MENJADIKAN PANCASILA SEBAGAI HIERARKI YANG TERTINGGI DALAM PEMBENTUKAN PERUNDANG-UNDANGAN
Oleh AGUS RIYANTO (Januari 2019)
Untuk mengatur dan dapat merumuskan perundang-undangan, politik hukum nasional harus mengacu pada Pancasila yang berbasiskan moral dan agama, menghargai dan melindungi hak-hak asasi manusia tanpa diskriminasi dan rasialis, mempersatukan seluruh unsur bangsa dengan semua ikatan primordialnya dan meletakan kekuasaan di bawah kekuasaannya dan membangunkan keadilan sosial untuk seluruh rakyat Indonesia. Meski diakui bahwa Pancasila adalah sumber segala sumber hukum, tetapi kehendak untuk menjadikan Pancasila sebagai bagian pasal-pasal yang ada dalam perundang-undangan tidak mudah. Ketidakmudahan itu terjadi, karena tidak ada aturan yang secara imperatif atau memiliki daya untuk memaksa mengikatkan dalam bentuk keharusan kepada suatu udang-undang yang telah, sedang dan dibentuknya nilai-nilai Pancasila. Problematika di atas menjadi penting dan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena berpotensi ketidaksinkronan atau dapat bertolak belakang antara undang-undang dengan Pancasila. Hal ini terjadi bersumber ketidaktegasan dan tidak diletakannya Pancasila sebagai rujukan utama dalam tata urutan atau hierarki perundang-undangan. Seharusnya, Pancasila menjadi rujukan mutlak di dalam setiap pembentukan segala bentuk ataupun produk hukum perundang-undangan. Namun, mengapa Pancasila sebagai sumber hukum dan sumber hukum tertinggi dengan tidaklah diletakan dalam kedudukan yang pertama ? Mungkinkah itu ?
Saya berpendapat bahwa ada tiga alasan utama mengapa Pancasila menemui kesulitan menjadikan sebagai sumber hukum tertinggi di dalam pembentukan perundang-undangan. Pertama, masalah historis Pancasila, yang dimaksudkan masalah historis adalah menganalisa Pancasila dari semenjak lahir, hingga sekarang ternyata masih tetap saja ada yang mempermasalahkannya. Bahkan terakhir terdapat usaha-usaha menggantikan Pancasila dengan Khilafah. Sebuah usaha-usaha yang tidak dapat dinilai main-main, tetapi sudah masuk dalam kategori berat sebagai niat dan kehendak melakukan penggantian Pancasila bukanlah isapan jempol. Untuk memotretnya, Pancasila sebagai sumber hukum dapat dikaji dengan dinamika rezim berkuasa dan berikut penyimpangannya. Artinya, Pancasila sejak dahulu hingga sekarang tidak terlepas usaha-usaha mengerus dan apabila mungkin menggantikannya. Meski demikian usaha untuk menggantikan Pancasila itu ada. Secara konstitusional Pancasila berlaku pada tanggal 18 Agustus 1945 dan pada waktu pemerintahan baru berdiri yang digunakan sebagai dasar negara adalah Pancasila dan UUD 1945, dengan sistem pemerintahan presidensiil. Meski pemerintahan telah ada, tetapi pada periode 1945 – 1950 upaya-upaya mengganti Pancasila dengan ideologi lain telah muncul gerakan pemberontakan yang tujuannya menganti Pancasila dengan ideologi lainnya. Hal itu sebagaimana dilakukan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada tanggal 18 September 1948 yang dipimpin Muso. Tujuan PKI adalah mendirikan negara Soviet di Indonesia yang berideologi komunis, tetapi pemberontakan itu pada akhirnya dibatalkan. Kemudian, Pemberontakan DI/TII yang dipimpin oleh Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo dengan tujuan adalah didirikannya NII adalah mengganti Pancasila sebagai dasar negara dengan Syari’at Islam.
Dalam periode selanjutnya yaitu pada orde lama dimana dasar negara tetap Pancasila, akan tetapi di dalam penerapan atau prakteknya lebih cenderung seperti ideologi liberal. Hal tersebut terjadi dalam penerapan sila keempat dari Pancasila yang tidak lagi dengan jiwa musyawarah mufakat, tetapi menggunakan sistem suara terbanyak (voting) dalam proses pengambilan keputusan di Parlemen. Hal ini berarti bahwa penerapan Pancasila selama periode ini adalah Pancasila diarahkan sebagai ideologi liberal yang ternyata tidak menjamin stabilitas pemerintahan. Dalam periode ini juga dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Hal ini menunjukkan demokrasi bukanlah berada di tangan rakyat dengan nilai-nilai Pancasila, tetapi berada kepada kekuasaan pribadi Presiden Soekarno. Akibatnya, Soekarno menjadi pemimpin yang otoriter dan mengangkat dirinya sendiri sebagai presiden seumur hidup, dan menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis (Nasakom), yang ternyata jelas-jelas tidak cocok untuk bangsa Indonesia. Pada waktu rezim orde baru berkuasa Pancasila hadir bagaikan dogma yang kaku. Hal ini, karena Pancasila dikultuskan dengan berusaha menerapakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Murni dan konsekuean adalah sebuah jargon politik untuk menunjukkan kesungguhan pemerintah waktu itu untuk menjalankannya, namun tidak jelas bagaimana maksudnya, sehingga penafsiran makna dibalik kalimat tersebut diserahkan kepada rezim tersebut. Yang terjadi akibatnya Pancasila itu, selain sebagai sumber segala sumber hukum, tetapi lebih dari itu juga Pancasila telah menjadi alat untuk memberikan dan melanggengkan kekuasaan otoriter orde baru. Lebih jauh pada rezim orde baru juga mulai tumbuh pengkultusan diri bahwa Pancasila sebagai ideologi tunggal dan harus berlaku untuk semua partai politik, sehingga tidak boleh ada partai politik yang tidak dengan ideologi Pancasila. Dengan cara demikian ini, maka Pancasila bagaikan sebuah ideologi yang terpaksa diterima dan tidak dengan kesadaran sendiri merasakan perlu untuk kehidupannya.
Kondisi menjadi berbeda setelah era reformasi, Pancasila seolah-olah tenggelam dalam pusarannya sejarah masa lalu yang tidak lagi relevan untuk disertakan dalam dialektika kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila sepertinya hilang dari memori kolektif, semakinlah jarang diucapkan, dikutip, dibahas, baik dalam kehidupan ketatanegaraan, kebangsaan, maupun kemasyarakatan. Bahkan, Pancasila seperti tersandar di sebuah lorong sunyi di tengah denyutnya kehidupan bangsa Indonesia yang semakin hiruk-pikuk dengan demokrasi dan kebebasan berpolitik. Setelah hampir lebih sembilan belas tahun menjalani era reformasi, bangsa Indonesia seolah-olah terjebak pada arus kebebasan individu yang mengatasnamakan demokrasi. Akhirnya, terombang-ambing karena lupa apa tujuan yang ingin dicapai. Bangsa ini seperti kehilangan identitas dan jati dirinya. Meski diakui bahwa sebagian besar bangsa ini tidaklah lagi mempersoalkan hal-hal mendasar yang telah disepakati bersama, seperti : ideologi, dasar negara, NKRI, kebinekaan maupun hubungan negara dan agama. Namun, implementasinya Pancasila dalam kehidupan nyata mulai meredup. Mengakui Pancasila sebagai falsafah bangsa, dasar negara, ideologi bangsa dan negara, telah disepakati bahwa Pancasila sebagai way of life, jati diri, serta juga perekat dan pemersatu bangsa. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa terkadang melupakan dan mengabaikan kesepakatan dan nilai-nilai luhur itu dalam kehidupan nyata. Salah satu tantangan ke depan ialah bagaimana mendudukkan kembali Pancasila pada tempatnya yang terhormat sebagai sumber segala sumber hukum, sumber pencerahan, sumber inspirasi, dan sumber solusi terhadap masalah-masalah yang dihadapinya. Keberadaan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan juga bernegara sangat tergantung pada cara masyarakat dan seluruh bangsa Indonesia mengimplementasikannya. Pancasila harus terus dipahami dan dimaknai agar nilai-nilai fundamentalnya dapat menjadi pemandu arah penyelenggaraan kehidupan berbangsa. Dengan demikian, maka pemaknaan Pancasila harus sampai pada tahap bahwa nilai-nilai Pancasila dapat menjadi perekat yang efektif dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu, Pancasila sebagai dasarnya negara, ideologi bangsa tidak dapat bila dipandang sebagai romantisme historis saja. Pancasila harus dipandang sebagai suatu fakta yang real hadir dan kebutuhan sebagai instrumen pemersatu bangsa ini.
Kedua, masalah Pancasila antara yang tertulis dan tidak tertulis. Untuk dapat memperjelas masalah ini saya menggunakan pendapat Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo. Dalam Simposium Nasional “Institusionalisasi Pancasila dalam Pembentukan dan Evaluasi Peraturan Perundang-undangan” di Jakarta, berpendapat bahwa penanaman nilai-nilai luhur dari Pancasila seharusnya juga dilakukan lewat instrumen hukum yang tidak tertulis. Sebab, selama ini penanaman nilai-nilai Pancasila di masyarakat terlalu bergantung pada berbagai produk hukum yang tertulis. Di Indonesia, berbagai upaya untuk dapat menanamkan nilai-nilai Pancasila selama ini mengandalkan berbagai hukum tertulis, terutama yang dihasilkan DPR, sehingga dapat diterjemahkan hukum tertulis dapat mengalahkan hukum yang tidak tertulis. Meskipun, harus diakui bahwa berbagai cara yang lebih cepat dan bersentuhan langsung dengan masyarakat tidak selalu harus dengan hukum tidak tertulis. Pembinaan Pancasila dengan hukum tidak tertulis, agak terabaikan. Menurut Agus, selama ini berbagai perbincangan tentang Pancasila menunjukkan bahwa Pancasila belum benar-benar dirasakan mengakar apalagi dapat dipahami di dalam substansinya. Berbagai program dalam P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan memakan waktu berjam-jam tentang Pancasila di masa orde baru hingga berbagai pencantuman asas Pancasila dalam perundang-undangan seolah-olah tidaklah berdampak.
Sebagai nilai-nilai yang digali dari kepribadian bangsa Indonesia jauh sebelum deklarasi kemerdekaannya, Pancasila seolah asing dari kehidupan bermasyarakat. Padahal, seharusnya Pancasila terus tumbuh subur di masyarakat. Pancasila dalam bentuk konkret adalah kemampuan hidup dalam kebhinekaan di dalam kehidupan berbangsa yang berketuhanan. Pancasila dapat sebagai sumber hukum tertulis dan juga tidak tertulis di dalam sistem hukum Indonesia. Upaya menghidupkan Pancasila sebagai nilai-nilai luhur kepribadian bangsa terlalu sering melekat kepada jargon dan teks dalam hukum tertulis. Agus mencontohkan bagaimana masyarakat di Jepang memiliki hukum tidak tertulis yang sangat kuat menanamkan nilai-nilai kebudayaan, meskipun tidak diwujudkan dalam hukum yang tertulis. Untuk itulah, Agus berharap agar upaya menghidupkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tidak bergantung pada institusionalisasinya dalam teks-teks hukum yang tertulis. Supaya bersifat total dan menyeluruh, keduanya harus berfungsi, hukum tidak tertulis dengan cara kultural di masyarakat. Agus mengingatkan agar upaya-upaya institusionalisasi Pancasila dalam pembentukan dan evaluasi peraturan perundang-undangan dengan tidak melupakan substansi bahwa Pancasila harus benar-benar hidup di masyarakat, bukan sekadar hanya dalam produk legislasi saja.
Berpegang kepada pendapat Letjen TNI (Purn) Agus Widjojo tersebut, maka jelaslah bahwa menjadikan Pancasila dalam bentuk formal dan tertulis itu juga menjadi suatu problema yang tidak mudah. Hal ini, karena juga disebabkan Pancasila itu lebih bersifat abstrak, umum dan tidak konkrit. Hal itu, karena sila-silanya menunjukkan sifat-sifat abstrak dan umum, karena Pancasila merupakan suatu nilai. Sila-sila ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan dan keadilan secara semantik berhubungan makna “hal” yang berkaitan dengan Tuhan, rakyat dan adil dan kata-kata tersebut mengandung makna abstrak. Oleh karena itu dapat dikatakan sila-sila dari ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan, kesemuanya sarat mengandung makna abstrak. Konekuensinya konkritisasi dari Pancasila di dalam terjemahan keseharian menjadi tidaklah mudah untuk direalisasikan dan diwujudkan terlebih-lebih apabila harus di dalam bentuk hukum tertulis. Meskipun, patut disadari bahwa hukum yang tidak terulis juga dapat digunakan dan sangat mungkin effektif dibandingakan hukum yang tertulis dalam menanamakan nilai-nilai Pancasila. Hal ini karena menjadi hukum tidak tertulis dengan nilai-nilai Pancasila yang abstrak, umum dan tidak konkrit adalah tidak mudah merumuskannya di dalam pembentukan perundang-undangan. Disamping itu birokrasi dan berliku-likunya untuk memasukannya nilai-nilai Pancasila di dalam perundang-undangan adalah problema yang realitas ada di depan mata untuk dapat mewujudkannya dalam bentuk hukum tertulis. Terlebih-lebih akan mematikan nalar atau akal sehat dan membunuh rasioalitas apabila setelah menjadi undang-undang nilai-nilai Pancasila tidak diwujudkan dalam kesehari-harian masyarakat, lemahnya contoh nilai-nilai itu oleh para penyeleggara negara, politisi, pejabat dan tokoh masyarakat yang tidaklah sejalan dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Ketiga, masalah yuridis dari Pancasila. Yang dimaksudkan masalah yuridis dalam konteks ini adalah mempertanyakannya mengapa Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum tidak diletakan dalam kedudukan teratas atau yang tertinggi. Hal ini, karena jika berdasarkan Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR Mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Perundang RI, Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 dan terakhir direvisi Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menunjukkan legitimasi terhadap Pancasila tidaklah perlu dipermaslahkan lagi. Artinya, keabsahan secara yuridis sudah tidaklah ada masalah, namun mengapa tidak diletakan di dalam kedudukan yang tertinggi dan bahkan tidak ada sama sekali atau mungkin dinilai menjadi satu dengan UUD 1945. Tidak diletakannya Pancasila sebagai yang pertama sebagai sumber dari segala sumber hukum menjadikan tidak ada kekuatan mengikat atau mengharuskannya bahwa setiap produk hukum yang dibentuk dan berada dibawahnya akan mengikuti nilai-nilai luhur Pancasila. Dengan demikian, maka dapatlah dikategorisasikan bahwa Pancasila belum memiliki kedudukan dalam hirarkinya perundang-undangan. Akan tetapi dengan merujuk pada stufenbautheory Hans Kelsen dan Nawiasky yang mengaharuskan puncak hirarkis norma adalah norma dasar (“Grundnorm”), maka Pancasila sebagai norma dasar seharusnya berada dalam puncak tata urutan norma tersebut. Melalui hal demikian, maka tata urutan dalam perundang-undangan dari atas ke bawah menjadi :
a). Pancasila.
b). Undang-undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
c). Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyar Republik Indonesia.
d). Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang.
e). Peraturan Pemerintah.
f). Peraturan Presiden.
g). Peraturan Daerah Provinsi; dan
h). Peraturan Dearah Kabupaten/Kota.
Dasar pertimbangan diletakannya Pancasila di dalam kedudukan tertinggi tidak saja karena sumber dari segala sumber hukum, tetapi substansi dari Pancasila mengandung nilai filosofis, memiliki muatan sebagai identitas hukum nasional dan tidak mengatur perintah, larangan dan sanksi, tetapi lebih kepada asas-asas fundamental. Artinya, Pancasila itu menjadi berlaku karena merujuk pada prinsip sebagai sebuah kebenaran umum atau dasar realitas yang ada di Indonesia. Sebagai dasarnya, maka Pancasila tidaklah mungkin dapat terjadi produk-produk hukum atau perundang-undangan yang dihasilkannya berkhianat dengan kebenaran dan keagungan Pancasila itu sendiri. Dapat dijadikan sebagai potret bahwa menurut data terakhir terdapat lebih dari 100 Perda yang harus dibatalkan oleh Menteri Dalam Negeri karena bertolak belakang dan bahkan bertentangan dengan nilai-nilai luhur Pancasila. Hal ini harus menjadi permenungan kembali, karena dapat saja terjadi lagi Perda yang bermasalah, sebagaimana yang telah terjadi, apabila tidak ada keinginan untuk menjadikan Pancasila ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan. Pancasila harus menjadi mendorong dan mengikat terhadap seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia dengan harapan bahwa dapat ditekan kemungkinannya terdapatnya peraturan-peraturan daerah yang berkontradiksi substansinya dengan Pancasila. Pada akhirnya sudah waktunya Pancasila ke depan harus diletakan derajatnya tertinggi dan teratas di antara produk hukum lainnya di dalam penyusunan peraturan perundang-undangan, baik tertulis ataupun tidak tertulis, dengan berpegang teguh kepada kelima sila dari Pancasila sebagai dasar dari nilai-nilai Pancasila.
Berangkat dengan pemaparan di atas, maka selama ketiga permasalahan tersebut belum terjawab secara baik dan memiliki jalan keluarnya, maka kehendak untuk menjadikan Pancasila dalam kedudukan tertinggi tidaklah mudah untuk diwujudkan. Untuk itulah, maka politik hukum nasional dapat menjadi jembatan yang akan menghubungkan tidak ditempatkannya Pancasila di dalam tata urutan tertinggi dalam hierarki perundang-undangan. Hal itu, dilakukan untuk mendekatkan jarak jauh menjadi dekat antara Pancasila dengan dimensi teoritikal dengan realitasnya. Politik hukum nasional dengan segala kewenangan yang ada, melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dengan program legislasi nasionalnya menjadi operator pembuka untuk menjadikan nilai-nilai Pancasila tertanam dan hadir di undang-undang yang dibentuknya. Termasuk untuk itu, dibutuhkan sebuah kemauan kuat negara dan seluruh rakyat Indonesia untuk mengaturnya dan memastikan Pancasila berada di puncak yang tertinggi di dalam hierarki perundang-undangan. Untuk kebutuhan mendesak itu, maka dibutuhkan kemauan politik (political will) yang kuat untuk mewujudkannya. Kemaun kuat yang mendekatkan Pancasila kepada semangat dan cita-cita yang ada dalam nilai-nilai luhur dari Pancasila ke dalam pembentukan perundang-undangan yang lebih sesuai dengan situasi dan kondisi, kultur, serta nilai-nilai yang ada di masyarkat dengan berpegang kepada kebutuhan masyarakat terhadap hukumnya itu sendiri, yang keseluruhannya harus bermuara dan berhulunya kepada Pancasila sebagai dasar kekuatan terbesarnya dari undang-undang tersebut.
Referensi :
– Zulkarnaen, Dinamika Sejarah Hukum Dari Filosofi Hingga Profesi Hukum, Pustaka Setia, Bandung, 2018.
– H. Abdul Manan, Dinamika Politik Hukum di Indonesia, Kencana Media, Jakarta, 2018,
– Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Rajawali Pers, Jakarta, 2004.
– Imam Anshori Saleh, Membenahi Hukum Dari Proklamasi ke Reformasi : Urgensi Prolegnas Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Konstitusi Press, Jakarta, 2009.
– Syahrial Syahrini, Implementasi Pancasila Melalui Pendidikan Kewarganegaraan, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010.
-Fais Yonas Bo’a, Pancasila Sebagai Sumber Hukum Dalam Sistem Hukum Nasional, Jurnal Konstitusi, Volume 15, Nomor 1 Maret 2018.
– http://mediaindonesia.com/read/detail/130156-pancasila-tenggelam-di-era-reformasi, tanggal diakses 6 Januari 2019.
– https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5b5ec0a4a96767/gubernur-lemhannas-pancasila-lemah——–karena-terlalu-bergantung-pada-hukum-tertulis, tanggal diakses 5 Januari 2019.
Published at :