KETENTUAN PENATAAN RUANG TERKAIT WILAYAH POTENSI BENCANA
Oleh ERNI HERAWATI (Desember 2018)
Dalam kurun waktu tahun 2018, Indonesia telah ditimpa beberapa bencana alam yang cukup besar dan menyita perhatian. Diantara bencana alam yang terjadi adalah gempa tektonik yang menyebabkan tsunami di Palu dan terakhir adalah tsunami di Selat Sunda yang diakibatkan oleh aktivitas vulkanik Gunung Anak Krakatau. Salah satu hal yang dibicarakan terkait dengan dua bencana alam tersebut adalah berkaitan dengan tata ruang. Pada gempa di Palu, kejadian likuifaksi mendapat sorotan karena lokasi tersebut pada masa lampau juga pernah mengalami kejadian serupa.[1] Orang Palu bahkan memiliki kosakata sendiri atas peristiwa terjadinya lumpur yang menghisap tersebut yaitu “nalodo”. Berbeda dengan di Palu, bencana tsunami di Selat Sunda diakibatkan oleh longsoran Gunung Anak Krakatau. Peristiwa ini menimbulkan kekuatiran akan berulangnya kejadian yang sama, mengingat aktivitas dan pertumbuhan Gunung Anak Krakatau masih akan terus berlangsung entah berakhir sampai kapan. Peristiwa pertama menimbulkan pertanyaan di masyarakat, mengapa pemerintah memberikan ijin pemanfaatan ruang atas wilayah yang rentan bencana? Pada peristiwa yang kedua, membawa pada pemikiran baru tentang perlunya penataan ulang ruang wilayah pesisir yang berdekatan dan diperkirakan nantinya akan terdampak dengan aktivitas Gunung Anak Krakatau. [2] [3]
Kesadaran akan keterkaitan antara bencana alam dan penataan ruang telah disadari oleh pembentuk Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (UUTR). Dalam salah satu pertimbangannya disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berada pada kawasan rawan bencana sehingga diperlukan penataan ruang yang berbasis mitigasi bencana sebagai upaya meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan dan penghidupan. Dalam Penjelasan Umum diuraikan bahwa selain letaknya yang strategis, Indonesia berada pula pada kawasan rawan bencana, yang secara alamiah dapat mengancam keselamatan bangsa. Dengan keberadaan tersebut, penyelenggaraan penataan ruang wilayah nasional harus dilakukan secara komprehensif, holistik, terkoordinasi,terpadu, efektif, dan efisien dengan memperhatikan faktor politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, dan kelestarian lingkungan hidup. Dalam Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2010 tentang penyelenggaraan penataan ruang (PPTR), dijelaskan lebih spesifik bahwa Indonesia terletak pada kawasan pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik yang mengakibatkan rawan bencana geologi sehingga menuntut prioritisasi pertimbangan aspek mitigasi bencana.
Pada Pasal 6 ayat (1) huruf a UUTR ditentukan bahwa Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap bencana. Peninjauan terhadap penataan ruang inipun dapat dilakukan lebih dari satu kali dalam kurun waktu 5 (lima) tahun berdasarkan penetapan dari RTRW Nasional, Provinsi, Kabupaten dan juga Kota. Untuk kota, ditambahkan dengan rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, kegiatan sektor informal, dan ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pelayanan sosial ekonomi dan pusat pertumbuhan wilayah. Menurut Pasal 82 PPTR, peninjauan atas tata ruang dilakukan lebih dari satu kali dalam kurun waktu lima tahun dilakukan apabila terjadi perubahan lingkungan strategis salah satunya yaitu jika terjadi bencana alam skala besar. Bencana alam skala besar adalah bencana nasional sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan yang ditetapkan berdasarkan besaran jumlah korban jiwa, kerugian harta benda, kerusakan prasarana dan sarana, cakupan luas wilayah yang terkena bencana, dan dampak sosial ekonomi yang ditimbulkan. Dalam hal prosedur penyusunan tata ruang, data mengenai peta dan daerah-daerah yang rawan bencana turut diperhitungkan sebagai dasar penyusunan penataan ruang wilayah nasional, provinsi, kabupaten dan kota.
Kawasan rawan bencana masuk dalam kategori kawasan lindung. Yang termasuk dalam kawasan rawan bencana antara lain adalah kawasan rawan letusan gunung berapi, kawasan rawan gempa bumi, Kawasan rawan tanah longsor, kawasan rawan gelombang pasang, dan kawasan rawan banjir (Penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf d UUTR). Kawasan lindung nasional adalah kawasan yang tidak diperkenankan dan/atau dibatasi pemanfaatan ruangnya dengan fungsi utama untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan, warisan budaya dan sejarah, serta untuk mengurangi dampak dari bencana alam (Penjelasan Pasal 20 ayat (1) huruf c UUTR). Kawasan lindung yang terkait dengan pengurangan atas dampak bencana hanya ditentukan dalam kawasan lindung nasional, kawasan lindung provinsi tidak termasuk lingkup untuk mengurangi dampak bencana.
Dengan demikian sudah saatnya Pemerintah mengevaluasi kembali tata ruang daerah-daerah di wilayah Indonesia yang rawan bencana dan melaksanakan pengendalian dan pengawasan pelaksanaan tata ruang sesuai dengan UUTR secara berkelanjutan. Kesadaran bahwa lokasi seperti di Palu yang sewaktu-waktu dapat terjadi likuifaksi, juga pesisir Selat Sunda yang di tengah-tengahnya tumbuh Gunung Anak Krakatau sementara kondisi eksisting merupakan salah satu daya tarik wisata, perlu ditata ulang agar jumlah korban dan dampak bencana dapat diminimalisasi. (***)
REFERENSI:
[1] https://news.detik.com/berita/4245442/nenek-moyang-warga-palu-sudah-kenal-likuifaksi-dengan-nama-nalodo
[2] https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181225135100-20-356223/belajar-dari-tsunami-selat-sunda-pesisir-perlu-diatur-ulang
[3] https://bisnis.tempo.co/read/1159279/bencana-tsunami-600-rumah-di-pesisir-pantai-akan-direlokasi
Published at :