MEMUTUS TRADISI PERNIKAHAN DINI BERDASARKAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI DI INDONESIA
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Desember 2018)
Bagian Pertama
Kultur pernikahan muda (dini) terjadi di banyak daerah di Indonesia salah satunya di Kabupaten Bantaeng Sulawesi Selatan. Pada bulan April 2018, dua orang bocah berusia 14 dan 15 tahun menikah. Sebelum menikah, orang tua kedua anak ini sempat mengajukan permohonan dispensasi ke Pengadilan Agama setempat. Wakil Ketua Pengadilan Agama Bantaeng, Ruslan Saleh mengatakan bahwa aspek budaya lokal menjadi pertimbangan pengadilan agama setempat untuk meloloskan pernikahan itu, Majelis hakim selalu mempertimbangkan dengan adanya budaya siri’na Pacce (malu dan kasih). Karena sering terjadi masalah di belakang hari, ketika desakan dari masyarakat untuk menikahkan seseorang yang dinilai sudah layak namun tidak dikabulkan itu bisa berbuntut panjang, hal ini juga yang patut diperhatikan majelis hakim untuk mengacu pada karifan lokal. Kasus yang sama terjadi di Kabupaten Sinjai, perempuan usia 12 tahun hendak menikah dengan seorang pria berusia 22 tahun. Meskipun pesta pernikahan keduanya gagal karena penghulu menolak datang ke acara pasangan itu. [i]Selain budaya, dalil-dalil agama sering digunakan untuk membenarkan dan melegitimasi pernikahan anak. Sebagian berpendapat menikah muda adalah sesuatu yang positif dan menjadi pilihan tepat agar terhindar dari dosa (menghindari zina).
Perkawinan muda sudah sejak lama menjadi fenomena nasional, fenomena kultur yang sangat mempengaruhi pola kehidupan masyarakat, khususnya di indonesia. Fenomena perkawinan muda di berbagai etnis di indonesia memperlihatkan bawa masalah perkawinan muda perlu untuk diperhatikan. Kerentanan sosial kultural akibat perkawinan muda cenderung berdampak terhadap aspek psikologis dan sosiologis, khusunya pada anak perempuan yang masih usia muda belia. Perkawinan muda yang dilakukan cenderung menimbulkan masalah dalam kehidupan rumah tangga pasangan yang menikah muda tersebut. Pola pikir dan cara berpikir yang masih belum cukup matang dalam mempersiapkan diri untuk menikah, disinyalir berdampak pada sikap dan perilaku dalam rumah tangga.[ii]
Mengingat dampak buruk pernikahan anak, perjuangan menghentikan pernikahan anak telah diupayakan oleh berbagai pihak salah satunya dengan mengajukan hak uji materil ke Mahkamah Konstitusi oleh lembaga swadaya masyarakat dan perorangan. Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Kesehatan Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Aliansi Remaja Independen mengajukan permohonan revisi usia minimal perkawinan untuk perempuan dari 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi usia 18 tahun ke MK. MK menolak pengajuan revisi tersebut kecuali hakim MK Maria Farida yang berbeda pendapat. Permohonan hak uji materil
Pencegahan Kawin Anom
Penyelesaiannya tidak hanya dengan satu formulasi melalui perubahan kebijakan yaitu putusan MK Penangannya membutuhkan kerjasama berbagai pihak secara terus-menerus. Dalam kaitannya hukum positif tentang perkawinan, pada pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia, kekal berdasarkan Ketuhanan YME. Selanjutnya syarat-syarat perkawinan juga diatur di dalam UU a quo antara lain : terdapat persetujuan dari mempelai perempuan, terdapat pernyataan izin dari orang tua atau wali bagi calon mempelai yang berusia 21 tahun, umur laki-laki sudah mencapai ….tahun dan mempelai perempuan berusia …, antara kedua calon mempelai tidak terdapat hubungan darah yang dilarang untuk kawin, tidak terikat hubungan perkawinan dengan orang lain, tidak bercerai untuk kedua kali dengan suami isteri yang sama yang hendak dinikahi, bagi seorang janda tidak dapat menikah lag sebelum selesai masa idahnya.
Perbedaan batas usia minimal perkawinan bagi laki-laki memberi ruang lebih banyak bagi laki-laki untuk menikmati pemenuhan hak-haknya sebagai anak karena batas usia kawinan minimal laki-laki yang melampaui usia minimal anak sebagaimana diatur dalam UU Perlindungan Anak. Sekalipun ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 merupakan kebijakanhukum yang diskriminatif atas dasar jenis kelamin, namun tidak serta-merta Mahkamah dapat menentukan berapa batas usia minimal perkawinan. Mahkamah hanya menegaskan bahwa kebijakan yang membedakan batas usia minimal perkawinan antara laki-laki dan perempuan adalah kebijakan yang diskriminatif, namun penentuan batas usia perkawinan tetap menjadi ranah kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Mehkamah perlu menegaskan kembali pndirian a quo disebabkan Mahkamah tetap menyaini bahwa kebijakan terkait penentuan batas usia minimal perkawinan dapat saja berubah sewaktu-waktu sesuai dengan tuntutan kebutuhan perkembangan berbagai aspek dalam masyarakat. Pada saat Mahkamah menentukan batas usia tertentu sebagaimana dimohonkan oleh para pemohon, hal demikian tentunya akan dapat menghambat pembentuk undang-undang dalam melakukan perubahan ketika ia harus melakukan penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat.
Selanjutnya terdapat ketidaksingkronan antara batas minimal usia perkawinan bagi anak perempuan dalam UU No. 1 Tahun 1974 dengan usia ank dalam UU Perlindungan Anak sehingga secara nyata norma tersebut tidak sinkron. Apabila diletakkan dalam konteks perlindungan anak, ketidaksinkronan dimaksud justri berdampak terhadap jaminan dan perlindungan konstitusional hak anak sebagaima diatur dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945 yang diatur lebih lanjut melalui UU Perlindungan Anak.
Putusan MK tentang Perkawinan Anak
Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), Yayasan Kesehatan Perempuan, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan dan Aliansi Remaja Independen mengajukan permohonan revisi usia minimal perkawinan untuk perempuan dari 16 tahun pada Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menjadi usia 18 tahun ke MK. MK menolak pengajuan revisi tersebut kecuali hakim MK Maria Farida yang berbeda pendapat. Implikasi Putusan MK memunculkan konsekwensi tidak perlunya ada pembedaan batas minimal usia perkawinan baik laki-laki maupun perempuan.
Menurut Menteri Agama, batas minimal usia perkawinan menjadi 19 tahun dengan syarat mendapat izin dari orang tua. Klusal mendapat izin dari orang tua harus digarisbawahi, karena YY No. 1 Tahun 1974 mengatur usia perkawinan dalam tiga level sebagaimana diatur dalam Bab II tentang Syarat-syarat Perkawinan. Level pertama, diatur dalam pasal 6 ayat (2) bahwa untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang beum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin dari kedua orang tua. Artinya pada level pertama, pada dasarnya batas minimal usia perkawinan 21 tahun. Boleh menikah di bawah 21 tahun dengan syarat menadapat izin orng tua. Level kedua, perkwinan di bawah usia 21 tahun hanya dimungkinkan jika pihak aki-laki sudah mencapai usia 19 tahun dan perempuan 16 tahun dan keduanya mendapat izin dari kedua orang tua (Pasal 7 UU Perkawinan).
Level terakhir atau ketiga, jika da pasangan yang menikah dibawah usia minmal 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan, maka mereka harus meminta dispensasi kepada pengadilan berdasarkan putusan hakim atau pejabat lain yang diminta oleh kedua orang tua pihak laki-laki atau pihak perempuan.
Terhadap ketentuan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun telah dimohonkan uji materi dan dikabulkan oleh MK. Putusan MK menyatakan bahwa 16 tahun sebagai batas usia perkawinan bagi perempuan 16 tahun telah dimohonkan uji materi dan dikabulkan oleh MK. Putusan MK menyatakan bahwa 16 tahun sebagai batas minimal usia perkawinan bagi perempuan adalah tidak adil karena berbeda dengan laki-laki yang 19 tahun. Karenanya MK memerintahkan kepada pembentuk UU untuk dalam jangka waktu 3 tahun melakukan perubahan terhadap UU No. 1 Tahun 1974, khususnya berkenaan dengan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan.
Selama belum ada norma baru yang dibuat DPR bersama Presiden dalam 3 tahun ke depan, maka ketentuan batas minimal usia 19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempyan masih berlaku sepanjang memenuhi ketentuan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Beberapa Ikhtiar dan Prakarsa untuk meningkatkan batas usia perkawinan terkhusus perempuan telah dilakukan dibeberapa daerah provinsi dan daerah kabupaten dengan tujuan untuk mencegah dan mengurangi perkawinan di bawah umur melalui pemberlakuan peraturan Kepala Daerah Kabupaten maupun Provinsi antara lain: (1) Peraturan Bupati Kabupaten Gunung Kidul Nomor 30 Tahun 2015 tentang Pencegahan Perkawinan Anak; (2) Peraturan Bupati Kabupaten Kulon Progo Nomor 9 Tahun 2016 tentang Pencegahan Perkawinan Anak; (3) Peraturan Gubernur Bengkulu Nomor 33 Tahun 2018 tentang Pencegahan Perkawinan Anak; (4) Surat Edaran Gubernur Provinsu Nusa Tenggara Barat Nomor 150/1138 Tahun 2014 yang menganjurkan usia layak nikah pada umur 21 tahun baik untuk perempuan dan laki-laki. Berdasarkan beberapa peraturan di atas, terlihat adanya silang pendapat tentang batas usia untuk melakukan perkawinan. Hal ini menunjukkan bahwa apakah lebih baik batas usia melakukan perkawinan diatur atau dibebaskan berdasarkan ketentuan di daerah masing-masing? (***)
Bahan Bacaan
[i]Maraknya Pernikahan Anak di Sulsel dan Angin Segar MK, diunduh pada https://news.detik.com/berita/d-4361114/maraknya-pernikahan-anak-di-sulsel-dan-angin-segar-mk?_ga=2.160031545.528764462.1546420605-1185922875.1546063489, tanggal 20 Desember 2018
[ii]Roramadhana Nasution, Ketertindasan Perempuan Dalam Tradisi Kawin Anom : Subaltern Perempuan Pada Suku Banjar Dalam Perspektif Poskolonial,(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016) Hlm. 1
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...