PENGATURAN PENGUJIAN DI MA APABILA UU YANG MENJADI DASAR PENGUJIAN UU TERSEBUT SEDANG DALAM PROSES PENGUJIAN DI MK
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Desember 2018)
Bagian Kedua
Di dalam tulisan bagian pertama telah dijelaskan mengenai kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan menguji UU terhadap UUD NRI Tahun 1945. Selanjutnya dipaparkan subtansi permohonan judicial review para pemohon terhadap Pasal 55 UU Mahkamah Konstitusi bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Dibagian kedua tulisan ini akan memaparkan pertimbangan Hukum dan Putusan MK Nomor 39/PUU-XV/2017 terhadap Pasal 55 UU MK dan pengaturan lebih lanjut dalam SEMA Nomor 3 Tahun 2018 yang dijadikan pedoman bagi hakim dalam memeriksa perkara uji materi di MA.
Pertimbangan Hukum dan Putusan MK Nomor 39/PUU-XV/2017
Dalam putusan MK Nomor 39/PUU-XV/2017 MK berpendapat bahwa dalam kewenangan menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, Mahkamah Agung bukanlah berperan sebagai judex juristetapi sedang melaksanakan kewenangan yang langsung diberikan oleh Konstitusi (original jurisdiction), di sini MA bukan berperan mengadili fakta berdasarkan undang-undang tetapi justru “mengadili” norma peraturan perundang-undangan. Dalam konteks demikian maka secara substansial kewenangan MA ini tidak berbeda dengan kewenangan MK menguji UU terhadap UUD.
MK dalam pertimbangan hukumnya menyatakan: oleh karena dasar diadopsinya norma Pasal 55 UU-MK dan juga alasan permohonan agar kata “dihentikan” dinyatakan konstitusional bersyarat dalam permohonan dengan tujuan memberikan kepastian hukum maka Mahkamah pada intinya berpendapat sebagai berikut :
- Mengajukan permohonan pengujian peraturan perundang-undangan meripakan hak setiap warga negara atau badan hukum atau kesatuan masyarakat hukum adat yang merasa hak konstitusionalnya dan hak hukumnya terlanggar oleh berlakunya suatu norma. Mekanisme pengujian peraturan perundang-undangan merupakan mekanisme kontrol untuk menjamin produk hukum yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undanganyang lebih tinggi dan tidak melanggar hak asasi manusia atau hak konstitusional warga negara;
- Secara tektual makna rumusan Pasal 55 UU-MK sesungguhnya adalah untuk menghentikan sementara. Hal itu dapat dipahami dari penggunaan kata “dihentikan” dan frasa “sampai ada putusan MK”. Kedua rumusan dalam norma tersebut sesungguhnya bermakna bahwa penghentian proses pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh MA adalah untuk sementara waktu. Kata “dihentikan” membuka peluang ditafsirkan untuk dijatuhkannya putusan akhir berupa permohonan tidak dapat diterima, Sehingga keberadaan kata “dihentikan” telah menyebabkan terjadinya ketidakpastian hukum.
- Permohonan uji materil terhadap terhadap peraturan perundang-undangan yang undang-undang sebagai dasar pengujiannya sedang diuji MK dihentikan dengan putusan akhir yang menyatakan tidak dapat diterima. Pencari keadilan yang mengajukan uji materil telah dirugikan oleh sesuatu yang bukan merupakan kesalahannya. Oleh sebab ketidakpastian hukum tersebut adalah keberadaan kata “dihentikan” maka beralasan hukum untuk menyatakan kata tersebut inkonstitusional bersyarat sepanjang tidak dimaknai menjadi “ditunda pemeriksaannya”.
- Mengenai akibat hukum munculnya ketidakpastian hukum apabila kata : “dihentikan” dimaknai “ditunda pemeriksaan” sama sekali tidak akan terjadi pertentangan antara putusan MK dalam pengujian UU dengan putusan MA dalam pengujian peraturan perundang-undangan. Misalnya dalam hal putusan pengujian UU ditolak oleh MK maka MA tinggal melanjutkan proses pemeriksaan berdasarkan putusan MK sepanjang norma yang diuji ada kaitaanya dengan norma peraturan perundang-undangan yang diuji oleh MA.
Berdasarkan pertimbangan hukum MK tersebut, maka MK menjatuhkan amar putusan dengan menyatakan bahwa mengabulkan permohonan pada pemohon untuk seluruhnya, menyatakan Pasal 55 UU-MK a quosepanjang mengenai kata “dihentikan” dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang sedang dilakukan MA ditunda pemeriksaannya apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan sedang dalam proses penngujian MK sampai ada putusan MK”. Dengan putusan ini maka menghilangkan praktik yang selama ini dialami oleh para pemohon, hak uji materi di MA bukan menunda pemeriksaannya tetapi memberikan putusan akhir dengan menyatakan tidak dapat diterima.
Kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam uji materil berdasarkan SEMA
Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2018 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas bagi Pengadilan. Surat Edaran MA atau SEMA adalah bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan. Kamar Tata Usaha Negara MA telah merumuskan hukum berkaitan dengan kewenangan MA dalam uji materiil yang berbunyi :
“MA berwenang melakukan hak uji materiil, meskipun undang-undang yang menjadi dasar pengujian hak uji materiil di MA masih diuji oleh Mahkamah Konstitusi (MK), sepanjang bab, materi muatan pasal atau ayat yang sedang diuji di MK tidak menjadi dasar pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang di Mahkamah Agung”.
Berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 2018 lebih memberikan akses kepada pencari keadilan untuk menggunakan upaya hukum mengajukan permohonan uji materil di MA tetap di proses meskipun UU yang menjadi dasar pengujian hak uji materil di MA masih di uji oleh MK kecuali apabila materi atau muatan pasal yang sedang di uji di MK menjadi dasar pengujian.
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...