PEMILU YANG BIKIN PILU: MENYOROTI NETRALITAS PELAYAN PUBLIK
Oleh SHIDARTA (Februari 2019)
Hiruk pikuk pemilihan umum, terlebih-lebih lagi pemilihan presiden dan wakil presiden, sungguh-sungguh menyedot energi bangsa kita akhir-akhir ini. Dan sayangnya, ibarat putaran kipas penyedot udara (exhaust fan), energi yang tersedot tadi tergantikan dengan aura negatif yang mengoyak kerekatan (kohesi) sosial kita.
Untuk menjaga agar kerekatan sosial ini tetap terpelihara, mutlak diperlukan figur-figur yang bisa tampil sebagai penjaga kohesi tadi. Sebagai manusia personal dan mahluk sosial, figur-figur ini tentu tidak bisa dikurung dalam ruang suci-hama karena dalam kesehariannya mereka tetap berinteraksi dengan banyak orang dan menghadapi problema-problema sosial. Mereka tentu memiliki kecenderungan untuk menyukai dan tidak menyukai masing-masing kandidat yang mencalonkan diri sebagai pemimpin mereka di kemudian hari. Namun, karena tuntutan profesionalitas, para penjaga kohesi sosial ini wajib untuk menunjukkan di hadapan publik, bahwa mereka netral, baik dalam sikap, ucapan, maupun tindakan.
Siapakah mereka? Secara legal-formal, peraturan perundang-undangan menetapkan mereka ini adalah Aparatur Sipil Negara/Pegawai Negeri Sipil, anggota Kepolisian Negara, dan anggota Tentara Nasional Indonesia. Secara nonlegal-formal, sebenarnya kita bisa menambahkan satu lagi korps yang figur-figurnya wajib netral, yakni para rohaniawan, pastor, pendeta, ulama, atau sebutan lain yang sejenis dengan itu. Kewajiban untuk netral ini diperlukan karena penyandang profesi/pekerjaan di atas merupakan profesi/pekerja luhur (nobile officium) yang melayani banyak kalangan sekaligus yang berlatar belakang berbagai macam afiliasi politik.
Aparatur Sipil Negara (ASN), anggota Polri, dan TNI, adalah pelayan-pelayan masyarakat yang wajib netral karena mereka bekerja untuk melayani semua orang tanpa kecuali. Sumpah jabatan/profesinya mengharuskan mereka bersikap netral. Sekali mereka tidak netral, maka hal itu akan mencederai kepercayaan publik terhadap mereka secara personal maupun secara institusional. Sekadar menyebutkan contoh, pada Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik Pegawai Negeri Sipil telah diberikan panduan tentang larangan-larangan yang tidak boleh dilakukan oleh setiap ASN/PNS, seperti menghadiri deklarasi bakal calon/calon tertentu, ikut memasang alat peraga kampanye, atau berfoto bersama dengan bakal calon/calon. Bahkan, tindakan menggungah (upload di media sosial), menanggapi (seperti like, komentar, dan sejenisnya), atau menyebarkan gambar/foto bakal calon/calon, juga merupakan perbuatan terlarang.
Memang, peraturan pemerintah ini secara eksplisit menyebutkan kata “calan/bakal calon kepala daerah,” padahal sebenarnya, esensi dari peraturan ini berlaku untuk semua jenis pemilihan pejabat publik, tak terkecuali pemilihan presiden/wakil presiden dan pemilihan anggota legislatif. Bagaimana jika ada ASN/PNS yang melakukan larangan-larangan ini? Peraturan pemerintah di atas menyebutkan adanya ancaman sanksi moral dan tindakan administratif berupa hukuman disiplin. Namun, terlepas dari itu semua, setiap ASN/PNS yang melanggar asas netralitas ini pada hakikatnya telah melanggar sumpah jabatan/profesinya tatkala ia dulu dilantik sebagai ASN/PNS. Sumpah tersebut dilafaskan dengan menyebut nama Tuhan pula!
Lalu, bagaimana dengan para korps rohaniawan kita? Apakah netralitas ini berlaku bagi mereka? Peraturan perundang-undangan tidak menempatkan korps ini sebagai profesi formal sebagaimana halnya ASN/PNS, anggota Polri, dan TNI. Untuk menyandang predikat suatu profesi formal tentu diperlukan standar profesionalisme yang cukup rigid dan hal ini sulit dilekatkan pada jenis pekerjaan ini, kecuali tentu saja untuk rohaniawan pada agama-agama yang mengenal pengangkatan dari otoritas khusus. Pada beberapa agama, sebutan rohaniawan cenderung lebih sebagai pengakuan sosiologis daripada yuridis.
Oleh karena pekerjaan ini banyak berakar pada pengakuan sosiologis, maka seberapa kuat pengaruh ketidaknetralan mereka, akan langsung teruji dari reaksi-reaksi sosial itu sendiri. Komunitas di seputarnya akan memberi kategorisasi pada figur-figur seperti ini, sehingga label kerohaniawan seseorang pada akhirnya menjadi sangat dipertaruhkan berangkat dari ucapan dan pola tingkah lakunya sendiri. Lebih ironis lagi jika orang-orang yang tidak mampu menunjukkan netralitas ini dikenal berpengaruh pada satu rumah ibadah tertentu, sehingga kelompok masyarakat yang merasa tidak sepaham dengan afiliasi politik para rohaniawan itu tadi, dipastikan akan menjauh dari rumah ibadah tersebut, atau setidaknya merasa tidak nyaman beribadah di sana. Dengan demikian, keputusan untuk mengorbankan netralitas seperti ini, alih-alih berbuah kebaikan, pada ujungnya justru bermuara pada kemudaratan. Satu hal yang juga perlu diperhitungkan adalah bahwa upaya untuk memulihkan kondisi seperti ini menjadi “normal” kembali, dipastikan akan membutuhkan waktu yang tidak singkat. Label rohaniawan partisan akan melekat selamanya sebagai “track record” pada diri yang bersangkutan. Bahkan, jauh hari setelah hiruk pikuk pemilihan umum ini usai digelar.
Sekarang, kita sungguh jengah mencermati makin banyaknya ketidaknetralan figur-figur pelayan publik kita, baik yang berstatus pelayan formal maupun non-formal. Satu-satunya pengobat dari kejengahan itu adalah apabila kita mencoba menghibur diri dengan menganggapnya sebagai proses pembelajaran dan pendewasaan bangsa ini dalam hidup berdemokrasi. Tapi, satu hal yang tak dapat dipungkiri: hiruk pikuk dan segala imbas dari pemilu ini sungguh-sungguh bikin pilu! Dan, kita berharap semuanya cepat berlalu. (***)
Published at :