People Innovation Excellence

TAFSIR DELIK PENGHINAAN KEPADA PENGUASA (PASAL 207 KUHP)

 Oleh Ahmad Sofian (Maret 2019)

Pasal 207 KUHP berada di dalam Bab VIII yang berujudul Kejahatan terhadap Penguasa Umum. Bab ini dimulai dari Pasal 207 sampai dengan Pasal 241. Meski demikian beberapa pasal sudah dicabut yaitu Pasal 230 dan 241 ayat (1). Delik-delik yang diatur dalam bab ini diantaranya adalah delik penghinaan terhadap penguasa/badan  umum, perbuatan yang mengancam kepada harkat dan martabat penguasa atau pejabat, termasuk  juga delik-delik penyuapan, memaksa pejabat atau penguasa umum melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu yang bertentangan dengan jabatannya, melawan atau menghalangi pejabat yang sedang menjalankan tugas, tidak mau hadir dipanggil sebagai saksi atau ahli oleh pengadilan dan beberapa delik liannya. Dengan demikian Pasal 207 yang ada di di Bab VIII KUHP ini merupakan delik yang ditujukan kepada pejabat, dan jabatan atau penguasa umum. Jika mengacu pada jenis delik, maka bisa ditafsirkan jenis delik yang diatur dalam Bab VIII ini  sebagian besar adalah delik  formil, artinya delik ini sempurna sebagai delik ketika perbuatan yang terlarang tersebut dilakukan.  Namun setidaknya ada 3 pasal yang bisa ditafsirkan sebagai delik materiil yaitu Pasal 213 dan 214 yaitu delik yang melawan atau memaksa pejabat yang sedang menjalankan tugas yang menimbulkan luka. Demikian juga dengan  Pasal 217 yaitu perbuatan (perbuatan-perbuatan) yang menimbulkan kegaduhan di sidang pengadilan.

Tulisan ini akan memfokuskan pada tafsir Pasal 207 KUHP karena pasal ini dinilai dapat membelenggu kebebasan menyampaikan pendapat, kebebasan untuk mengkritik penguasa atau badan-badan kekuasaan umum, sehingga pasal ini cenderung untuk dapat disalahgunakan penguasa untuk menghempang masyarakat yang menyampaikan aspirasinya. Oleh karena pasal ini dapat diselewengkan oleh rezim, sehingga pasal ini telah diuji (judicial review)ke Mahkamah Konstitusi.Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, MK dalam pertimbangannya menyebutkan bahwa terkait pemberlakuan Pasal 207 KUHP, penuntutan hanya dilakukan atas dasar pengaduan dari penguasa. Jadi, apabila pemerintah yang dihina tersebut tidak mengadukan kasus penghinaan ini maka tidak dapat dipidana. Dengan demikian jelas bahwa sejak putusan MK ini maka rumusan delik Pasal 207 dirubah dari jenis delik biasa menjadi delik aduan. Karena  telah mengalami perubahan jenis delik, maka dapat ditafsirkan juga bahwa martabat yang dimaksudkan dalam pasal ini pun ikut mengalami perubahan, yaitu hanya pada martabat pejabat umum/penguasa  dan  bukan lagi martabat institusi (content fo personal and not content of institutional).

Perubahan dari delik biasa ke delik aduan (klacht delict) menunjukkan bahwa pejabat yang dirinya merasa terhina harus mengadukan ke penegak hukum secara langsung, tanpa adanya pengaduaan maka perbuatan tersebut tidak dapat dituntut. Pengaduan harus dilakukan secara langsung tidak bisa diwakili karena ini menyangkut harkat dan martabat pejabat yang dirinya merasa dihina tersebut. Penghinaan yang ditujukan kepada institusi penguasa umum tidak lagi bisa menggunakan Pasal 207, karena putusan MK telah mengubah klausula deliknya. Sarana hukum yang mungkin bisa digunakan jika institusi penguasa umum merasa terhina adalah dengan gugatan perdata, tentu saja bila bisa dibuktikan timbulnya kerugian atas perbuatan penghinaan tersebut (vide Pasal 1372 KUHPerdata).

Tafsir Pasal 207

Bunyi lengkap Pasal 207 sebagaimana diatur dalam KUHP   terjemahan versi R. Soesilo (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasa)l adalah sebagai berikut :

“Barang siapa dengan sengaja dimuka umum, dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan yang ada di Negara Indonesia atau sesuatu majelis umum yang ada di sana, dihukum penjara selama-lamnya satu tahun enam bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp 4.500-,”.

Sementara itu, jika membaca KUHP versi Moeljatno, maka isi atau bunyi Pasal 207 adalah :

“Barang siapa dengan sengaja di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina suatu penguasa atau hadan umum yang ada di Indonesia, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun enam bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah”.,

Terkait pasal ini, R. Soesilo menjelaskan bahwa pasal ini menjamin alat-alat kekuasaan Negara supaya tetap dihormati. Tiap-tiap penghinaan terhadap alat-alat tersebut dihukum menurut pasal ini. Menurut Soesilo, menghina dengan lisan atau tulisan sama dengan menyerang nama baik dan kehormatan dengan kata-kata atau tulisan. Agar penghinaan tersebut dapat dihukum harus dilakukan dengan sengaja dan di muka umum, jika dilakukan dengan tulisan, misalnya dengan surat kabar, majalah, pamfelt dan lain-lain harus dibaca oleh khalayak ramai. R. Soesilo menambahkan bahwa obyek-obyek yang dihina itu adalah sesuatu kekuasaan (badan kekuasaan pemerintah) seperti: Gubernur, Residen, Polisi, Bupati, Camat dan sebagainya, atau suatu majelis umum (parlemen, Dewan Perwakilan Rakyat, dan sebagainya). Penghinaan tersebut bukan mengenai orangnya. Jika yang dihina itu orangnya sebagai pegawai negeri yang sedang melakukan kewajiban yang sah, maka pelaku dikenakan Pasal 316 KUHP.

Tentu saja tafsir R. Soesilo yang menyatakan objek penghinaan ditujukan pada  lembaga-lembaga negara sudah tidak relevan lagi jika mengacu pada  Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-022/PUU-IV/2006, karena dengan perubahan jenis delik dari delik biasa ke delik aduan, maka objek penghinaan juga mengalami perubahan dari institusi ke perseorang (pejabat/penguasa umum).

Untuk dapat menggunakan delik ini, maka penting untuk mendalami unsur-unsur dari delik ini. PAF Lamintang dan beberapa ilmuwan hukum pidana lain di Indonesia termasuk juga ilmuwan hukum pidana di Belanda (Vos, Pompe, Remmelink dan lain-lain), membagi dua jenis unsur delik yaitu unsur objektif dan unsur subjektif. Unsur objektif ada di area perbuatan (mengacu pada asas legalitas), sementara unsur subjektif terletak pada orangnya/pelaku (mengacu pada asas culvabilitas/kesalahan) untuk menentukan dapat tidaknya orang tersebut dipidana. Secara sederhana unsur objektif dan unsur subjektif yang terdapat dalam Pasal 207 dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Unsur Subjektif Tafsir Unsur objektif Tafsir
Barang siapa Dalam berbagai pandangan ilmuwan hukum pidana disebutkan bahwa barang siapa mengacu pada subjek delik yaitu orang per orang atau kelompok orang yang melakukan tindak pidana. menghina Menghina bisa ditafsirkan menyAtakan sesuatu yang tidak benar atau sesuatu yang melebih-lebihkan dari keadaan atau fakta yang sebenarnya. Artinya ada informasi yang disajikan seseorang kepada orang lain namun isi informasi tersebut tidak benar. Unsur kedua dari menghina  adalah perbuatan tersebut cenderung menyerang kehormatan/harga diri seseorang, sehingga timbul kerugian baik moril maupun materiil pada diri korban.
Dengan sengaja Delik ini mensyaratkan perbuatan tersebut dilakukan dengan sengaja bukan karena kelalaian. Kesengajaan secara doktrin ditafsirkan adanya pengetahuan dan keinginan untuk mewujudkan delik tersebut. Artinya orang tersebut memang benar-benar punya mens rea atau sikap bathin jahat Penguasa/kekuasan umum Dengan terbitnya Putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 jelas bahwa objek penghinaan ditujukan pada  pejabat dan bukan pada kekuasaan atau bukan pada institusi. Pejabat yang terhina harus mengadukan perbuatan subjek hukum secara langsung dan menyebutkan perkataan mana yang mengandung unsur penghinaan
    Di depan umum Perbuatan itu bukan dilakukan dalam ranah privat, tetapi dihadapan khalayak orang ramai, di depan publik, atau disiarkan dengan menggunakan berbagai media (elektronik, cetak). Publik dalam konteks ini adalah orang lain bisa hadir ke tempat tersebut, seperti rapat terbuka, atau sarana publik lainnya (mall, lapangan dll).

 

Penutup

Kejahatan penghinaan kepada kekuasaan umum berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan sebagai sebuah kejahatan yang ditujukan untuk menyerang kehormatan pejabat atau jabatan yang disandang seorang pejabat. Delik ini tidak ditujukan kepada insititusi atau kelembagaan. Selain itu, delik ini juga hanya dibisa diproses secara hukum jika pejabat tersebut mengadukan kasus tersebut secara langsung, dan menyatakan jenis perbuatan penghinaan yang menyerang kehormatan jabatannya tersebut.


Published at :

Periksa Browser Anda

Check Your Browser

Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

We're Moving Forward.

This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

  1. Google Chrome
  2. Mozilla Firefox
  3. Opera
  4. Internet Explorer 9
Close