MENUJU PILPRES DAN PILEG YANG SEHAT
Oleh AGUS RIYANTO (Maret 2019)
Riuh rendah dan hingar bingar itu akanlah segera berakhir pada tanggal 17 April 2019 nanti. Ya pemilihan Presiden (Pilpres) dan pemilihan Legislatif (Pileg) adalah dua mata acara lima tahunan yang selalu menjadikan suhu politik di tanah air begitu mendidih dan memanaskan suasana hati. Kehebohan dan segala macam ketegangan itu menjadi bertambah-tambah dengan media sosial yang telah menambah suasana relasi sosial antara warga bangsa seolah-olah terbelah dalam dua tembok keberbedaan. Berbeda pilihan boleh (karena memang harus memilih satu di antara dua yang ada), namun tidak seharusnya persahabatan, persaudaraan dan pertemanan hilang begitu saja dan tidaklah tepat apabila harus menjadi permusuhan. Seharusnya berbeda untuk bersaudara adalah sikap bijak yang sebaiknya hadir di masyarakat kita. Di dalam nalar yang sehat jalan yang terpenting adalah siapapun nanti yang menjadi Presiden atau anggota legislatif sudah seharusnya memberikan kesejahteraan dan kemakmuran untuk masyarakat Indonesia. Janganlah di antara warga masyarakat saling bersikut dan bersilat lidah untuk pilihan yang tidak sama. Sebab jika itu yang dilakukan, maka masyarakat yang ada pada lapisan bawah yang menderita dan mengalami kesulitan untuk menghadapinya. Untuk maksud itulah, maka terdapat tiga sikap yang dapatlah menjadi pertimbangan menuju terciptanya Pilpres dan Pileg yang sehat.
Sebagaimana diberitakan Kompas (24 Maret 2019) terdapat tiga titik (poin) yang seharusnya menjadi perhatian seluruh bangsa Indonesia saat menuju demokrasi pemilihan presiden dan pemilihan anggota legislatif. Ketiganya seharusnya menjadi catatan kehidupan kita bersama menuju kepada politik yang mengabdi kepada kepentingan masyarakat banyak dan tidak untuk kelompoknya atau golongannya sendiri.
Pertama, soal politik uang. Masalah ini adalah lagu lama yang terus berulang hingga kini. Memilih dan mencoblos pilihan seharusnya sesuai dengan hati nurani dan catatan perjalanan sang calon. Bukan dengan iming-iming rupiah yang menjadi dasarnya dalam menjatuhkan pilihannya. Penggunaan uang sebagai dasar adalah salah besar, karena yang diukur tidak berdasarkan realitas obyektivitas kapabilitas, tetapi lebih faktor-faktor lainnya yang dapat disejajarkan seperti suap atau sogokan, sehinga yang menerimanya tidak dengan ukuran dan standar kualitas yang akan dipilihnya. Berbahayanya jika hal ini tidak dihentikan, maka yang dapat menjadi pemimpin dan wakil rakyat di masa yang akan datang adalah hanya yang memiliki dan kecukupan material saja (kaya), sementara yang memiliki kapabilitas dan kemampuan yang mumpuni tetapi tidak memiliki kekuatan material dan financial, maka tidak akan ada celah dan kesempatan untuk mengabdi dan berbakti kepada negaranya di jalur politik. Lebih dari itu aspek psikologis di dalam relasi antara pemberi politik uang dan yang menerimanya adalah sebatas dan sama dengan transaksi jual beli dimana setelah semua terjadi dan terbeli, maka hubungan itu akan hilang dan tidak belanjut. Artinya, kalaupun nanti yang memberikan politik uang itu terpilih maka besar kemungkinan yang bersangkutan akan melupakan dengan yang memilihnya. Pola-pola ini di dalam prakteknya tidaklah jauh berbeda dengan serangan fajar yang berupaya untuk membeli suara pemilih dengan membagi-bagikan uang untuk dan demi memenangkan suara rakyat untuk kepentingan pihak yang dipilihnya dengan cara yang tidak benar.
Kedua, politik identitas. Politik identitas berpusat pada politisasi identitas bersama atau perasaan “kekitaan” yang menjadi basis utamanya dari perekat kolektivitas kelompok. Identitas dipolitisasi melalui interpretasi ekstrim dengan tujuan untuk mendapat dukungan dari orang-orang yang merasa sama, baik secara suku, ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya. Dengan batasan ini, maka tidak tepat memilih pemimpin negara seperti Presiden atau memilih wakil-wakil rakyat di lembaga legislatif dengan menggunakan identitas politik yang dipilihnya. Hal ini, karena yang dipilih adalah pemimpin negara dan wakil rakyat dalam konteks ketatanegaraan dan bukan di dalam arti suku, ras, etnisitas, agama, maupun elemen perekat lainnya, sehingga tidak tepat bila pertimbangan memilihnya adalah kepada ikatan emosional dan primodial. Lebih baik dijauhi dan dihindari, karena ukuran dengan hal-hal tersebut menjadi tidak berdasarkan prestasinya, tetapi lebih kepada kedekatan-kedekatan yang tidak dapat dijamin kemampuannya. Memilih pemimpin dan anggota legislatif berdasarkan kinerja dan prestasi yang bersangkutan, sehingga tolok ukur yang akan dipilihnya menjadi jelas parameternya. Apabila memilih dengan berlandaskan politik identitas sebagai pertimbangannya, maka persatuan dan kesatuan bangsa menjadi terancam dan berbahaya terhadap keutuhan dan kebhinekaan yang ada selama ini. Belajar dari pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI betapa berbahayanya politik identitas itu. Emosi dan gesekan sosial dengan mudah tersulutkan setelah pemilihan kepala daerah tersebut yang tidak mudah dilupakan. Dengan ini, sudah waktunya meninggalkan politik identitas sebagai upaya untuk mendapatkan kejernihan berpikir dalam memilih dalam memutuskan siapakah yang akan memimpin kita menuju hari yang lebih baik dan maju.
Ketiga, ujaran kebencian. Ujaran kebencian adalah tindakan komunikasi yang dilakukan oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan kepada individu atau kelompok yang lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit, etnis, gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama, dan lain-lain. Seharusnya ujaran kebencian itu tidak perlu ada apabila dalam keseharian dapat menerima keberdaan sebagai bagian kehidupan. Namun, kebencian itu ada, karena sulitnya untuk menjadi berbeda sehingga untuk dapat mengungkapkan ketidaksukaan itu maka kebencianlah yang tertanam. Perilaku yang salah ini menjadi hidup dan berkembang dengan cepat dikarenakan teknologi yang menjadikan lintasan penghubung di dalam komunikasi manusia dengan internet sebagai mediumnya. Situasi bertambah rumit dan menjadi hidup dalam politik memilih di antara dua pilihan yang saling berhadap-hadapan, maka memilih salah satu menjadi lawan bagi yang akan memilih lainnya. Dilematis ini dengan jelas tergambar di media sosial dan forum-forum group diskusi seperti: WhatsAp (WA), Facebook, Twiter atau media sosial lainnya. Hanya karena perbedaan sudut pandang, mereka menggalangnya melalui ujaran kebencian untuk dapat mengalahkan pihak lain yang berbeda pilihan. Artinya, ujaran yang salah ini hidup subur dalam konteks politik yang belum siap menerima perbedaan dalam pilihan. Yang terekam dan terjadi adalah betapa pertemanan dan persahabatan menjadi pecah karena ketidaksamaan di dalam pilihan. Seandainya berbeda adalah bagian dari kehidupan biasa, maka ujaran kebencian itu tidak akan hadir dan menjadikannya sebagai bagian proses pilihan politik.
Melalui memahaminya ketiga hal-hal tersebut di atas, maka sudah waktunya untuk berpikir sehat dalam menghadapi Pilpres dan Pileg 2019 pada bulan April nanti. Kesehatan dalam berpikir dan jernih melihatnya adalah sebuah upaya untuk menjadikan memilih untuk berbeda adalah realitas yang seharusnya diterima dengan lapang dada dan terbuka hatinya. Untuk itulah hentikan politik uang, politik identitas dan ujaran kebencian menuju kedewasaan berpolitik karena ketiganya akan berimbas kepada hubungan keseharian sosial masyarakat. Yang haruslah diingat adalah kesehatan dalam Pilpres dan Pileg adalah menomorsatukan kemenangan rakyat, sehingga tindakan preventif dengan menjaga jangan sampai terjadi permusuhan atau bentrok yang sampai tidak dikehendaki kita semua. Untuk itu, dalam kondisi yang serba memanas ini dibutuhkan tali dan darah persatuan demi kepentingan bangsa dan bukannya kepentingan sesaat dari partai atau golongan tertentu saja. Bersikaplah rendah hati satu dengan yang lain dengan sikap yang arif bijaksana dan kesemuanya adalah mengabdi untuk kepentingan rakyat. Berbeda pilihan tidak harus dengan memusuhi dan menjadikan lawannya, karena berbeda adalah episode kehidupan politik yang harus dijalaninya dengan kedewasaan dan berpikir sehat untuk memilihnya. (***)