PENANGGULANGAN BENCANA YANG MELIBATKAN PARTISIPASI MASYARAKAT
Oleh ERNI HERAWATI (Desember 2018)
Indonesia adalah negara yang rawan dengan terjadinya becana alam. Sampai dengan 14 Desember 2018 telah terjadi 2.436 kejadian bencana di Indonesia.[1] Hal ini dikarenakan Indonesia terletak pada kawasan lingkaran api pasifik Pasific Ring Of Fire, juga dikelilingi oleh 3 (tiga) lempeng tektonik yaitu Eurasia, Indoaustralia dan Pasifik. [2] [3] Tidak heran bahwa bencana yang diakibatkan oleh gempa tektonik maupun bencana akibat aktivitas gunung berapi sudah sering terjadi di wilayah Indonesia. Namun apakah dengan kesadaran ini kita sudah dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi bencana-bencana tersebut?
Sejak bencana gempa bumi dan tsunami Samudra Hindia tahun 2004 (sering kita sebut sebagai tsunami Aceh), Pemerintah telah secara lebih serius untuk melakukan manajemen bencana. Pada tahun 2005 Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden tentang No. 83 Tahun 2005 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana (Bakornas PB) dan kemudian melalui Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana diamanatkan untuk dibentuk Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Pemerintah dan Pemerintah Daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Pemerintah melalui BNPB melaksanakan fungsi koordinasi terpadu dalam penanggulangan bencana saat : a. prabencana; b. saat tanggap darurat; dan c. pascabencana.
Dalam beberapa kali peristiwa bencana di Indonesia, masyarakat Indonesia memiliki kepedulian yang tinggi untuk turut membantu masyarakat Indonesia lainnya yang terkena dampak bencana. Hal ini pun diberikan ruang dan diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Disebutkan bahwa tujuan penanggulangan bencana diantaranya adalah untuk membangun partisipasi dan kemitraan publik serta swasta dan juga mendorong semangat gotong royong, kesetiakawanan dan kedermawanan. Namun demikian, di dalam undang-undang tersebut orientasi dalam penanggulangan bencana masih berpusat pada koordinasi yang dilakukan oleh Pemerintah dan belum menyediakan ruang yang cukup bagi tersalurnya partisipasi masyarakat yang ingin membantu. Masyarakat yang tergerak untuk turut membantu tetapi tidak dalam bentuk penyaluran dana sulit mendapatkan infomasi yang cukup tentang kemana bantuan harus disalurkan, tanpa harus turut datang ke lokasi bencana dan “meramaikan suasana”.
Dalam hal penyediaan dana, partisipasi masyarakat untuk turut peduli saat terjadinya bencana diakomodasi dalam Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Namun ketentuan ini tidak mengatur lebih lanjut bagaimana bentuk partisipasi yang boleh dan dapat dilakukan. Pada kenyataannya, masyarakat dapat melakukan penerimaan dan penyaluran bantuan dalam bentuk dana, diantaranya dengan cara membuka akun bank untuk menerima dan menyalurkan dana masyarakat lainnya. Mereka ini biasanya berasal dari lembaga-lembaga media massa, komunitas, organisasi masyarakat, atau bahkan dilakukan di perempatan jalan raya dengan mengatasnamakan komunitas tertentu. Pertanyaannya bagaimana dengan masalah audit dan pertanggungjawaban dana masyarakat yang diterima dan disalurkan oleh lembaga-lembaga tersebut? Oleh karenanya, solidaritas dan kesetiakawanan masyarakat tersebut perlu pula dilibatkan dalam pengorganisasian penanggulangan bencana yang dilakukan oleh Pemerintah. Hal ini dikarenakan agar antara mereka yang terkena bencana dan masyarakat yang peduli dan ingin menyalurkan bantuan dapat terjembatani dengan pengorganisasian yang teratur dan tepat sasaran. (***)
REFERENSI:
[1] https://www.tempo.co/bbc/3155/deretan-bencana-alam-mematikan-yang-menerjang-indonesia-sepanjang-2018
[2] https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-45086874
[3] https://bnpb.go.id/home/sejarah
Published at :