People Innovation Excellence

MEDIA SOSIAL, KEPEKAAN SOSIAL, DAN GOLDEN RULE

Oleh SHIDARTA (Februari 2019)

Iseng-iseng, saya mencoba mencari tahu dari rekan-rekan di program studi saya, berapa banyak mereka memiliki group WhatsApp (WAG), baik yang aktif dan tidak aktif? Hasilnya sudah bisa saya prediksi, yaitu rata-rata 20 WAG. Saya yakin, banyak di antara Pembaca yang bisa menyodorkan angka lebih banyak, karena kian hari keanggotaan itu kian bertambah, mulai dari WAG keluarga inti, keluarga besar, RT, RW, alumni SD, SLTP, SLTA, universitas, rekan sekantor, sehobi, seasosiasi profesi, seproyek, sepengajian, dan entah apa lagi. Setiap usai mengikuti diklat, terkadang muncul WAG baru lagi.

Saya kebetulan diminta menjadi admin untuk satu WAG yang sangat spesifik, yaitu WAG Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU), yang saat ini anggotanya mendekati dua ratus orang. Sejak awal, ketika forum ini dibentuk, sudah disepakati oleh beberapa pembentuknya, untuk menggunakan WAG sesuai dengan namanya, yaitu FDPU, sehingga seharusnya menjadi media komunikasi yang relevan dengan persaingan usaha saja. Mereka yang umumnya adalah para dosen senior ini sudah sangat jenuh dengan model WAG yang isinya sama saja. Copy-paste cerita-cerita lucu, potongan nasihat, kutipan kitab suci, ajakan agar rajin ke gereja atau rajin sholat tahajud, informasi pengobatan super-manjur, sampai ke afiliasi politik. Akhirnya, mau diberi nama apapun WAG ini, isi semua group tadi sama saja. Tidak ada bedanya antara isi WAG para profesor doktor (saya kebetulan diminta menjadi pembina sebuah asosiasi seperti ini) dan WAG warga RT di tempat saya tinggal.

Oleh karena sudah sedemikian biasanya orang-orang menjadi anggota WAG seperti ini, maka jika ada WAG yang mencoba lebih fokus, sesuai dengan nama dan niat awal pembentukannya, maka akan dikomentari sebagai “WAG yang aneh”. Mereka merasa aneh kalau ada WAG yang tidak ramai berisi komentar-komentar yang sebenarnya “tidak penting” yang notabene lebih tepat dikirim langsung secara pribadi kepada si penerima.

Adakah sesuatu yang salah? Mari kita uji dengan satu peristiwa yang pernah saya cermati terjadi pada sebuah WAG. Kebetulan WAG ini beranggotakan berbagai latar belakang, termasuk agama dan kepercayaan. Ada seseorang yang sedemikian ingin berbagi kebaikan, sehingga setiap malam ia berpesan agar orang tidak lupa beribadah. Sebagai orang yang kebetulan berlatar belakang keyakinan yang sama dengan rekan ini, saya dapat memahami motivasi yang bersangkutan, yang boleh jadi tulus dilakukannya. Namun, suatu ketika, ketulusannya diuji tatkala tiba-tiba ada rekan beragama lain yang secara gencar juga mengirimkan pesan serupa secara berturut-turut. Ia langsung minta saya (sebagai admin) untuk menghentikan itu karena ia merasa tidak nyaman dengan ajakan dan khotbah seperti itu. “kalau tidak ditertibkan, saya akan left dari group ini,” ancamnya. Persoalannya adalah: ketika ia dulu mengirimkan pesan serupa, apakah ia pernah mempertimbangkan perasaan tidak nyaman ini bakal juga terjadi pada orang lain? Contoh kasus berisi pesan religius seperti di atas bisa saja diganti dengan pesan-pesan jenis lain, seperti pesan-pesan terkait afiliasi politik atau preferensi apa saja. Begitu banyak kemungkinan orang lain merasa tidak nyaman dengan postingan kita, yang akhirnya malah menjauh dari niat awal pembentukan WAG itu sendiri.

Di sinilah kita berbicara tentang kepekaan sosial (social sensitivity). Teori tentang kepekaan sosial memang dikembangkan dalam ranah psikologi, dan lazim dipakai untuk menguji tingkat kepekaan ini pada anak-anak mulai usia empat tahun. Bender dan Hastorf (1953) menamakannya dengan emphatic ability. Mereka menyatakan, “By empathic ability we mean social sensitivity in the perception of persons.” Selanjutnya mereka mengutip Dymond (1948) yang mendefinisikan empati sebagai: “The imaginative transposing of oneself into the thinking, feeling, and acting of another and so structuring the world as he does”.

Sebuah situs psikologi AlleyDog.com menjelaskan lebih detail tentang kepekaan sosial dengan rangkaian kalimat sebagai berikut:

Social sensitivity describes the proficiency at which an individual can identify, perceive, and understand cues and contexts in social interactions along with being socially respectful to others. This is an important social skill and having high levels of social sensitivity can make you more well-liked and successful in social and business relationships. An example of someone with low social sensitivity would be an individual who only talks about themselves, interrupts and talks over others, and who ignores social cues to stop talking. An example of someone with high social sensitivity would be a person who understands conversational cues and stops talking in order to listen at the appropriate time.

Dalam etika sosial, sebenarnya kepekaan sosial ini sudah diajarkan hampir di semua ajaran etis, termasuk agama. Ajaran ini kerap dipandang sebagai golden rule, yakni “Treat others as you want to be treated.” Menurut Gerhard Zecha (2011), setidaknya ada tujuh ekspresi berbeda dalam pengungkapan golden rule ini, yaitu: (1) pengungkapan secara positif: “Do unto others as you would have them do unto you,” (2) pengungkapan secara negatif: “One should not behave towards others in a way which is disagreeable to oneself,” (3) pengungkapan sebagai the rule of emphaty: “Do to others what you yourself would like to experience” atau: “Don’t do to others what you would dislike to suffer,” (4) pengungkapan sebagai the rule of autonomy: “Treat others according to your judgment of their behavior as morally right”; dan kemudian “Don’t treat others according to your judgment of their behavior as morally wrong,” (5) pengungkapan sebagai the rule of mutuality atau the rule of reciprocity: “Do unto others what you would do to you if you were in their place”; dan “Don’t do unto others what you wouldn’t do to you if you were in their place,” (6) pengungkapan sebagai the rule of consistency: “Don’t have your actions out of harmony with your desires (toward a reversed situation action),” dan terakhir (7) pengungkapan sebagaimana muncul dalam berbagai kitab suci.

Dalam dunia hukum, golden rule ini menjadi cikal bakal dari doktrin similia similibus. Doktrin ini kemudian menjadi acuan dalam prinsip persamaan (gelijkheid), yang oleh Paul Scholten dipandang salah satu dari lima asas universal di dalam setiap sistem hukum. Pengembangan tentang asas ini sebagai fondasi dalam etika profesi, pernah saya elaborasi dalam buku berjudul “Moralitas Profesi Hukum: Suatu Tawaran Kerangka Berpikir” (Bandung: Refika Aditama, 2006) dan disajikan dalam simposium Digital Paul Scholten Project (Universitas Amsterdam 2016).

Jika kita kembali ke isu awal tulisan ini tentang media sosial, maka boleh jadi memang ada yang salah dalam alam pikir kita terkait kemampuan kita menyikapi perubahan sosial yang terjadi di sekeliling kita. Media sosial telah membuat kita senang [maaf] “menelanjangi” diri sendiri atau orang lain. Kita senang jika keberadaan kita diketahui semua orang, sehingga kita rajin memutakhirkan (update) status dari waktu ke waktu. Masyarakat kita tiba-tiba cenderung ingin tahu aktivitas orang lain, bahkan aktivitas seorang anak kecil, yang diberi predikat sebagai selebritas. Akhirnya, persoalan privasi dan non-privasi menjadi makin kabur.

Alhasil, tatkala kita mengirim pesan kepada orang lain, kita pun tidak lagi merasa perlu untuk memilah-milah seberapa informasi seperti itu punya nilai penting bagi si penerimanya. Kita, misalnya, tidak merasa perlu mempertimbangkan seberapa ajakan ke gereja, penting bagi anggota WAG yang memang tidak beribadah ke gereja. Kita menjadi tidak lagi bijak karena secara egois berpendapat, “Biarlah si penerima itu sendiri yang memilah mana yang berguna baginya dan tidak berguna.” Kira-kira, jika dikaitkan dengan contoh kasus rekan saya di atas, ia mungkin berpikir: “Kalaupun ia tidak merasa sekeyakinan dengan saya, maka itu adalah masalahnya, bukan masalah saya! Yang penting, saya sudah menebar kebaikan!”

Tesis sementara yang bisa kita bangun adalah bahwa fenomena media sosial dewasa ini, benar-benar telah menggerogoti kepekaan sosial kita. Tesis ini bisa saja dibantah dengan ujaran pamungkas sederhana oleh rekan saya: “Niat menebar kebaikan, kok dipermasalahkan! Gitu aja kok repot! “(***)


REFERENSI:

AlleyDog.com, “Social sensitivity,” <https://www.alleydog.com/glossary/definition.php?term=Social+Sensitivity>, akses 12/02/2019.

Bender, I.E. & Hastorf, A.H., “On measuring generalized emphatic ability (social sensitivity),” the Journal of Abnormal and Social Psychology, vol. 48, no. 4, 1953, pp. 503-506.

Shidarta, “In search of Schoten’s legacy on ‘rechtsvinding’ method in the current Indonesian legal discouse,” <http://www.paulscholten.eu/research/article/in-search-of-scholtens-legacy-on-rechtsvinding-method-in-the-current-indonesian-legal-discourse-2/> University of Amsterdam, 2016, akses 12/02/2019.

Zecha, G., “The golden rule in applied ethics: how to make right decision in theory and practice,” Anuarul Yearbook Institutului of de Istorie “George Bariţiu” Institute of History din Cluj-Napoca of Cluj-Napoca, Series Humanistica, tom. IX, 2011, p. 89–100.


 

 

 

 

 

 

 

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close