KOMPETENSI ABSOLUT PENGADILAN AGAMA DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PERBANKAN SYARIAH
Oleh ABDUL RASYID (Desember 2018)
Pasca dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012 terkait dengan Judicial Review Pasal 55 ayat (2) dan (3) Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, kewenangan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah menjadi kewenangan absolut pengadilan agama. Dengan kata lain, pengadilan agama merupakan satu-satunya lembaga peradilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perbankan syariah.
Namun, putusan Mahkamah Konstitutsi tersebut sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan praktisi, akademisi dan terutama di beberapa lembaga perbankan syariah yang masih keberatan untuk mneyelesaikan sengketanya melalui pengadilan agama. Argumentasi yang yang disampaikan adalah Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut hanya menghapuskan Penjelasan Pasal 55 ayat (2), namun tidak menghapuskan Pasal-nya, sehingga Pasal 55 ayat 2 tersebut masih tetap berlaku. Oleh karena itu, apabila para pihak yang bersengketa sepakat di dalam kontrak untuk menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan umum maka masih diperbolehkan. Di samping itu, mereka juga masih meragukan kemampuan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan yang kompleks.
Terkait dengan permasalahan di atas, menurut Dr. Yasardin, Hakim Agung Mahkamah Agung, pasca putusan Mahkamah Kontitusi No. 93/PUU-X/2012 di atas, tidak diragukan lagi bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan absolut pengadilan agama. Menurutnya, argumentasi yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi hanya menghapus penjelasan pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah dan tidak menghapus pasal-nya, sehinga masih memberikan peluang bagi para pihak yang bersengketa untuk menyelesaikan sengketanya melalui pengadilan umum pada dasarnya dapat dipatahkan. Secara substansi, apabila diperhatikan secara seksama, dalam pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi sangat jelas yang dipermasalahkan dalam judicial review tersebut adalah terkait dengan dualisme kewenangan antara pengadilan agama dan pengadilan umum dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah yang mengakibatkan ketidakpastian hukum. Putusan Mahkamah Konstitusi mempertegas kewenangan pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah sebagaimana yang telah diatur sebelumnya dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Di samping itu, menurut Dr. Yasardin, dalam rapat pleno Pimpinan Mahkamah Agung juga telah disepakati bahwa penyelesaian sengketa perbankan syariah merupakan kewenangan pengadilan agama. Kesepakatan Pimpinanan Mahkamah Agung tersebut memperkuat Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012. Oleh karena itu, apabila ada sengketa perbankan syariah diajukan ke pengadilan umum maka sengketa tersebut akan diputus dengan putusan Niet Ontvankelijke Verklaard (NO), yaitu gugatan tidak dapat diterima karena mengandung cacat formil. Cacat formil tersebut adalah cacat obscuur libel, ne bis in idem atau melangar kompetensi absolut atau relatif. Namun faktanya dilapangan masih juga terdapat beberapa kasus sengketa perbankan syariah yang masih diajukan, diproses dan diputus oleh pengadilan umum. Menanggapi hal tersebut, Dr. Yasardin mengatakan bahwa putusan pegadilan umum tersebut pada akhirnya akan dibatalkan oleh Mahkamah Agung apabila sampai pada tahapan kasasi.
Menurut penulis, Kesepakatan Pimpinan Mahkamah Agung dalam rapat pleno saja tidaklah cukup untuk memperkuat kompetensi absolut pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah, karena faktanya masih terdapat kasus yang diajukan ke pengadilan umum. Oleh karena itu, untuk memperkuat kompetensi absolut pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah dan menghilangkan perdebatan yang berterusan atas Putusan Mahkamah Konstitusi No. 93/PUU-X/2012, sudah semestinya Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan, baik berupa Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) atau Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) yang menegaskan kewenangan absolut pengadilan agama dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah. Surat SEMA atau PERMA tersebut nantinya disosialisasikan ke seluruh pengadilan, akademisi, praktisi dan lembaga perbankan syariah untuk diketahui dan ditaati sehingga ke depan tidak ada lagi perdebatan dan diselesaikannya sengketa-sengketa perbankan syariah ke pengadilan umum. (***)
Published at :