People Innovation Excellence

TOLERANSI DALAM PERSPEKTIF INKLUSIVISME, PLURALISME, DAN MULTIKULTURALISME TERHADAP KAJIAN PENYELESAIAN KONFLIK

Oleh IRON SARIRA (Maret 2019)

Membedah suatu peristiwa dari perselisihan/konflik  maka menjelaskan secara implisit suatu kondisi diperlukan adanya toleransi. Dalam konflik agama toleransi antar umat beragama akan menjadi suatu cara yang pamungkas dalam meredam konflik yang akan muncul. Indonesia adalah negara dengan sikap toleransi antar umat beragamanya sangat dipandang tinggi oleh dunia dan menjadi suatu tolak ukur bahwa dengan tingginya tingkat toleransi antar umat beragama, konflik agama yang menjurus ke berbagai bentuk konflik lainnya dapat terkikis sedikit demi sedikit.  Beberapa bentuk toleransi (khususnya dalam toleransi umat beragama dan kelompok adat) yang bergerak terhadap adanya pemikiran-pemikiran untuk membangun toleransi khususnya wawasan terhadap kandungan toleransi berdasarkan perspektif inklusivisme, pluralisme, dan multikulturalisme dapat dijelaskan sebagai berikut:[1]

  1. Inklusivisme

Inklusivisme dalam suatu komunitas merupakan suatu kelompok yang jumlahnya minoritas, karena pada kenyataannya eksklusivisme menjadi lebih besar dan dominan dalam komunitas beragama tersebut. Eksklusivisme adalah suatu paham yang menganggap bahwa hanya pandangan dan kelompoknya yang paling benar. Namun, belajar dari pengalaman-pengalaman praktik keagamaan, eksklusivisme mempunyai dampak yang kurang baik karena tidak terlepas dari pergulatan politik atas paham tersebut.

Paham eksklusivisme dalam sejarahnya telah meninggalkan rekam jejak sejarah yang kelam, yaitu peperangan dan konflik yang dipicu oleh sesuatu (tidak berdiri sendiri). Konflik selalu disokong oleh pandangan keagamaan tertentu, dan konsekuensi yang dihasilkan adalah paham keagamaan tidak bernuansa pencerahan dan pembebasan, melainkan bercorak konflik dan kekerasan. Tidak ada kata lain dalah paham eksklusivisme telah membentuk sebuah paham keagamaan yang tidak mampu mengembangkan budaya dialog dan toleransi. Jangankan untuk konteks antar agama, kontes intra agama sekalipun, eksklusivisme telah menjadi batu sandungan tersendiri. Semua kelompok baik yang fundamentalis maupun liberalis sama-sama terjebak dalam klaim kebenarannya masing-masing, karena paham eksklusivisme telah melahirkan keresahan dan kegelisahan baru dalam konteks membentuk kehidupan beragama yang damai dan toleran.

Paham eksklusivisme dalam penjelasan di atas tentu tidak dapat dijadikan pilihan dalam wujud toleransi guna menghindarkan konflik, diperlukan persepsi sebagai suatu kajian baru yang lebih menjanjikan bagi upaya menciptakan kehidupan yang damai, yakni, inklusivisme yang menjadi alternatif pengganti untuk memecahkan kebuntuan dan kerumitan yang dihadapi eksklusivisme. Inklusivisme merupakan sebuah paham yang menganggap bahwa kebenaran tidak hanya terdapat pada suatu kelompok. Hal ini berangkat dari suatu keyakinan bahwa setiap agama membawa ajaran keselamatan. Semua agama pada substansinya adalah sama, namun memiliki syarat dan ajaran yang berbeda-beda.

Raimundo Pannikar[2]menyampaikan bahwa paham inklusivisme bukanlah suatu paham yang instan, karena paham ini memerlukan rasionalitas dan kelanjutan terhadap doktrin-doktrin keagamaan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa penafsiran dibutuhkan oleh paham inklusivisme ini, tafsir terhadap teks keagamaan tidak hanya dimaksudkan mempunyai relevansi dengan pihak-pihak lain yang berbeda, tetapi juga berfungsi agar pandangannya dapat diterima oleh pihak lainnya. Perbedaan dan keragaman dalam penafsiran pada dasrnya bukan merupakan kontradiksi antara satu dengan lainnya, melainkan sebuah bentuk kesatuan substansial yang tidak terpisahkan. Perbedaan merupakan suatu bentuk keniscayaan, sekalipun demikian perlu ada suatu titik temu yang bisa dipertemukan pada perbedaan tersebut, melalui suatu sikap toleransi yang sama-sama harus meyakini bahwa segala sesuatu senantiasa mempunyai dua unsur, yaitu dimensi universal dan partikular yang sama-sama harus dipahami bahwa terhadap ke dua dimensi tersebut, maka semakin terbuka pula kesempatan kita untuk menjadi inklusif terhadap kelompok (agama dan adat) lainnya. Artinya, inklusivisme disini merupakan keniscayaan sosiologis, yang mana pemahaman terhadap pihak lain tidak hanya mengandalkan aspek-aspek yang ada dalam komunitas masing-masing, melainkan mencoba memahami hal-hal yang terdapat dalam komunitas lainnya.

Inklusivisme merupakan salah satu jalan untuk membangun peradaban toleransi. Aspek yang paling penting dalam toleransi adalah kehendak kuat untuk memahami pihak lain tanpa harus kehilangan jati diri sendiri. Mengenal dan memahami pribadi orang lain akan memudahkan jalan untuk mengenali dan menjalin kerjasama. Manusia akan semakin memperlakukan dan diperlakukan sebagai manusia, sebagaimana slogan “tak kenal maka tak sayang, tak sayang maka tak pula toleran.”

Meniti kehidupan dengan paham inklusivisme ini akan mampu mengatasi berbagai perbedaan pemahaman serta tindakan intoleran, dan mampu mengambil langkah-langkah alternatif untuk menyelesaikan konflik secara adil dan beradab. Cak Nur, juga memberikan gambaran yang menarik terkait paham inklusivisme, yaitu suatu sikap yang bertujuan untuk menumbuhkan suatu sikap kejiwaan yang melihat adanya kemungkinan orang lain itu benar. Orang yang sekalipun bersalah harus dibangun suatu pemahaman kejiwaan tentang pra-duga tidak bersalah (presumption of innocence).[3]Manusia diciptakan dalam keadaan fitrah, maka setiap orang pada dasarnya adalah suci dan benar. Potensi untuk benar adalah primer.

Inklusivisme merupakan fitrah yang telah dititipkan Tuhan kepada setiap manusia agar membangun kesetaraan, persamaan, kerukunan, dan keadilan. Mengingat potensi benar adalah primer, maka hal ini memiliki potensi untuk berbuat baik. Berdasarkan pemahaman terhadap keyakinan beragama yang memiliki sikap toleransi dan perdamaian. Selain itu, esensi dari paham inklusivisme adalah dibawanya pesan-pesan kemanusiaan yang bersifat universal dengan menumbuhkembangkan sikap-sikap serta prasangka yang baik terhadap sesama. Tenda toleransi yang pada hakikatnya memberikan pembelajaran dari paham inklusivisme senantiasa harus terus digelar dan dibentangkan sebagai upaya membangun budaya inklusif, sehingga titik lemah dari paham inklusivisme ini, yakni basis kultural akan mampu meredam hegemoni eksklucontentsivismesebagai suatu paham yang memupuk dan menonjolkan sikap intoleransi.

  1. Pluralisme

Menawarkan sesuatu yang baru dan tidak seperti inklusivisme, pluralisme dianggap sebagai lanjutan tahapan serta realitas dari paham inklusivisme yang mengakui adanya perbedaan-perbedaan tersebut. Mengulang kembali bahwa inklusivisme diniscayakan adanya pemahaman tentang yang lain namun selalu ada dimensi kesamaan substansial dan nilai, dalam rangka untuk mencari titik temu, bukan titik beda, apalagi titik tengkar.

Titik temu tersebut menjadi garis utama yang disampaikan oleh paham pluralisme bahwa kita harus lebih realistis melihat perbedaan-perbedaan yang ada pada agama secara syariat pengajaran dan penyampaiannya sebagai yang dilihat secara dimensi simbolik dan sosiologisnya. Paham pluralisme tidak mengabsahkan perbedaan yang ada sebagai embrio kebencian dan menebar konflik, karena pengakuan terhadap perbedaan adalah menjadi kesatuan pandangan paham ini secara hakiki.

Pluralisme secara jelas telah memberikan pesan penting berupa suatu rekomendasi model toleransi aktif, yaitu toleransi yang tidak sekedar mengakui perbedaan dan keragaman, tetapi labih dari itu juga menjadikan perbedaan sebagai potensi untuk bekerjasama dan berdialog untuk menghasilkan kesatuan dalam perbedaan. Selain itu, lebih dari sekedar toleransi, upaya pluralisme dalam membangun suatu pemahaman atau pemikiran yang konstruktif (constructive understanding),[4]artinya karena perbedaan dan keragaman dalam keyakinan serta kepentingan adalah hal yang nyata, maka yang diperlukan adalah pemahaman yang baik dan lengkap tentang yang lain, karena pemahaman bahwa setiap entitas dalam masyarakat selalu bergerak dari dimensi-dimensi baik dan buruk, adanya perbedaan dan persamaan yang harus dipahami secara konstruktif, sebagai upaya menemukan komitmen bersama yakni perdamaian dari setiap perbedaan dan keragaman yang ada (mutual understanding). Jadi, dapat menjadi kesimpulan, bahwa pluralisme bertujuan untuk memaksimalkan eksistensi toleransi.

  1. Multikulturalisme

Eksistensi dan ruang lingkup objek toleransi sangat terlihat dari paham multikulturalisme, suatu paham yang memberikan perhatian serta ruang bagi kelompok minoritas dalam mempertahankan identitas sosialnya. Selama ini konsep kebenaran hanya didasarkan kepada paham-paham keagamaan, namum multikulturalisme dapat eksis dan menjadi alternatif untuk melihat identitas sebuah komunitas bukan dari latar keagamaannya, melainkan dari latar kebudayaannya. Paham ini, dalam studi keislaman telah menghidupkan kembali sebuah kaidah lama yang sudah akrab digunakan oleh para ulama fiqih, yaitu sesuatu yang dinilai benar oleh adat, maka juga dibenarkan oleh teks. Para ulama sudah sejak lama menganggap bahwa tradisi dan kebudayaan dapat dijadikan sebagai landasan hukum, sebagaimana teks dijadikan sebagai sumber primer.[5]

Aspek kebudayaan (adat dan tradisi) menjadi penting dalam rangka membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung oleh komunitas agama-agama saja, melainkan oleh keseluruhan etnis yang terdapat dalam sebuah bangsa. Negara-negara yang menganut sistem demokratis, pada umumnya memiliki kesadaran yang tinggi perihal pentingnya multikulturalisme untuk membangun toleransi, asimilasi, serta persamaan hak di antara warga negara.

Konstelasi toleransi di atas yang telah dipaparkan berdasarkan perspektif Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme merupakan diskursus terhadap kajian konflik yang menjadi wujud dalam suatu paham sebagai dimensi ontologis yang melihat hakikat toleransi sebagai suatu perbuatan hukum yang harus menjadi dasar-dasar awal manakala potensi terhadap konflik sudah berada dihadapan kita. Sehingga dengan adanya patokan-patokan dari paham-paham yang dapat dijadikan landasan tersebut, maka selain perlunya kajian konflik untuk dihadapkan dengan penjelasan mengenai terjadinya konflik dari perspektif teoretis, juga perlu dilihat bahwa tatanan pemahaman terhadap hakikat tersebut menjadi dasar untuk menempatkan posisi seseorang terhadap orang lainnya dari pihak yang berseberangan untuk memahami tatanan toleransi yang dimaksud. Hal ini akan menjadi salah satu cara dan upaya agar penyelesaian konflik dapat terkelola secara baik. (***)

BAHAN BACAAN

[1]    Zuhairi Misrawi, Alquran Kitab Toleransi – Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil Alamin, Pustaka Oasis, Jakarta, Jakarta, 2010, hlm. 176-195.

[2]    Raimondo Pannikar, The Intra Religious Dialogue, Kanisius, Yogjakarta, 2000., hlm. 20. Dalam buku Zuhairi Misrawi, Ibid., hlm. 178.

[3]    The Harvard Law Review Association, ed. by Huge W. Odgen, et.al., The Presumption of Innocence, Harvard Law Review, Vol. 9, No. 2, 1895, download content on Feb 2, 2017, hlm. 144-145.

The Presumtion of Innocence – in a criminal case, recently before the United States Supreme Court, a refusal to charge that innocence is pre- suimed till guilt is proved beyond a reasonable doubt was held erroneous, notwithstanding that the court charged fully and accurately that the burden was on the prosecution to prove guilt beyond a reasonable doubt. 

[4]    Diana L. Eck, A New Religious America: How a Christian Country has Become the world’s Most Religiously Diverse Nation, Harper San Fransisco, New York, 2001, hlm. 70. Dalam Zuhairi Misrawi, Op.Cit., hlm. 185.

[5]    Ismail Kauksal, Taghayyur Al-Ahkam Fi Al-Syariah Al Islamiyyah, Muassasah Al-Risalah, Beirut, 2000. Dalam Zuhairi Misrawi, Ibid., hlm. 193.


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close