PRODUK HUKUM TENTANG KETAHANAN PANGAN SEJAK ZAMAN KERAJAAN
Oleh REZA ZAKI (Februari 2019)
Dalam rangka mewujudkan ketahanan pangan dalam program Public Stockholding yang disepakati oleh Negara-negara anggota WTO. Indonesia telah menyusun sejumlah peraturan di dalam negeri antara lain Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, Undang-undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Tanah Berkelanjutan, Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2015 Tentang Ketahanan Pangan dan Gizi, Perpres No. 20 Tahun 2017 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016, Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah, dan Permendag Nomor 17/M-DAG/PER/6/2011 Tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian.
Di dalam Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan pasal 12 ayat (5) huruf e yang berbunyi mempertahankan dan mengembangkan lahan produktif ternyata tidak mampu diwujudkan oleh pemerintah dengan hilangnya lahan produktif pertanian setiap tahunnya sebesar 100.000 hektar sehingga mengurangi suplai pangan nasional.[1] Menurut Undang-undang No 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Tanah Berkelanjutan pada pasal 9 ayat (3) dijelaskan bahwa perencanaan lahan pertanian memuat unsur pertama, pertumbuhan penduduk dan kebutuhan konsumsi pangan penduduk, kedua, pertumbuhan produktivitas, dan ketiga kebutuhan pangan nasional.
Di samping itu, pada Permendag Nomor 17/M-DAG/PER/6/2011 tentang Pengadaan dan Penyaluran Pupuk Bersubsidi untuk Sektor Pertanian, terjadi misalokasi anggaran subsidi yang justru jatuh hanya kepada pemilik lahan, bukan buruh tani sebagai objek pengentasan kemiskinan di sektor pertanian. Misalokasi ini terbilang serius karena jumlah anggaran yang dialokasikan pun terbilang besar seperti pada tahun 2018 dianggarkan sebesar Rp 52,2 triliun.[2]
Belum mampunya pemerintah dalam mengelola dan mempertahankan lahan produktif pertanian serta terjadinya misalokasi subsidi pertanian terutama pupuk dapat menyebabkan rendahnya stok pangan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan pangan nasional. Ketidakmandirian pemerintah dalam mensuplai kebutuhan pangan nasional berakibat kepada lonjakan impor pangan terutama beras yang menyentuh hingga 2 juta ton pada tahun 2018.[3]
Hak milik atas tanah bukan merupakan hal baru. Sebelum diatur dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), pendahulu kita yang hidup di zaman kerajaan pun sudah mengenal mengenai hak milik atas tanah. Berikut akan diuraikan dengan singkat mengenai hal tersebut yang mungkin dapat digunakan salah satunya sebagai pengantar apabila ada yang ingin melakukan analisis mengenai sejarah hukum hak milik atas tanah di Indonesia.[4]
Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Kutai
Kerajaan Kutai (sekitar 400 M), jauh sebelum masuknya orang-orang Eropa di Nusantara, sebenarnya pengaturan dalam masalah tanah sudah dikenal dalam sistem pemerintahan kerajaan-kerajaan terdahulu. Pada masa jayanya kerajaan Kutai pernah dikenal adanya suatu ketentuan yang mengatur tentang acara penggunaan, pengolahan, pemeliharaan, jual beli, sistem pemilikan, tanah terlantar, dan tanah-tanah kehutanan. Adapun ketentuan-ketentuan tersebut sebagai berikut :
Pada masa kerajaan Kutai dikenal dengan Kitab Undang-Undang Brajananti atau Brajaniti. Pada masa kerajaan Banjar dikenal dengan Kitab Undang-Undang Sultan Adam dibuat sekitar tahun 1251.
Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Sriwijaya
Pengaturan sistem pertanahan pada masa kerajaan Sriwijaya (693-1400) dikenal dengan nama kitab undang-undang Simbur Cahaya yang merupakan peninggalan kitab undang-undang jaman raja-raja Sriwijaya. Prinsip pemilikan hak atas tanah, raja dianggap sebagai pemilik, sedangkan rakyat sebagai pemakai (penggarap) yang harus membayar upeti kepada raja sebagai pemilik.
Hak Milik Atas Tanah Masa Kerajaan Majapahit
Kerajaan Majapahit (1293-1525) merupakan suatu kerajaan yang menguasai seluruh Nusantara dan memiliki ketentuan yang paling lengkap tentang pengaturan kehidupan masyarakat. Tanah dalam kehidupan rakyat majapahit memegang peranan penting karena itu dibuat undang-undang tentang hak memakai tanah yang disebut Pratigundala. Pratigundala didapati dalam Negarakertagama pupuh 88/3 baris 4 hal 37. Undang-undang tersebut disusun dengan latar belakang bahwa kerajaan Majapahit merupakan suatu kerajaan yang rakyatnya sebagian besar hidup dari hasil-hasil pertanian. Dalam kitab undang-undang yang disebut agama, terdapat lima pasal di antara 271 pasalnya yang mengatur masalah tanah. Tanah menurut undang-undang agama dalam kerajaan Majapahit adalah milik raja. Rakyat hanya mempunyai hak untuk menggarap dan memungut hasilnya tetapi tidak memiliki tanah tersebut, hak milik atas tanah tetap ada pada raja. (***)
REFERENSI:
[1] Pikiran Rakyat, 100.000 hektar Lahan pertanian Menyusut Setiap Tahun, http://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2016/06/13/100000-hektare-lahan-pertanian-menyusut-setiap-tahun-371703 (Online), diakses pada 8 Agustus 2018
[2] CNN, Subsidi Pertanian Rp 52,2 T Dinilai Rawan Disalahgunakan, https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20180103144708-532-266420/subsidi-pertanian-rp522-t-dinilai-rawan-disalahgunakan (online), diakses pada 8 Agustus 2018
[3] Detik Finance, Mendag Buka-bukaan Soal Impor 2 Juta Ton, https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4183120/mendag-buka-bukaan-soal-impor-beras-2-juta-ton (Online), diakses pada 28 Agustus 2018
[4] Ngobrolin Hukum, Hak Milik atas Tanah Masa Kerajaan di Nusantara, https://ngobrolinhukum.wordpress.com/2013/03/03/hak-milik-atas-tanah-masa-kerajaan-di-nusantara/ (Online), diakses pada 20 November 2018
Published at :