MEMBANGUN STARTUP DIGITAL UNICORN
Oleh BAMBANG PRATAMA (Januari 2019)
Salah satu isu yang dibahas dalam debat capres adalah tentang Startup digital Unicorn. Pasca debat, isu unicorn menjadi perbincangan hangat oleh berbagai pihak. Kemudian berbagai isu pembentukan startup digital diulas. Beberapa isu yang dibahas tidak hanya peluang pasar dalam negeri yang begitu besar, peluang masuknya investasi, anggaran penelitian untuk pengembangan startup digital, kreativitas dan inovasi, hingga instrumen hukum sebagai penunjang kebijakan dari negara. Dalam tulisan singkat ini, saya akan mengulas tentang konsep pengembangan startup digital dalam perspektif hukum dan kondisi peraturan yang ada. Pertanyaan yang muncul adalah apakah startup digital yang menyandang status unicorn ini lahir by design atau lahir by accident? Lalu pertanyaan lanjutannya adalah kontribusi siapa pengembangan startup digital hingga memiliki status unicorn?
Berbicara startup digital maka ada konsep sentral pembentuknyayang harus diketahui, yaitu konsep kewirausahaan (entrepreneurship). Startup digital yang dikembangkan oleh para wirausaha dan memiliki peluang untuk menjadi besar maka startup tersebut melewati beberapa fase, yaitu: (1) Cockroach, (2) Ponies, (3) Centaur, (4) Unicorn, (5) Decacorn, (6) Hectocorn, yang mana parameter umum penilaiannya adalah market dan valusi.
Letak kesulitan membentuk startup adalah mencari agen perubahan (wirausaha atau orangnya) yang ingin menjalankan bisnis dengan inovasinya dan juga kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya. Artinya, selain aspek SDM, ada aspek kondisi pasar yang harus dijaga agar para remain baru bisa masuk dan bertahan dalam pasar. Untuk menjaga agar pemain baru bisa bertahan di pasar salah satu cara yang bisa dilakukan adalah melalui pendampingan bagi para wirausaha dari mulai tingkat pembentukan, pengembangan (inkubasi), komersialisasi, hingga keberlanjutan (sustainability).
Secara umum dari empat fase tersebut di atas ada banyak pihak yang terlibat, diantaranya adalah akademisi, pebisnis, dan pemerintah/government (ABG). Dalam kaitan pengembangan kewirausahaan, beberapa langkah yang dilakukan oleh pemerintah sudah cukup banyak di berbagai sektor dengan memberikan skema pembiayaan melalui hibah, sebut saja pembiayaan penelitian, pembiayaan pengembangan kewirausahaan, pembiayaan pembentukan unit kewirausahaan di perguruan tinggi (entreprenuership center), perampingan perijinan, penyederhanaan aturan hukum, perbaikan instrumen hukum kekayaan intelektual.
Namun demikian terkesan dampak dari langkah-langkah pemerintah belum terasa di masyarakat. Masalah ini sebenarnya terletak pada upaya pemerintah tersebut di atas yang terlihat berjalan sangat sektoral. Fase pengembangan kewirausahaan harus berjalan dalam iklim dan ekosistem bisnis yang memiliki karakter link and match antara ABG. Selain itu, pemerintah juga harus melakukan intervensi dan keberpihakan pada startup.
Beberapa langkah yang dilakukan oleh negara Inggris, Amerika, Australia, Canada, New Zealend, Hong Kong, Singapura, adalah membuat entreprenuers visa, yaitu semacam program relaksasi aturan hukum bagi para wirausaha. Dalam hal ini campur tangan pemerintah yang kuat menjadi faktor krusial karena masalah yang harus dihadapi oleh para startup tidak hanya masalah dalam memasuki pasar, tetapi juga masalah dalam hal aturan hukum. Tanpa adanya pendampingan dan dispensasi, maka sangat kecil kemungkinannya para startup bisa bertahan menjadi pelaku pasar, apalagi membesarkan usahanya menjadi sekelas Unicorn.
Kemudian dari sisi utilisasi TIK bagi wirausaha baru seringkali membuat inovasi yang secara tidak langsung mengganggu pasar, namun secara perijinan tidak sesuai. Hal ini bisa dicontohkan dengan fenomena FinTech. Hal ini tentunya menuntut langkah strategis yang mampu menjaga keseimbangan antara inovasi dan kondisi pasar. Salah satu lembaga yang telah memiliki instrumen hukum dalam merespon inovasi adalah Bank Indonesia, dengan dikeluarkannya tentang regulatory sandbox. Model regulatory sandbox Bank Indonesia seharusnya bisa ditiru oleh kementerian dan lembaga lainnya. Alasannya karena inovasi dari para wirausaha tidak melulu di sektor finansial dan sistem pembayaran. Akan ada inovasi di bidang lain yang termasuk ke dalam domain kementerian dan/lembaga pemerintah. Oleh sebab itu, respon aturan dan respon melalui langkah strategis menjadi kebutuhan yang tidak bisa dihindari lagi.
Menurut hemat saya, saat ini ada dua kementerian yang memiliki urgensi tinggi sehingga harus memiliki model regulatory sandbox, yaitu: kementerian perhubungan dan kementerian kominfo. Dua kementerian tersebut di atas memiliki urgensi yang sangat tinggi membentuk regulatory sandbox karena disrupsi inovasi para wirausaha seringkali membuat gadung di wilayah tugas pokok dan fungsi kementerian tersebut di atas. Beberapa contoh yang bisa disebutkan misalnya masalah tentang transportasi online, motor listrik, komunikasi media sosial, dan industri konten internet, toko online, dan market place.
Beberapa disrupsi inovasi para wirausaha merupakan awal dari disrupsi besar, mengingat kondisi pasar digital Indonesia sedang tumbuh yang kemudian didorong lagi dengan kondisi industri 4.0. Oleh sebab itu respon dan langkah strategis perlu diambil secepat mungkin, mengingat kecepatan perubahan di bidang TIK begitu tinggi.
Melihat kondisi demikian, hanya ada dua pilihan yang bisa diambil, apakah ingin berkontribusi membentuk startup digital atau ingin menonton para pelaku pasar (entrepreneurs) mengeksploitasi pasar? jika ingin menonton, maka harus bersiap untuk mencuci piring atas pesta orang lain. Bertolak dari kondisi di atas, maka sudah saatnya para kementerian mulai mengamati industri yang mulai berkembang, khususnya di wilayah tugas pokok dan fungsi masing-masing. Kemudian membuat proyeksi dengan melakukan komparasi di berbagai negara, menyusun langkah-langkah strategis dengan praktik baik (best practice) negara lain yang sudah terlebih dahulu mengambil langkah.
Alasan utama berkontribusi dalam pengembangan startup digital karena pasar ekonomi digital tidak mengenal level playing field suatu negara. Selama suatu negara terhubung dengan jaringan Internet dan mampu melihat kebutuhan pasar maka siapa saja bisa memasuki pasar dunia. Hambatan utamanya justru pada instrumen hukum yang menahan para startup untuk dapat memulai usahanya dengan cepat (ease of doing business). Meski aturan hukum bukanlah satu-satunya penghambat ease of doing business, akan tetapi kedudukan aturan hukum memiliki posisi yang sangat penting dalam pengembangan startup. Salah satu yang bisa dicontohnya misalnya kecepatan membuat perusahaan. Di beberapa negara ada yang tingkat kecepatannya (kemudahan membuat perusahaan) dalam hitungan jam (tidak lebih dari 24 jam) dan setelah itu perusahaan yang dibentuk sudah bisa langsung beroperasi. Padahal nature dari usaha di bidang TIK (startup digital), kecepatan memasuki pasar memiliki urgensi yang tinggi, karena kondisi pasarnya yang cepat berubah. (***)
Published at :