PENGATURAN PENGUJIAN DI MA APABILA UU YANG MENJADI DASAR PENGUJIAN UU TERSEBUT SEDANG DALAM PROSES PENGUJIAN DI MK
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Desember 2018)
Bagian Pertama
Kedudukan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi adalah sejajar/setara sebagai lembaga kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Keduanya merupakan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia (NRI) Tahun 1945 yaitu :
“Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah Agung”.
Kewenangan Mahkamah Agung menurut Pasal 24 A ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai kewenangan lain yang diberikan oleh UU. Disisi lain, Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan berdasarkan Pasal 24 C ayat (1) UUD NRI 1945 yaitu mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap UUD, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Berdasarkan kewenangan ini terdapat pembagian kewenangan dalam menguji (judicial review)antara Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung yaitu Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap UUD sedangkan Mahkamah Agung menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
Persamaan kewenangan dalam menguji undang-undang terhadap UUD NRI Tahun 1945 maupun peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang inilah yang menjadi permasalahan dalam memastikan peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di atasnya khususnya berkaitan dengan undang-undang yang sama-sama sedang diproses dalam persidangan judicial reviewbaik di MA maupun di MK. Untuk mengantisipasi agar tidak terjadi pertentangan antara putusan MK dengan putusan MA maka diatur ketentuan dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (selanjutnya disebut UU-MK) yang mengatur: “Pengujian peraturan perundang-undangan di bawah UU yang sedang dilakukan MA wajib dihentikan apabila UU yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.” Definisi dari frasa “dihentikan” inilah yang menjadi permasalahan bagi pencari keadilan karena permohonan uji materi tidak dilakukan pemeriksaan di MA karena undang-undang yang menjadi dasar pengujian sedang dalam proses pengujian di MK meskipun pasal yang dipermasalahkan dalam uji materi di MA dan MK berbeda. Di bagian pertama tulisan ini akan dipaparkan kerugian pencari keadilan akibat ketentuan yang diatur dalam Pasal 55 UU-MK.
Hak Konstitusional Para Pemohon yang dirugikan atas berlakunya Pasal 55 UU MK
Para pemohon adalah Abda Khair Mufti dkk yang selama ini konsisten dalam memperjuangkan keadilan hukum bagi diri maupun kepentingan para pekerja lainnya baik dalam tingkatan lembaga peradilan hubungan industrial, Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi dirugikan dengan berlakunya Pasal 55 UU-MK. Oleh sebab itu, MA diwajibkan untuk menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya sedang dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi. Sedangkan para pemohon hendak mengajukan pengujian muatan materi Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan terhadap Pasal 88 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang undang-undang dimaksud masih dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi pada perkara Nomor 13/PUU-XV/2017. Apabila para pemohon tetap mengajukan pengujian PP a quodi MA maka akan berpotensi dinyatakan tidak dapat diterima (niet onvakelijke verklaard).
Menurut para pemohon, dalam praktiknya MA menafsirkan frasa “dihentikan” dalam Pasal 55 UU-MK sebagai permohonan yang harus dinyatakan tidak dapat diterima sebagaimana pertimbangan hukum dalam putusan pengujian Pasal 44 PP 78 Tahun 2015 yaitu: putusan Nomor 67 P/HUM/2015 tanggal 24 November 2016, putusan Nomor 69 P/HUM/2015 tanggal 24 November 2016, putusan Nomor 34 P/HUM/2017 tenggal 19 Juni 2017 yang pada intinya menyatakan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan Mahkamah Agung wajib dihentikan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian MK sampai ada putusan MK.
Putusan MA yang menyatakan tiga permohonan pengujian PPa quodi atas dengan amar tidak dapat diterima tidaklah menghilangkan hak bagi siapapun yang mengganggap kepentingannya dirugikan untuk mengajukan permohonan pengujian kembali. Akan tetapi, menurut para pemohon tafsiran MA khususnya atas frasa “dihentikan” dalam Pasal 55 UU MK dengan menyatakan perohonan pengujian peraturan perunang-undangan di bawah undang-undang tidak dapat diterima akibat undang-undang yang menjadi dasar pengujiannya masih dalam proses pengujian di MK justru telah tidak memberikan perlindungan, jaminan dan kepastian hukum yang tercermin dalam asas sederhana, cepat dan biaya murah.
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...