleh sebab itu, dalam persepsi publik terhadap tingkat kepercayaan terhadap Komisi Yudisial, ada baiknya ditelaah juga persepsi komunitas para penyandang profesi hakim ini. Jika saat ini belum siap untuk diajukan sebagai indikator kinerja sasaran strategis (melengkapi indeks kepercayaan publik), paling tidak bisa disimpan dulu sebagai bahan evaluasi dan analisis internal Komisi Yudisial. Perihal bagaimana metode pengumpulan datanya, akan menjadi satu diskusi tersendiri.

Tentu kita tidak berharap Komisi Yudisial lalu berusaha untuk menjadi populer di kalangan para hakim dengan cara menurunkan standar pengawasannya terkait Kode Etika dan Pedoman Perilaku Hakim. Jika ini dilakukan, kepercayaan publik justru yang akan dicederai. Keberadaan Komisi Yudisial akan mampu merebut kepercayaan para hakim, khususnya yang berada di peradilan tingkat pertama (yang notabene tidak berada dalam lingkup tugas rekrutmen Komisi Yudisial), apabila Komisi Yudisial dapat mempeirngan tugas-tugas konkret para hakim. Mereka tidak ingin hanya “dicari-cari” pada saat diduga melakukan kesalahan, melainkan juga harus senantiasa difasilitasi saat mereka menjalankan tugas dengan segala tantangan yang mereka hadapi di lapangan.

Salah satu tantangan itu adalah ketersediaan referensi yang lebih kaya dan mumpuni, yang pada gilirannya bakal membantu para hakim melahirkan putusan-putusan berkualitas. Gagasan agar Komisi Yudisial dapat ikut membantu para hakim mengakses peraturan dan yurisprudensi berbasis aplikasi online dan user-friendly, adalah salah satu di antara cara Komisi Yudisial yang layak untuk diwujudkan guna mendukung tugas-tugas para hakim ini. Demikian juga dengan model-model pelatihan, yang tidak perlu lagi dilakukan secara konvensional (face-to-face). Komisi Yudisial sudah saatnya mengubah model pendekatan kepada para hakim dengan menyiapkan konten-konten digital agar menjangkau partisipan pelatihan seluas mungkin. Potensi perguruan tinggi yang menjadi mitra Komisi Yudisial, baik di pusat maupun di daerah, sudah saatnya makin digalakkan agar kerja sama di antara lembaga-lembaga itu sungguh-sungguh bermanfaat bagi para hakim.

Dengan makin kerapnya para hakim itu berinteraksi dengan Komisi Yudisial, maka dapat dipastikan mereka sedikit demi sedikit akan merasakan arti penting keberadaan dan peran Komisi Yudisial. Tidak dapat dihindari akan tetap ada figur-figur hakim yang merasakan eksistensi Komisi Yudisial sebagai “gangguan” karena merasa terawasi secara “berlebihan”, tetapi persepsi negatif seperti ini dapat diatasi jika terdapat akumulasi lebih besar yang berpendapat sebaliknya.

Tampaknya, hal-hal seperti di atas patut dipertimbangkan untuk diintegrasikan ke dalam sasaran strategis Komisi Yudisial, yang hasilnya mungkin saja baru nyata-nyata terlihat setelah 25 tahun ke depan. (***)


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close