RASA KEBANGSAAN: PENGALAMAN VIETNAM
Oleh SHIDARTA (Januari 2019)
Vietnam adalah fenomena menarik untuk sebuah negara berkembang, yang bermetamorfosa dari sebuah negara sosialis tertutup menjadi sosialis ala baru. Itulah sebabnya negeri ini mengundang untuk dikunjungi. Pada November 2018 lalu, akhirnya saya berkesempatan mendatangi Negeri Paman Ho tersebut, tepatnya di kota Ho Chi Minh City, di Vietnam Selatan. Kunjungan tadi merupakan lawatan singkat, namun saya beruntung dapat berbincang dengan beberapa rekan Vietnam guna mencari tahu tentang apa yang tengah berkecamuk dalam perasaan mereka sebagai bangsa Vietnam saat ini.
Ho Chi Minh City adalah sebuah kota berpenduduk sekitar 3,4 juta jiwa. Sekalipun bendera palu arit masih setia dikibarkan dan dipasang di gedung pemerintahan dan kampus-kampus, tetapi suasana keseharian di kota ini sama sekali tidak menggambarkan aroma komunisme seperti yang ditunjukkan dalam film-film kuno tentang perekonomian sosialis yang didominasi secara ketat oleh negara. Geliat perekonomian di kota ini sangat gemerlapan sejak siang sampai malam hari. Mal dan pusat-pusat perbelanjaan dipenuhi oleh anak-anak muda yang trendy. Dari aspek ini, sama sekali tidak ada beda antara Ho Chi Minh City dan Jakarta, Kuala Lumpur, atau Singapura. Apa yang bisa kita temukan di Jakarta, bisa dengan mudah kita dapatkan di kota ini.
Materi pembelajaran tentang sistem sosialisme dan komunisme memang masih menjadi menu utama dalam kurikulum pendidikan di Vietnam. Seorang rekan dari Vietnam menceritakan betapa membosankannya ia harus menghafal konsep-konsep ekonomi ala Marxisme. “Tidak banyak mahasiswa yang berhasil lulus dengan nilai baik,” ujarnya. Ia mengaku sulit membayangkan bagaimana konsep-konsep itu harus diterapkan dalam kondisi Vietnam saat ini, tatkala negara itu membuka diri terhadap investasi asing. Vietnam dewasa ini sangat bergantung pada investasi asing. Selama tahun 2018, Jepang merupakan investor terbesar (31,6% dari total investasi asing langsung), diikuti oleh Korea Selatan (24,9%) dan Singapura (11,8%).
Uniknya bahwa China tidak masuk ke dalam kelompok tiga besar ini. China tampaknya memang berusaha menahan diri untuk tidak tampil secara high profile di negeri ini. Sentimen anti-China di Vietnam terbilang cukup tinggi. Survei yang diadakan terakhir menunjukkan hanya sekitar 16% dari responden mengatakan China bukan ancaman. Selebihnya meyakini China sebagai ancaman terbesar bagi Vietnam. Hal ini sebuah ironi karena secara budaya, Vietnam memiliki kedekatan dengan China. Mulai dari ideologi, bahasa, sampai pada perayaan hari raya. Tahun baru Tet yang digembar-gembor sebagai hari raya khas Vietnam pada dasarnya sama dengan tahun baru Imlek. Jika kita pergi berkunjung ke Independence Palace di Ho Chi Minh City, kita segera menangkap pengaruh China yang sangat kuat pada asesoris dan detail interior di sana. Namun, apa yang menyebabkan negara ini ingin sekali mengesankan mereka sangat anti-China?
Jawabannya tidak cukup bisa dipahami melalui dialog dengan rekan-rekan Vietnam, kecuali mereka menunjukkan beberapa momentum yang memperlihatkan sentimen itu. Sebagai contoh, zona perdagangan yang disiapkan bagi investor China untuk menyewa lahan selama 99 tahun, ditentang habis-habisan oleh warga Vietnam (terakhir demonstrasi terjadi pada Juni 2018). Alasannya adalah bahwa mereka khawatir perusahaan China akan menjadi pembuka jalan penguasaan negeri Tirai Bambu itu kepada Vietnam. Mereka juga gelisah melihat negeri tetangga yang pernah diinvasi oleh tentara Vietnam (1978-1989), yaitu Kamboja, sangat loyal dan membuka diri pada China. Kedekatan China dan Kamboja juga merupakan trauma tersendiri bagi Vietnam karena pada tahun 1979, China sempat menyerang daerah Utara Vietnam guna mendesak Vietnam keluar dari Kamboja. Isu lain yang juga kerap menghangat adalah insiden-insiden di perairan Laut China Selatan terkait dengan pencaplokan pulau-pulau yang ikut diklaim juga oleh Vietnam. Superioritas China di kawasan Asia Timur dan Asia Tenggara, sungguh-sungguh mengkhawatirkan Vietnam.
Lalu bagaimana dengan negeri-negeri seperti Prancis dan Amerika Serikat? Di kota Ho Chi Minh City, ternyata perasaan antipati terhadap kedua negara ini tidak terlalu menonjol. Situs-situs berupa bangunan peninggalan kolonialsme Prancis, seperti Notre Dame Chatedral, dan Kantor Pos Pusat di sebelahnya, dijual sebagai spot turisme yang laku. Memang ada narasi kejahatan perang yang dilakukan oleh Amerika Serikat, sebagaimana dipajang di Museum Peninggalan Perang (War Remnants Museum), tapi ironisya lagi-lagi cerita ini hanya memikat turis asing daripada warga lokal. Saat saya bertanya pada rekan Vietnam tentang perasaan mereka pada orang Amerika Serikat, rekan ini menyatakan bahwa sebenarnya pada saat itu (1965-1975) Vietnam tidak sedang berperang dengan Amerika Serikat. “Kami sedang perang saudara!” katanya. Ia lalu menggambarkan bahwa pasukan Amerika Serikat justru tidak banyak melontarkan peluru ke pasukan Vietnam. Tidak jelas dari mana rekan Vietnam ini mendapati dasar dari penjelasannya, mengingat secara statistik korban perang ini mencapai sekitar 1,5 juta jiwa. Di museum itu dengan jelas dapat ditunjukkan betapa dahsyat perang ini. Senjata kimia yang disemprot dari udara dan disebut hujan kuning (yellow rain) telah membuahkan bayi-bayi yang lahir cacat secara mengerikan. Sebaliknya, di museum ini ditunjukkan beberapa negara seperti China, justru adalah kawan seideologi dengan mereka tatkala perang berkecamuk. Ada satu sudut di museum itu yang memperlihatkan pertemuan akrab antara Ho Chi Minh dan Mao dalam rangka memberi dukungan pada perjuangan rakyat Vietnam ini. Tentu, dalam hal ini adalah pihak Vietnam Utara.
Jika kita cermati, Vietnam sama saja seperti negara-negara eks korban perang dan kolonialisme negara-negara Barat, khususnya di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, termasuk tentu saja Indonesia, sampai saat ini masih terus bergulat mencari pengikat rasa kebangsaan mereka. Pengikat itu salah satunya memang bisa dari sejarah, namun sejarah adalah narasi yang kerap dilihat dari perspektif masa lalu. Anak-anak muda yang kini hidup dalam era digital tidak lagi familiar dengan narasi historis dalam arti sempit seperti itu. “Kami tidak hidup di masa lalu,” protes mereka.
Rasa kebangsaan itu akhirnya dibangun dengan cara mencari musuh bersama (common enemy). Musuh itu bisa saja berkamuflase. Sistem komunis dengan pembatasan kebebasan berdemokrasi bisa menjadi musuh bersama dalam arti sebenarnya. Namun, kekuasaan negara dalam sistem komunis di Vietnam masih sangat kuat dan belum sanggup mereka lawan. Hal ini terlihat dari isu yang hidup dalam demonstrasi anti-China beberapa bulan lalu di Hanoi dan Ho Chi Minh City, yang salah satu isunya ternyata sangat domestik, yakni berkenaan dengan tentangan para demonstran terhadap rancangan undang-undang di bidang perlindungan data. Oleh karena menunjukkan penentangan kepada pemerintah masih dipandang berbahaya maka sebagai kanalisasi dari rasa frustrasi itu, harus dicarikan musuh bersama alternatif. Isu-isu seperti itu bertemu dalam satu momentum. Satu isu ditonjolkan, sementara isu lain diselinap dengan malu-malu kucing. Kebetulan, menurut tuturan beberapa rekan Vietnam yang saya temui, masyarakat lokal sangat kesal dengan kemudahan demi kemudahan yang diberikan negara kepada investor asing. Di tengah tingkat korupsi yang lumayan tinggi di sana, bukan mustahil jika ada “permainan kotor” di dalam pemberian izin-izin usaha yang merugikan pemain domestik. Nah, di antara negara-negara asal dari para investor asing tersebut, mereka lalu memilih mana yang paling mudah dijadikan sasaran tembak.
Psikologi massa di Vietnam tampaknya hampir sama dengan kondisi di Indonesia. Cuma bedanya, elit politik di negeri tersebut jauh lebih bisa ditertibkan karena masih dalam satu garis komando partai tunggal. Ketika demonstrasi anti-China melanda dua kota besar di negeri itu pada pertengahan tahun lalu, Pemerintah Vietnam tidak menunjukkan simpati dan bermain api dengan sentimen ini. Pemerintah tersebut sadar bahwa China saat ini adalah raksasa yang harus dijadikan teman, bukan lawan. Suatu kebodohan terbesar bagi negara manapun yang mampu mengabaikan kenyataan ini, termasuk “negara/provinsi” yang terus di bawah bayang-bayang masa lalu, semacam Taiwan.
Skala ekonomi Vietnam jelas bukan tandingan bagi China. Vietnam lebih membutuhkan China daripada sebaliknya. Hal ini bisa dilihat dari industri pariwisata saja. Laman resmi vietnamtourism.gov.vn mengklaim pada tahun 2018 ada kedatangan tamu internasional sebanyak 15.497.791 orang. Menurut statistik dari sumber yang sama, tercatat ada tiga negara penyumbang turisme terbesar di negara itu, yakni China, Korea Selatan, dan Jepang. Jika Hongkong ikut dimasukkan ke dalam statistik ini bersama dengan China, maka total lebih dari lima juta kedatangan pada tahun 2018. Dapat dibayangkan makna dari angka lima juta berbanding total 15 juta. Jadi, seandainya China dijadikan musuh, praktis industri pariwisata di negeri itu bakal menderita. Kedekatan budaya Vietnam dengan China, mengingat bahwa Vietnam pernah menjadi bagian dari Kekaisaran China sampai lebih dari seribu tahun, adalah menu jualan turisme yang justru seharusnya ditonjolkan untuk memikat wisatawan dari negeri Tirai Bambu.
Jadi, kita hendaknya mampu belajar dari apa yang bisa teramati sekilas dari tetangga kita ini. Vietnam mengalami luka sejarah sangat dalam akibat perang fisik dan ideologis. Sisa-sisa perpecahan Utara-Selatan masih bisa ditemukan di sana-sini, kendati terus diperkecil melalui pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan ekonomi. Di sisi lain, bayang-bayang raksasa tetangga dari Utara terus menghantui, sampai masuk ke alam bawah sadar mereka. Tinggal sekarang reaksinya seperti apa: rasional atau emosional. Jika porsi emosional yang lebih ditonjolkan pada penanaman rasa kebangsaan itu, maka pilihannya bisa diduga, yakni mengambil strategi penciptaan “musuh bersama”. Suatu pilihan yang merugikan bagi bangsa dan negara manapun dalam kancah hubungan internasional dewasa ini. Pilihan ini berpulang di tangan para elit, bukan rakyat. (***)