PENATAAN RUANG UNTUK PEMBANGUNAN PERKOTAAN
Oleh ERNI HERAWATI (Desember 2018)
Dalam tulisan sebelumnya telah disampaikan tentang prinsip tentang “Cujus Est Solum Ejus Usque Ad Coelum” yang bermakna bahwa “siapa yang memiliki tanah, maka kepemilikan itu sampai ke langit” atau dapat juga diartikan bahwa “siapa yang memiliki tanah, ia juga memiliki segala apa yang ada di atasnya (dan di bawahnya) dari surga (sampai neraka)”. Dalam perkembangan penerapannya di negara-negara Barat, prinsip ini telah mengalami pembatasan. Berkembangnya teknologi dan pembangunan menyebabkan diperlukan pemikiran baru tentang prinsip kepemilikan tanah terutama dalam kaitannya denga pemanfaatan ruang baik di atas maupun di bawah tanah.
Di Indonesia, sejak awal adanya pengaturan penguasaan tanah sudah ditentukan bahwa tanah memiliki fungsi sosial dan penguaaan atas tanah memilki batasan-batasan tertentu. Kenikmatan dalam memiliki tanah dibatasi hanya sebatas permukaan bumi saja, tidak meliputi isi bumi dan ruang di atas bumi yang tidak terbatas. Menguasai tanah tidak hanya dapat diartikan dapat memanfaatkan tanah semata-mata, tetapi juga apakah penguasaan tanah tersebut termasuk juga ruang yang ada di atas maupun di bawahnya. Pada Pasal 8 UUPA jelas disebutkan bahwa hak-hak atas tanah itu hanya memberi hak atas permukaan bumi saja, maka wewenang-wewenang yang bersumber daripadanya tidaklah mengenai kekayaan-kekayaan alam yang terkandung di dalam tubuh bumi, air dan ruang angkasa. Pasal ini sebagai dasar dari diaturnya ketentuan selanjutnya mengenai pertambangan.
Pertumbuhan manusia yang terus bertambah jumlahnya disertai dengan perkembangan teknologi telah memungkinkan pemanfaatan ruang tidak hanya di atas tanah saja, tetapi juga di bawahnya. Tumbuhnya perkotaan yang menampung ratusan ribu bahkan jutaan manusia memerlukan penataan kota yang dapat mencegah konflik antar penduduknya dalam hal pemanfaatan ruang untuk kehidupan mereka. Tugas penataan ruang adalah tugas pemerintah yang diamanatkan oleh UUPA melalui Hak Menguasai dari Negara (HMN), yaitu dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA. Dalam Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2013 tentang Ketelitian Peta Rencana Tata Ruang diatur tentang rencana detil tata ruang sebagai dasar peraturan tentang zonasi. Oleh karenanya dalam penataan struktur ruang baik nasional, provinsi, kabupaten maupun kota maka harus memperhitungkan struktur ruang sistem perkotaan, transportasi, energi, telekomunikasi, sumber daya air, dan lainnya. Pembangunan sistem tersebut tidak hanya dilakukan tepat di atas permukaan tanah, tetapi juga telah mengarah pada pembangunan vertikal baik ke atas maupun ke bawah tanah. Contohnya saja pembangunan jaringan sistem transportasi di DKI Jakarta, yaitu Light Rapid Transport (LRT), Mass Rapid Transit (MRT), Kereta Rel Listrik (KRL) atau Commuter Line, juga pembangunan jalur khusus Bus Trans Jakarta, peningkatan fungsi jalan baik underpass maupun flyover. Belum lagi jika dikombinasikan dengan sistem jaringan telekomunikasi dan sistem penataan air (baik air bersih maupun air limbah). Semua sistem ini berada dalam satu ruang. Jika ruang di atas tanah tampak kasatmata untuk dilakukan pembangunan dan penyesuaiannya, maka tidak demikian dengan pemanfaatan ruang bawah tanah. Sisa-sisa rezim pembangunan masa lalu yang tidak memperhitungkan ruang bawah tanah sebagai bagian dari penataan ruang (misalnya carut marut pemasangan kabel listrik dan telepon, sistem pembuangan limbah domestik, dll) menyisakan persoalan tersendiri. Di sinilah wewenang pemerintah sangat penting untuk dijalankan sesuai dengan HMN yang diamanatkan dalam Pasal 2 (2) UUPA, khususnya dalam hal mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa. (***)
Published at :