RUMUSAN HUKUM TENTANG PENINJUAN KEMBALI, PENJATUHAN PIDANA DAN NILAI KERUGIAN KEUANGAN NEGARA BERDASARKAN SEMA NOMOR 3 TAHUN 2018
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Desember 2018)
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Surat Edaran MA atau SEMA adalah bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan. Kedudukan SEMA berdasarkan Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturn Perundang-undangan menyatakan : “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR, DPR, DPD, MA. Selanjutnya dalam Pasal 8 ayat (2) UU a quoditegaskan peraturan perundang-undangan ini diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Kewenangan MA mengelurkan produk-produk hukum berdasarkan Pasal 24 A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (NRI) 1945 yang menyatakan MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang. Selanjutnya di dalam UU No. 14 Tahun 1985 jo UU No. 5 Tahun 2004 jo Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung di dalam Pasal 38 ditegaskan MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka melaksanakan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 79 UU Nomor 14 tahun 1985 diterangkan bahwa Mahkamah Agung diberikan kewenangan dalam mengeluarkan peraturan pelengkap untuk mengisi kekurangan dan kekosongan hukum. SEMA Nomor 3 Tahun 2018 ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama sehingga sesuai dengan sifat aturan kebijakan yang mengatur kedalam (internal).
Di dalam SEMA a quo, kamar Pidana Mahkamah Agung telah membuat rumusan hukum sebagai berikut:
Peninjauan Kembali
Permohonan Peninjauan Kembali oleh Terpidana yang berada di Lapas Tanpa Kuasa Hukum mengajukan PK melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS) tidak dibenarkan menurut Pasal 264 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), SEMA Nomor 1 Tahun 2012 dan SEMA Nomor 4 Tahun 2016. Ketentuan di dalam KUHAP menegaskan hak terpidana atau ahli warisnya untuk mengajukan PK kepada MA terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kecuali putusan bebasa atau lepas dari segala tuntutan hukum. Permohonan PK tersebut diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus perkara dalam tingkat pertama dengan menyebutkan secara jelas alasannya.
Dalam hal permohonan PK diajukan oleh terpidana yang sedang menjalani pidana penjara di luar daerah hukum pengadilan pengaju dan tanpa kuasa hukum diajukan melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan/Kepala Rumah Tahanan Negara ke pengadilan pengaju. Pengadilan pengaju mendelegasikan dan disertai berkas asli kepada pengadilan tempat terpidana menjalani pidananya untuk menerima permohonan PK tersebut dan memeriksa alasan PK. Berkas perkara PK beserta berita acara pemeriksaan dan beriita acara pendapat yang dibuat oleh Hakim penerima delegasi dikirim kepada pengadilan pengaju untuk selanjutnya dikirim ke Mahkamah Agung.
Hakim Pengadilan Negeri yang memeriksa alasan permohonan PK wajib memberikan pendapat mengenai aspek formal dan materil terhadap alasan-alasan PK yang dimohonkan PK sesuai Pasal 265 ayat (3) KUHAP. Pasal 265 ayat (3) KUHAP menyatakan atas pemeriksaan tersebut dibuat berita acara pemeriksaan yang ditandatangani oleh hakim, jaksa, pemohon dan panitera dan berdasarkan berita acara pendapat yang ditandatangani oleh hakim dan panitera.
Penjatuhan Pidana
- Batasan Penjatuhan pidana pokok berupa pidana penjara tidak boleh lebih dari 20 (dua puluh) tahun sesuai dengan ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP. Adapun paaal 12 ayat (4) KUHP dinyatakan bahwa pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.
- Dalam perkara tindak pidana korupsi, pidana penjara sebagai dimaksud dalam Pasal 18 ayat (3) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tidak termasuk pidana pokok sebagaimana ketentuan Pasal 12 ayat (4) KUHP melainkan merupakan pidana penjara pengganti (subsidaritas) pembayaran uang pengganti yang lamanya pidana penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Pasal 18 ayat 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tidak Pidana Korupsimengatur dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
- Penjatuhan pidana tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik dibatasi oleh jangka waktu yaitu paling lama 5 (lima) tahun terhitung sejak Terpidana selesai menjalani pidana pokok dan dimuat dalam amar putusan.
Nilai Kerugian Keuangan Negara
- Penghitungan nilai mata uang asing (kurs asing) dalam menentukan besarnya uang pengganti dilakukan sesuai dengan mata uang asing/kurs tengah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia pada saat tindak pidana dilakukan (tempus delicti).
- Perubahan penentuan nilai kerugian keuangan negara berdasarkan SEMA Nomor 7 Tahun 2012 menentukan jika nilai kerugian keuangan negara diatas Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK)[1]. Namun jika nilai kerugian keuangan negara kurang dari Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 3 UU PTPK[2]. Selanjutnya karena terjadi perubahan nillai mata uang dengan tanpa mengesampingkan unsur pasal yang didakwakan, maka besarnya nilai kerugian keuangan negara tersebut diubah menjadi sebagai berikut :
(1). Nilai kerugian keuangan negara diatas Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 2 ayat (1) UU PTPK.
(2) Nilai kerugian keuangan negara sampai dengan Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dapat diterapkan Pasal 3 UUPTPK.
Berdasarkan rumusan dalam kamar pidana diatas, telah memberikan petunjuk atau arahan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding, Ketua Pengadilan Tingkat Pertama dalam penanganan perkara pidana umum dan pidana khusus dalam bidang Peninjauan Kembali, Penjatuhan Pidana dan Nilai Kerugian Negara yang meskipun telah diatur di dalam KUHAP, KUHP dan UU PTPK namun kurang jelas sehingga membutuhkan peraturan yang lebih teknis dalam pelaksanaannya.
[1]Pasal 2 ayat (1) :Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
[2]Pasal 3 :Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...