HAK ASASI MANUSIA DI ERA DIGITAL
Oleh SHIDARTA (Maret 2019)
Apa kaitan antara hak asasi manusia dan era digital? Benarkah era ini mengubah karakteristik konvensional konsep hak-hak asasi manusia?
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat secara kodrati, yang eksis bukan karena diberikan oleh hukum positif. Jadi, hak asasi manusia adalah hak yang hadir dan berlaku secara pra-positif. Dengan demikian, era digital sesungguhnya tidak menggeser pemaknaan konseptual ini kendati mungkin secara denotatif, akan ditemukan format-format baru dari hak asasi manusia ini.
Secara historis, sebagaimana kita pelajari di bangku-bangku kuliah, konsep hak asasi manusia memang lahir di Barat, yakni diawali dari Magna Charta Libertatum tahun 1251 di Inggris, dilanjutkan dengan deklarasi Habeas Corpus tahun 1679. Inti dari konsep hak asasi manusia yang paling awal ini adalah hak-hak terkait dengan pemidanaan, seperti larangan untuk melakukan penahanan dan penyitaan secara sewenang-wenang.
Pada kurun waktu itu pula, filsuf Inggris dan “Bapak Liberalisme” bernama John Locke (1632-1704) mengemukakan teorinya tentang kontrak sosial. Pemikirannya sangat mempengaruhi konsep hak asasi manusia karena di dalam teori ini dikemukakan konsep persamaan kedudukan manusia di hadapan hukum. Semasa John Locke hidup, terjadi perubahan sistem ketatanegaraan yang penting di Inggris, yaitu disahkannya Bill of Rights (1689) yang memberikan hak-hak khusus kepada parlemen di negara itu dan hak-hak setiap warga negara, seperti hak untuk hidup, hak milik, hak memperoleh kebahagiaan, dan lain-lain. Perkembangan ini menandai masuknya konsep hak asasi manusia ke dalam konstitusi, sehingga akhirnya hak asasi manusia menjadi hak konstitusional (constitutional rights). Apa yang terjadi di Inggris ini mempengaruhi gerakan konstitusionalisme di berbagai negara lain, sehingga pada akhirnya masuk juga ke dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Bahkan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berlaku jauh sebelum Indonesia merdeka (tentu berarti juga saat itu belum ada konstitusi negara), konsep hak asasi manusia sudah diakomodasi, antara lain dalam Pasal 3. Di situ dikatakan: “Geenerlei straf heeft den burgerlijken dood of het verlies van alle burgerlijke regten ten gevolge.” (Tiada suatu hukuman pun mengakibatkan kematian perdata atau kehilangan segala hak-hak perdata). Jadi, tidak boleh ada penghukuman (penjatuhan sanksi) yang membuat seseorang sampai kehilangan hak-hak keperdataannya. Apabila ranah hukum privat pun sudah mensyaratkan ini, bahkan sejak dua abad yang lalu, maka tidak ada alasan bahwa ranah hukum publik untuk tidak mengakomodasinya.
Dari rumusan kata-kata “Tiada suatu hukuman pun…” sebenarnya dapat diduga bahwa rumusan Pasal 3 KUH Perdata itu mendapat pengaruh kuat dari aliran Liberalisme. Ciri dari formulasi hak asasi manusia ala liberalisme memang banyak menggunakan kata-kata negatif, dalam arti memuat larangan secara selektif (sebenarnya juga minimalis) bagi negara untuk berbuat sesuatu yang dapat mencederai hak-hak asasi warganya. Di sini posisi warga dalam keadaan pasif, yakni tinggal menerima (pasrah) dan yakin pada komitmen negara atas pengakuan hak-hak asasi manusia yang dijanjikannya.
Dalam perkembangannya, tentu saja rumusan negatif seperti di atas sudah tidak lagi dianggap cukup. Hak asasi manusia harus diperjuangkan melalui sistem ketatanegaraan yang demokratis. Hak-hak asasi manusia pun bertumbuh, tidak lagi semata menunggu sampai negara memasukkannya ke dalam konstitusi. Oleh sebab itu, tidaklah mengherankan apabila corak hak asasi manusia tidak lagi selalu harus universal. Ada sejumlah hak yang berlaku partikular, dalam arti hak-hak yang unik diterima dan diakui ada pada satu kelompok tertentu karena faktor budaya, agama, dan sebagainya.
Pemahaman tentang hak asasi manusia seperti di atas, sangat penting disampaikan sejak awal kepada para penstudi hukum karena fondasi berpikir inilah yang akan mereka gunakan untuk mencermati perkembangan konsep-konsep hak asasi manusia. Tidak terkecuali, terhadap hak-hak yang diklaim sebagai hak asasi manusia di era digital.
Era digital bersentuhan dengan satu era tersendiri di dalam wacana filsafat, yaitu era dekonstruksi kebenaran. Orang ramai-ramai menyebutnya sebagai era post-truth. Era ini disebut sebagai zaman yang meletakkan “seni kebohongan” (the art of the lie) sebagai instrumen dalam penyampaian gagasan. Era tatkala hoaks (hoax) difabrikasi secara masif dan sistematis untuk mendukung kekuasaan petahana atau syahwat meraih kekuasaan calon penguasa. Pengertian kekuasaan ini harap dibaca secara luas, karena dapat terkait dengan politik, ekonomi, psikologis, kultural, dan lain-lain.
Salah satu hak asasi manusia yang muncul belakangan, khususnya terkait dengan hak warga sebagai konsumen vis-a-vis hak para pelaku usaha, adalah hak atas informasi yang benar (the right to be informed). Berbohong pada awalnya dianggap wajar dalam dunia bisnis, sebagaimana kebohongan yang lazim kita saksikan pada iklan-iklan di media massa. Masyarakat sepertinya maklum karena dalam bisnis “tidak ada kecap yang tidak menyebut dirinya nomor satu”. Namun, ada kalanya pelaku usaha tidak lagi bisa ditoleransi karena kebohongan itu sudah mengarah pada penipuan. Jadi ada pergeseran dari “fib to fraud”.
Digitalisasi informasi sungguh-sungguh berperan mempercepat pergerakan “fib to fraud” ini. Dan, sekali lagi hal ini berdampak sangat dahsyat pada konstruksi kepercayaan (trust) masyarakat terhadap struktur sosial yang ada, termasuk lembaga-lembaga yang selama ini dianggap mapan, seperti lembaga negara, agama, pendidikan, dan sebagainya. Percepatan itu terjadi karena repetisi yang sangat luar biasa terhadap kebohongan atau potensi kebohongan. Percepatan yang mungkin di luar dugaan ahli dan praktisi hoaks sekaliber Joseph Goebbels (1897-1945), Menteri Propaganda Pemerintahan Nazi Jerman), yang terkenal dengan pernyataannya: “A lie told once remains a lie, but a lie told a thousand times becomes the truth”.
Kita semua berada di dalam era ini. Era yang di satu sisi memanjakan kita dengan limpahan dan kemudahan akses terhadap data/informasi, namun di sisi lain juga menyulitkan kita dalam menyeleksi mana data yang akurat dan tidak akurat, mana data privasi dan tidak privasi, mana data yang relevan dan tidak relevan, mana data yang harus dipertahankan dan dilupakan. Kemampuan penyeleksian kita, termasuk kepekaan sosial kita, sayangnya juga ikut melemah; tidak sanggup dengan hantaman arus digitalisasi tersebut. Ketidakpekaan sosial (social sensitivity) inilah, yang menurut saya, menjadi salah satu faktor destruktif bagi pengakuan dan penegakan hak-hak asasi manusia.
Para penstudi hukum seharusnya juga makin sadar tentang tantangan-tantangan ini. Mereka harus diajak untuk makin bijak menyiasati tantangan ini dan menjadikannya sebagai peluang positif. Tantangan untuk memperkokoh kesadaran kita sebagai sebuah bangsa yang beradab dan peluang untuk membentuk preseden dalam sejarah kemanusiaan tentang adanya sebuah negara demokratis yang baru lahir; sangat luas dan majemuk; tetapi ternyata sanggup lolos dari hantaman destruktif derasnya arus digitalisasi data/informasi ini. (**)
Published at :