People Innovation Excellence

PRINSIP NON-DISKRIMINASI DALAM UU ADMINDUK BAGI PENGHAYAT KEPERCAYAAN

Oleh SHIDARTA (Maret 2019)

Persoalan pencantuman kolom agama dalam Kartu Tanda Penduduk elektronik (KTP-el) dan Kartu Keluarga (KK) bagi para penghayat kepercayaan seharusnya sudah dianggap selesai usai ditetapkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU/XI/2016 tanggal 18 Oktober 2017. Artinya, bagaimana harus mengintepretasikan makna Pasal 61 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 dan Pasal 64 ayat (1) dan (5) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi Kependudukan (Adminduk) sudah diberikan penegasan oleh Mahkamah Konstitusi. Putusan ini memperlihatkan —minimal dalam tataran politik hukum —adanya penghormatan terhadap prinsip non-diskriminasi dan hak-hak konstitusional penduduk yang tidak berkenan apabila kolom agama di KTP-el dan KK mereka dibiarkan kosong atau dicantumkan dengan keterangan agama yang tidak sesuai dengan jati diri mereka.

Kementerian Dalam Negeri memang sudah melakukan respons positif dengan menerbitkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil dan Surat Edaran Nomor 471.14/10666/Dukcapil tanggal 25 Juni 2018 tentang Penerbitan KK bagi Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan YME. Surat edaran ini memerintahkan semua Dinas Dukcapil kabupaten/kota se-Indonesia untuk segera menerbitkan KK bagi penghayat kepercayaan, melakukan sosialisasi terkait kebijakan setelah putusan MK di atas, dan melakukan pendataan terhadap para penghayat kepercayaan.

Di lapangan, ternyata aparat yang menjadi ujung tombak terkait pelaksanaan surat edaran ini tidak memiliki pemahaman yang sama, sehingga teknis pencantuman keterangan di dalam kolom tersebut cukup bervariasi dan terkesan lamban. Patut diduga bahwa terjadinya berbagai variasi pemahaman ini lebih karena panduan yang dikeluarkan oleh Kemendagri sendiri memang belum “terang-benderang”. Sebagai contoh, dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017, penyebutan kolom agama di dalam KK masih berpotensi mengacu pada pemahaman sebelum putusan MK.  Pasal 3 ayat (4) peraturan tersebut menyatakan bahwa keterangan mengenai kolom isian di dalam kolom KK memuat elemen data: (a) nomor Kartu Keluarga; (b) nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga; (c) NIK; (d) jenis kelamin; (e) alamat; (f) tempat lahir; (g) tanggal lahir; (h) agama; (i) pendidikan; (j) pekerjaan; (k) status perkawinan; (l) status hubungan dalam keluarga; (m) kewarganegaraan; (n) dokumen imigrasi; dan (o) nama orang tua. Dalam ayat ini jelas disebutkan bahwa salah satu kolom yang harus tercantum di dalam KK adalah AGAMA.  Jadi, tidak ada tambahan kata KEPERCAYAAN. Hal ini berbeda dengan Akta Perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan. Pada blanko kedua dokumen itu terdapat kata-kata: “Agama/Kerpercayaan” atau “Pemuka Agama/Pemuka Penghayat Kepercayaan”. Jadi, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 ini apabila ingin diterapkan sebagai pedoman yang konsisten dengan ekspektasi pasca-putusan Mahkamah Konstitusi, maka seharusnya kata “Agama” pada kolom KK pun harus diberi garis miring dengan tambahan kata “Kepercayaan”. Hal ini juga sejalan dengan keterangan yang sama digunakan pada Akta Perkawinan dan Kutipan Akta Perkawinan yang diatur dalam peraturan tersebut. Atas dasar pemikiran yang sama, maka kolom agama pada KTP-el juga seharusnya menggunakan pola pencantuman keterangan yang sama.

Persoalan berikutnya adalah apa keterangan yang harus dimasukkan di dalam elemen data “kepercayaan” itu? Apakah, misalnya, cukup dengan kata-kata “Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa” atau harus lebih detail atau lebih spesifik daripada itu? Jawabannya masih belum seragam.  Untuk itu, tampaknya Kementerian Dalam Negeri perlu cepat menyelesaikan hal ini agar administrasi kependudukan tidak terkendala dengan keanekaragaman nomenklatur penyebutan [aliran] kepercayaan yang ada. Ada baiknya lembaga-lembaga yang menaungi para penghayat kepercayaan dapat ikut membantu mempercepat proses penyeragaman nomenklatur tersebut.

Terlepas dari permasalahan teknis pencantuman di ats, mari kita kembali merefleksikan tafsir baru atas Pasal 61 ayat (1) UU Adminduk setelah ditetapkannya putusan MK Nomor 97/PUU/XI/2016.

Pasal 61 ayat (1) UU Adminduk berbunyi:

“KK memuat keterangan mengenai kolom nomor KK, nama lengkap kepala keluarga dan anggota keluarga, NIK, jenis kelamin, alamat, tempat lahir, tanggal lahir, agama, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, status hubungan dalam keluarga, kewarganegaraan, dokumen imigrasi, nama orang tua.”

Pasal 64 ayat (1) UU Adminduk menyatakan:

“KTP-el mencantumkan gambar lambang Garuda Pancasila dan peta wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memuat elemen data penduduk, yaitu NIK, nama, tempat tanggal lahir, laki-laki atau perempuan, agama, status perkawinan, golongan darah, alamat, pekerjaan, kewarganegaraan, pas foto, masa berlaku, tempat dan tanggal dikeluarkan KTP-el, dan tandatangan pemilik KTP-el.”

Petitum pertama putusan MK menyatakan bahwa Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) UU Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD Tahun 1945, oleh karenanya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (conditionally constitutional) frasa “agama termasuk juga penghayat kepercayaan dan agama apa pun”. Jadi, apabila Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Peraturan Nomor 118 Tahun 2017, ia wajib memperhatikan petitum ini, sehingga kolom-kolom yang ada di dalam KK dan KTP-el harus menyesuaikan diri dengan tafsir ini. Terlihat bahwa, kolom tentang KK yang ada dalam Pasal 61 ayat (1) UU Adminduk belum disesuaikan mengikuti tafsir baru yang diperintahkan di dalam putusan MK tersebut.

Atas dasar petitum itu, sebenarnya elemen data yang harus dimasukkan pada kolom AGAMA/KEPERCAYAAN ini tidak boleh lagi eksklusif dan limitatif mengacu pada agama-agama yang selama ini dianggap “agama-agama resmi” (suatu istilah yang juga tidak ditemukan dasar hukumnya). Semua kepercayaan lokal maupun bukan lokal juga terbuka untuk dicantumkan.

Memang benar, bahwa  petitum dalam putusan MK itu tidak menyatakan bahwa kata AGAMA di dalam kolom KK dan KTP-el harus diganti dan diberi tambahan kata KEPERCAYAAN. Putusan MK tidak sampai pada detail teknis seperti ini. Dengan demikian, jika kata AGAMA ini jika ingin tetap dipertahankan, maka data yang tercantum pada kolom ini dapat saja diisi langsung dengan keterangan kepercayaan itu karena makna yang diinginkan dalam petitum MK itu adalah makna yang diperluas (ekstentif). Jika maknanya dipersempit (restriktif), maka Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) itu tidak berkekuatan hukum mengikat. Jajaran Kementerian Dalam Negeri di lapangan tentu bakal mengalamai kesulitan apabila harus dibawa ke area perdebatan tafsir ekstentif versis restriktif seperti ini.

Di samping itu, oleh karena secara politis dan sosiologis kata AGAMA sudah kuat melekat sebagai konsep/terma analog yang mengacu pada Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan [kini] Konghucu, maka tampaknya ada kekikukan untuk demikian saja mencantumkan pada KK atau KTP-el data lain di luar enam “agama” tersebut. Bahkan, untuk “agama-agama” yang secara internasional mempunyai penganut banyak dan tersebar luas pun, seperti Yahudi dan Sikh, boleh jadi juga masih dirasakan kekikukan demikian.

Alhasil, kita dapat menyimpulkan bahwa persoalan seputar pencantuman eleman data yang pas untuk KK dan KTP-el pasca-putusan MK ini sebenarnya lebih berada pada dimensi non-hukum, yakni pada kendala-kendala politis, sosiologis, dan/atau psikologis. Kita tentu berharap Kementerian Dalam Negeri sebagai ujung tombak dalam membereskan masalah ini, tidak berlama-lama dan ikut-ikutan terjebak dalam kendala-kendala di atas. Jika hal itu terjadi, maka prinsip non-diskriminasi yang menjiwai putusan MK Nomor 97/PUU/XI/2016, tidak kunjung terimplementasikan. (***)


 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close