People Innovation Excellence

TAFSIR ATAS DELIK PERTANAHAN (PASAL 167 DAN 385 KUHP)

Oleh Ahmad Sofian (Februari 2019)

Tindak pidana terhadap tanah yang dikuasai oleh orang lain telah menimbulkan persoalan pelik dalam hukum pidana di Indonesia. Hal ini disebabkan banyaknya tanah-tanah yang dikuasai oleh negara maupun oleh badan hukum swasta yang tidak dikelola secara profesional, tidak dibuat batas-batas yang jelas serta sebagian besar lagi ditelantarkan. Kondisi inilah menyebabkan masyarakat yang bermukim di sekitar tanah tersebut menggarap atau mengelola tanah tersebut untuk menghidupi dirinya maupun keluarganya.  Persoalan lain juga muncul ketika tanah-tanah yang sebelumnya tidak bersertifikat, yang sudah didiami penduduk puluhan atau ratusan tahun, lalu belakangan muncul sertifikat atas nama korporasi tertentu atau badan hukum tertentu. Konflik pun tidak terhindarkan, penguasa tanah yang punya hak atas tanah tersebut mempersoalkan masyarakat yang mengelola tanah tersebut, dan umumnya mereka melaporkan ke polisi, selanjutnya polisi mengunakan Pasal 167 dan atau Pasal 385 KUHP untuk “mengkriminalkan” masyarakat yang yang mendiami tanah-tanah tersebut.

Kasus Posisi

Sebuah kasus yang menarik diulas adalah kasus  yang terjadi di Serang, Banten. Tiga orang masyarakat didakwa karena mendiami tanah HGB milik sebuah Perseroan Terbatas sebut saja PT. X. Ketiga warga tersebut tersebut menempati tanah tersebut, lalu mendirikan sebuah rumah kayu ukuran 5×7 meter serta mengolah tanah tersebut untuk menghidupi dirinya sendiri dan keluarganya. Ketiganya mendiami sejak tahun 2005 hingga tahun 2017.  Lalu pihak PT. X melalui kuasa hukumnya melakukan somasi sebanyak tiga kali kepada warga yang tinggal di area tersebut untuk segera mengosongkannya. Karena warga tersebut tidak juga mengosongkannya akhirnya kasus ini dibawa ke proses hukum. Ketiganya didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)  dengan Pasal 385 ayat ke-4 KUHP atau Pasal 167 ayat 1 KUHP. Menurut PT. X, tanah tersebut telah dipasang plank (papan nama) tentang status tanah tersebut dan larangan menggunakan tanah tersebut.

Analisa Kasus

Pasal 167 KUHP berada di Bab V yang berjudul Kejahatan terhadap Ketertiban Umum. Kejahatan terhadap ketertiban umum secara garis besarnya adalah sekumpulan kejahatan-kejahatan yang menurut sifatnya dapat menimbulkan bahaya terhadap keberlangsungan hidup masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan-gangguan terhadap ketertiban didalam lingkungan masyarakat.Bentuk kejahatan ketertiban umum beserta unsurnya, yaitu:Penodaan terhadap bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan lambang negara; Menyatakan perasaan tak baik terhadap pemerintah; Menyatakan perasaan tak baik terhadap golongan tertentu; Menghasut di muka umum.Kejahatan terhadap ketertiban umum di dalam M.v.T (Memory Van Toelichting) diartikan sebagai kejahatan yang sifatnya dapat menimbulkan bahaya bagi kehidupan masyarakat dan dapat menimbulkan gangguan bagi keterbitan alamiah dalam masyarakat. Van Bemmelen dan Van Hattum kejahatan terhadap ketertiban umum  untuk menjaga berfungsinya masyarakat dan negara.

Pasal 167 ayat 1 KUHP

“Barangsiapa dengan melawan hak  orang lain masuk dengan memaksa ke dalam rumah atau ruangan yang tertutup atau pekarangan, yang dipakai orang lain, atau sedang ada  disitu dengan tidak ada haknya, tidak dengan segera pergi dari tempat itu atas permintaan orang yang berhak atau atas nama orang yang berhak dihukum penjara selama-lamanya 9 bulan,  atau denda sebanyak-banyak Rp. 4.500,-“

Menurut R. Soesilo, pasal ini terkait dengan delik yang disebutnya “huisvredebreuk” yaitu  kejahatan terhadap kebebasan rumah tangga. Unsur-unsur dari pasal di atas dapat dibagi dua yaitu :

  1. Unsur subjektif. Unsur subjektif adalah unsur yang menyangkut orang yang melakukan tindak pidana. Dalam pasal ini meskipun tidak disebutkan kata-kata “sengaja (dolus), atau lalai (culva), maka dapat ditafsirkan pada bahwa unsur kesalahan dari orangnya adalah “sengaja”. Artinya harus bisa dibuktikan perbuatan yang dilakukan oleh subjek delik dilakukan dengan sengaja. Jika unsur sengaja tidak ada maka, pasal ini tidak bisa digunakan.
  2. Unsur objektif. Unsur objektif adalah unsur dari perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum. Dalam pasal ini ada beberapa unsur yaitu : memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain, cara masuknya harus dengan unsur paksaan. Paksaan merupakan unsur mutlak dari pasal ini, jika seorang memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain tanpa paksaan, maka pasal ini tidak bisa digunakan. Paksaan dapat diartikan perbuatan itu dilakukan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan. Kekerasan misalnya dengan merusak, mematahkan, atau memalsukan kunci. Ancaman misalnya dilakukan dengan kata-kata yang kasar, kata-kata dibarengi mengacung-acungkan senjata, atau sesuatu benda yang bisa mengancam tubuh dan nyawa seseorang.

Jika mengacu pada kasus posisi yang disampaikan di atas maka perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa jika dianalisis dengan unsur subjektif, maka unsur sengaja harus dibuktikan. Untuk membuktikan unsur sengaja, maka para terdakwa harus punya pengetahuan dan punya kehendak untuk mewujudkan delik. Selain itu para terdakwa juga harus bisa dibuktikan punya niat jahat untuk melakukan tindak. Unsur subjektif ini sangat abstrak, sehingga perlu bukti yang kongkrit untuk membuktikannya. Pembuktian ini dapat dilakukan dengan memeriksa para saksi, memeriksa diri terdakwa dan kesesuaian antara saksi yang satu dengan saksi lainnya. Jika melihat kasus posisi, kita tidak bisa memastikan apakah para terdakwa punya niat jahat (guilty mind) atau tidak. Untuk membuktikan adanya niat jahat dari para terdakwa maka perlu dipastikan tentang tentang niat jahat ini, sehingga para terdakwa memenuhi unsur subjektif. Dalam unsur subjektif ini penting juga mempertimbangkan alasan pemaaf, yaitu subjek delik dipastikan memang cakap hukum, dan tidak terganggu ingatannya. Cakap hukum ini tidak saja soal telah dewasa atau tidak tetapi juga orang tersebut memang bisa membedakan yang baik dan yang buruk.

Unsur berikutnya adalah unsur objektif. Unsur objektif dalam delik ini adalah memasuki rumah/ruangan/pekarangan orang lain dengan paksaan. Unsur memasuki, miliki orang lain, dan dengan paksaan. Ketiganya harus ada dan mutlak, sehingga digolongkan sebagai perbuatan melawan hukum. Harus bisa dipastikan bahwa perbuatan tersebut memasuki rumah/pekarangan/ruangan milik orang lain, artinya bukan milik sendiri atau pemiliknya bisa membuktikan itu adalah milik yang bersangkutan atau rumah/ruangan/pekarangan ada pemiliknya, yaitu orang perorangan atau badan hukum. Jika dikaitkan dengan kasus, maka jelas tanah yang dimasuki oleh para terdakwa adalah milik PT. X. Namun, aspek kepemilikan saja, harus bisa dibuktikan para terdakwa masuknya dengan cara paksaan, artinya ada bagian dari rumah/ruangan/pagar yang dirusak ketika akan memasukinya, atau pemilik tanah atau orang menjaga tanah tersebut diancam oleh para terdakwa. Jika unsur-unsur ini tidak terpenuhi, maka berarti unsuk “paksaan” tidak dapat dibuktikan.

Dakwaan alternatif kedua adalah Pasal 385 ke-4 KUHP. Kejahatan yang diatur dalam Pasal 385 ini adalah kejahatan yang disebut dengan kejahatan “stellionnaat” yang berarti  penggelapan hak katas barang-barang yang tidak bergerak (onroerende goederen), misalnya tanah, sawah, gedung, rumah dan lain-lain.

Pasal 385 ke-4 KUHP :

Barangsiapa dengan  maksud yang serupa menggadaikan atau menyewakan sebidang tanah tempat orang menjalankan hak rakyat memakai tanah itu, sedang diketahuinya, bahwa orang lain yang berhak atau turut berhak atas tanah itu.

Pasal ini memiliki dua unsur penting yaitu unsur subjektif dan unsur objektif. Unsur subjektifnya adalah “dengan maksud” sedangkan unsur objektifnya adalah perbuatan menguasai tanah/bangunan atau benda tidak bergerak lainnya, lalu menggadaikannya atau menyewakkannya. Jika menilik dari dari kedua unsur ini, maka dapat disimpulkan bahwa delik yang diatur dalam Pasal 385 ke-4 KUHP ini adalah delik-delik yang ditujukan pada makelar tanah yang kemudian menyewakan atau menggadaikan tanah-tanah tersebut kepada pihak ketiga. Pasal ini menghendaki adanya dua perbuatan yang dilakukan agar unsur objektif terpenuhi yaitu perbuatan menguasai tanah dan yang kedua setelah tanah dikuasai selanjutnya digadaikan atau disewakan. Sementara itu, dari unsur subjektif, perbuatan tersebut harus dilakukan dengan sengaja, artinya ada kehendak jahat untuk menguasai tanah/bangunan dan ada kehendak jahat  untuk menyewakannya atau mengambil keuntungan dari pihak lain untuk dirinya sendiri.

Ultimum Remedium

Dalam kasus yang digambarkan di atas maka seharusnya hukum pidana merupakan sarana terakhir yang harus digunakan untuk menyelesaikan konflik pertanahan tersebut. Tidak sepatutnya Pasal 167 maupun Pasal 385 digunakan dalam menyelesaikan konflik tersebut. Jika pun para warga masyarakat dinilai melakukan perbuatan melawan hukum, maka Pasal 1365 KUHPerdata bisa digunakan untuk menyelesaikannya, artinya PT. X menggugat secara perdata para warga yang menempati tanah tanpa izin.  Dengan demikian hukum pidana tidak perlu “ditarik-tarik” untuk menyelesaikan konflik di atas. Dalam pelajaran hukum pidana diajarkan doktrin ultimum remedium kepada mahasiswa, dosen menerangkan bahwa hukum pidana adalah senjata terakhir atau senjatah pamungkas, bila senjata senjata lain tidak mampu menyelesaikannya. Artinya adalah konflik, perbuatan melawan hukum bisa diselesaikan dengan banyak cara, termasuk mediasi antar pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, tidak perlu harus mengorbankan warga yang begitu banyak ketika hukum pidana digunakan.

Aspek hukum lain yang patut dipertimbangkan dalam menyelesaikan konflik pertanahan ini adalah PERPU No. 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya. PERPU ini pun telah memberikan jalan keluar untuk menyelesaikan persoalan pemakaianan tanah tanpa izin. Dalam menyelesaikannya PERPU menganjurkan agar pemerintah daerah turun tangan ketika ada pihak yang merasa dirugikan ketika tanahnya diduduki oleh pihak lain yang tidak berhak. Jika pemerintah daerah gagal memediasi atau menyelesaikan persoalan tersebut, maka langkah selanjutnya adalah melaporkan ke penegak hukum (Pasal 6). Jadi penyelesaian pidana tetap digunakan, tetapi dijadikan sebagai jalan terakhir karena penguasaan tanah oleh yang tidak berhak ini merupakan persoalan yang komplek. Jika dilihat dari kacamata kriminologi, sebabnya tidak hanya satu, persoalan ekonomi menjadi penting dipertimbangkan sebagai salah satu faktor. Disamping itu, pemilik atau penguasa tanah pun tidak sungguh-sungguh dalam merawat atau mengelola atau menjaga tanahnya sehingga warga memanfaatkan tanah tersebut. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close