BERDAMPINGAN DENGAN ALAM UNTUK BERDAMAI BERSAMA BENCANA ALAM
Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2018)
Tidak ada yang dapat menolak bencana. Datangnya bencana tak mengenal waktu. Kapan saja bisa dan dimana saja bencana akan datang. Hal ini, karena sepanjang tahun 2018 saja telah diguncang gempa sebanyak 11.577 di Indonesia (Kompas, 29 Desember 2018). Namun, yang terpenting dari semua ini adalah dapat manusia mau belajar dari pada bencana-bencana itu sendiri. Dengan belajar diharapkan tidak jatuh ke dalam kubangan berulang kesalahan yang tidak seharusnya. Kesalahan-kesalahan yang selama ini menjadi pembuka jalan bencana harus dihentikan dan digantikan dengan independensi pribadi dan masyarakat. Meskipun harus ketergantungan kepada negara tidak dapat dilepaskan, karena memang itu tanggung-jawabnya, namun tidaklah seharusnya menggantungkan seluruhnya. Manusia secara individu, seharusnya, dengan kerjasama dengan lingkungan sekitar, sudah seharusnya dapat bahu membahu membangun ikatan kebersamaan menghadapi dan menanggulangi hadirnya bencana alam yang tidak dikehendaki. Yakin dengan niat bersama ini, maka potensi akan terjadi dan apabila telah terjadi, maka gagap menghadapinya tidak serumit dan sesulit dalam penanganan bencana itu. Sebuah usaha untuk mengerti bencana alam dengan belajar dari padanya.
Di samping belajar, maka hidup berdampingan dengan alam adalah pilihan yang tidak dapat ditolak. Hal ini, karena Indonesia berada di atas rangkaian cincin api Pasifik (“The Ring of Fire”) yang melingkar dari Selandia Baru hingga ke Amerika Serikat, sehingga gempa bumi, gunung meletus hingga tsunami akan seringkali terjadi di negeri ini (Media Indonesia, 30 Desember 2018). Melalui berdampingan dengan alam artinya bencana alam adalah bagian kehidupan yang tidak terpisahkan, sehingga apabila bencana alam itu terjadi gagap, kebibungan, kekhawatiran dan tidak tahu bagaimana seharusnya untuk mencari jalan keluar dai bencana dapat ditujukan arah dan keselamatannya. Hal itu dapat dilakukan, karena melalui hidup berdampingan bersama alam sekitarnya menjadikan masyarakat menghadapi bencana alam dapat mengetahui pola tindak bagaimana menghadapinya, karena hal itu telah ada dan masuk di dalam jalur berpikir yang terkena bencana alam untuk menyelesaikannya (menyelamatkan dirinya dan membantu lingkungannya). Patut disayangkan yang terjadi selama ini, terutama bencana Tsunami di Selat Sunda, adalah sebuah melodrama terjadinya tsunami dan penanganan pasca bencana alam, sesungguhnya, berakar kepada tidak akraban dan kebersahabatan dengan alamnya. Untuk memotret kasus yang terjadi di Kabupaten Pandeglang dan sekitar daerah Lampung, dapat dilihat masalahnya di dalam kajian hidup berdampingan dengan alam. Adakah hal itu terjadi ?
Sebelum terjadi bencana alam. Kehidupan dengan mendirikan bangunan (rumah, hotel, penginapan, tempat makan dan minum skala kecil ataupun besar) di pesisir pantai patutlah disadari bahwa itu tidak seharusnya di bangun untuk dilakukan. Hal itu, karena seluruh hunian di pesisir pantai Selat Sunda itu tidak dapat dipergunakan untuk kehidupan manusia apalagi untuk berusaha, karena memang berbahaya bagi keselamatan warga yang mendudukinya. Artinya, wilayah itu, secara alamiah peruntukannya adalah untuk keperluan air laut yang akan berlabuh di sekitar pantai, sehingga apabila terhalang oleh rumah, gedung atau sejenisnya, maka hempasan airnya yang datang dapat menyapu bersih seluruh bangunan yang telah ada di depan yang menghalanginya. Inilah yang tanpa disadarinya arti hidup berdampingan dengan alam secara damai dimana alam tidaklah dapat diajak kompromi, namun alam itu dapat dilihat fenomena yang akan datang dan terjadi melalui berdamai dengan alam. Dengan rangka berpikir inilah, maka dampak buruk apabila bencana alam itu datang, sesungguhnya, dapat diantisipasi dengan nalar dan akal yang sehat atau setidak-tidaknya korban akibatnya dapat diminimalisir. Masyarakat yang akan terkena dampak langsung bencana alam sudah waktunya mengalah dan mensiasatinya bagiamanakah dapat hidup bersama alam yang tidak bersahabat itu. Mengalah bukanlah berarti kalah, tetapi tetap dapat hidup, namun dengan berdamai dengan segala dampak buruknya alam. Berdampinganlah dengan alam akan menjadikan hidup manusia berdamai dengan keganasan alam terhadapnya.
Keberpihakan negara terhadap alam berdamai dengannya, sesungguhnya telah ada, melalui hadirnya Peraturan Presiden No. 51 Tahun 2016 tentang Batas Sempadan Pantai, yang merupakan turunan dari Undang-undang No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulalu-pulau Kecil. Di dalam ketentuan ini telah menegaskan bahwa wilayah sempadan pantai ditetapkan pemerintah daerah, baik provinsi maupun kabupaten atau kota yang memiliki pesisir pantai. Penetapan berapa meternya dari bibir pantai akan diberlakukan dalam rencana tata ruang (RTRW) dengan memperhatikan topografi, biofisik, hidrooseonagrifi pesisir, kebutuhan ekonomi dan budaya serta kawasan bencana. Hal ini, artinya telah ada aturannya dan larangan berapa meternya akan diatur lebih detail oleh pemerintah daerah. Sebab, setiap daerah berbeda-beda mengatur kawasan pesisirnya dan larangan berapa meternya untuk dapat digunakannya tergantung kepada masing-masing daerah (Koran Tempo, 28 Desember 2018). Dengan regulasi ini keberpihakan kepada berdampingan secara damai jelas adanya, namun yang harus dicatat adalah masyarakat mengetahui dan menyadari adanya ketentuan tersebut dan apakah pemerintah di daerah dengan teratur dan telah menyampaikan ketentuan tersebut di atas kepada masyarakat tentang bahaya hidup tidak berdamai dengan alam yang telah diatur oleh negara. Ketaatan kepada aturan yang ada akan menjadikan potensi masyarakat terhadap bencana alam yang ganas dan menakutkan itu dapat dihindari kedukaan dan kehilangan sanak dan saudaranya. Bahkan pemerintah daerah, di Kabupaten Pandeglang, Banten, telah membuat sejenis shelter atau tempat perlindungan apabila terjadi tsunami. Gedung seluas 2.456 meter persegi dengan tinggi 100 meter dibangun pada tahun 2014 adalah bukti kesungguhan negara untuk dapat hidup berdampingan dengan bencana alam jika terjadi dan untuk tempat berlindung di tempat yang lebih aman. Namun, bagunan malah menjadi ajang korupsi sejumlah oknum pejabat, sehingga perawatan dan pemanfatan menjadi terbengkalai dan tampaklah kotor, penuh coretan dan akibatnya tidak maksimal penggunannya (Kompas, 31 Desember 2018). Yang jelas upaya-upaya untuk mendekatkan dan berdampingan dengan alam telah dilakukan, tetapi implementasinya yang tidak sebagaimana diharapkan atau bertolak belakang.
Setelah terjadi bencana alam. Yang diperlukanlah setelah terjadi bencana adalah mitigasi bencana, di dalam arti tulisan ini, berupa serangkaian upaya untuk mengurangi risiko bencana, baik dapat melalui pembangunan fisik atau penyadaran dan berupa peningkatan kemampuan menghadapi ancamannya, termasuk pemulihaan pasca terjadinya bencana alam tersebut. Hal ini menjadi penting dipahami bahwa upaya-upaya setelah terjadi itu juga masuk dalam usaha berdampingan damai dengan alam, karena hal itu untuk dapat memahami karakter alam itu sendiri bagaimanakah seharusnya. Ini menjadi penting, karena yang terjadi saat ini kehebohan terjadi dimana-mana dengan eskalasai nasional dengan liputan media yang dua puluh empat jam tanpa henti untuk meliputnya. Tidak luput juga media-media sosial mendadak menjadi bagian ikut meramaikan suasana untuk keterlibatan itu. Harus diakuilah itu semuanya baik-baik saja dan bukti tinggi solidaritas dan sensitivitas publik terhadap masalah alam. Namun, apakah cukup hanya sampai disitu ? Jawabannya tidak. Yang dibutuhkan adalah sebuah manajemen di dalam penanggulangan bencana secara lebih jelas, terstruktur dan terukur dan tepat sasaran untuk membantu yang terkena bencana itu pemikiran yang matang dan tidaklah instan sesat. Hal ini dibutuhkan, karena seiring dengan berjalan waktu berlalu setelah bencana alam, maka semua gegap gempita pemberitaan berakhir dan tenggelam hilang dengan tiba baru perdebatan baru. Masyarakat akan kembali lagi kepada kehidupan seperti biasa dengan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Untuk itu, dibutuhkan perencanaan yang matang mulai dari lokasi dimanakah para pengungsi akan ditempatkan (dengan seluruh kebutuhan hidup dan kehidupannya selama tanggap darurat) dan untuk itu pemerintah setempat jauh-jauh hari telah berpikir keras untuk mengalokasikan tempat sementara itu dengan jelas. Kebutuhan ini karena pasca bencana yang terjadi adalah berusaha menyelamatkan diri, tetapi tidak ada arahan kemana lokasi yang paling aman itu dimana seharusnya dan kemana tempat aman itu berada. Yang patut disayangkan dan tidak dimengerti adalah kepanikan terjadi berlari kesana kemari setelah terjadi bencana bahwa akan datang bencana susulan, tetapi kenyataannya tidak terjadi. Informasi yang disampaikan belumlah jelas benarnya, tetapi kepanikan hebat sudah masuk di dalam benak pikiran semua warga masyarakat yang akan terkena bencana itu, sehingga informasi terasa menjadi mahal harga untuk sebuah keselamatan dimana kebenaran di dalamnya. Informasi yang benar idealnya dapat datang setiap saat dan dikeluarkan oleh kelembagaan negara yang tinggi kredibilitasnya. Sikap yang jelas dan tegas adalah kunci awal akan kebenaran sebuah kebenaran terjadi dan tidaknya bencana itu. Keragu-raguan dan sering terjadi adanya koreksi akan menumbuhkan ketidakpercayaan terhadap bencana itu sesungguhnya ada atau tidaknya malapetaka alam itu datang. Kesemua ketidakjelasan yang langsung terkena dampaknya adalah warga di sekitar lokasi bencana yang akan menanggung deritanya. Dibutuhkan sebuah ketangguhan informasi dari dan untuk masyarakat melalui komunitas yang dibentuk bersama oleh masyarkat. Hal itu sangatlah dimungkinkan karena media sosial telah menjadi sebuah kekuatan baru yang telah memasuki kehidupan sosial. Komunitas masyarakat menjadi pelabuhan awal hadirnya informasi dengan kebenaran data dan informasi itu menjadi tajam keakuratannya keterlibatan pemerintah (pusat dan daerah) untuk memberi informasi bencana sesungguhnya. Tidaklah saja Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sebagai pemasok utama informasi pada awalnya, tetapi dibutuhkan juga adanya kerja bersama dengan Kominfo yang memiliki lini depan keseluruhan informasi dengan bantuan operator tekekomunikasi yang telah ada. Melalui sinergitas ini, maka kehandalan atas kebenaran informasi dapat melawan semua berita yang tidak benar (hoax) tentang bencana alam.
Tidak cukup hanya di situ hendaklah mulai dilibatkan perusahaan start up company untuk berpikir keras membuat sebuah aplikasi yang dapat memberikan informsai dini tentang bencana alam dan potensi terjadinya untuk menghadapinya. Secara tekhnologi sejatinya telah maju, seperti BUOY, Cable Based Tsunameter, Radar (Koran Tempo, 27 Desember 2018) dan BKMG berpengalaman banyak untuk melakukan deteksi dini dengan teknologi-teknologi tersebut dan prediksi awal yang akan terjadi (dengan menempatkan alat pemantau deteksi gempa dan pemantau laut, serta sistem yang dimiliki, seperti Indonesia Tsunami Early Warning System (Ina TEWS) adalah serangkaian tekhnologi tinggi yang ada (Kompas, 31 Desember). Dengan semua inilah, maka yang dibutuhkan adalah sosialisasi informasi dini tentang kejadian bencana alam melalui teknologi smartphone yang telah merata dimiliki oleh masyarakat. Maksudnya begitu di duga ada gejala tsunami dapatlah dikirim (tidak berbayar via “Whats Up”) kepada seluruh pemilik telepon genggam itu dalam waktu yang bersamaan dan cepat untuk dikirimkan serentak dan dalam waktu yang cepat. Untuk maksud itu, maka adanya kerjasama dengan perusahaan rintisan yang dikelola para kaum muda diharapkan akan semakin banyak yang terlibat dalam usaha mengurangi dampak buruk dari bencana alam itu. Sekaligus juga untuk mendekatkan para operator telekomunikasi, start up company, BMKG dan Badan Geologi-ESDM, Kominfo untuk saling bekerjasama untuk membuat dan menghasilkan aplikasi canggih untuk membuat informasi himbuan, penerangan, sosialiasi, informasi dan lain-lain yang sifatnya untuk mendekatkannya informasi tsunami dan bahayanya dengan lebih cepat dan tepat sasaran sehingga korban tsunami dapat dikurangi.
Tanggung-jawab negara terhadap bencana alam. Keterlibatan negara dan pemerintah dalam hal ini tentu saja tidaklah mungkin dilepaskan begitu saja. Hal ini sesuai pembukaan UUD 1945 yang berbunyi negara wajib melindungi segenap warga negaranya, maka dalam titik inilah sesugguhnya kehadirannya sangat dinantikan dan dibutuhkan. Untuk itu, keterlibatan terdepan Departemen Sosial menjadi sebuah keniscayaan dan dengan kerjasama pemerintah daerah untuk mengatur bagaimana mengatur di dalam membagi dan menyalurkan bantuan-bantuan sosial untuk mengirimkannya kepada yang membutuhkan adalah bagian dari tanggung-jawabnya. Tidaklah juga dapat dilepaskan keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), ulama, akademisi setempat dan seluruh masyarakat adalah bukti keterlibatan dalam menyelesaikan akibat dampak buruk dari bencana alam. Disamping itu juga perlu ditumbuhkan sebuah koordinasi di tingkat pusat (misalnya dibawah kendali Menko Kemariitiman) ke daerah yang akan dapat mengatur mekanisme tetap bagaimana penanganan bencana alam seharusnya ke depan. Masalah ini menjadi penting dibuat untuk menghindari terjadinya tumpang tindih penanganan bencana. Yang juga perlu kesiapan masyarakat menghadapi bencana, dengan berprinsip berdampingan dengan alam untuk berdamai, maka sudah waktunya dimasukan menghadapi dan penanganan bencana selama akademik dan ilmiah dengan memasukan ke dalam kurikulum wajib (terutama pendidikan dasar hingga perguruan tinggi) dalam salah satu bagian dari mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKN). Artinya, tidak harus menjadi mata kuliah mandiri, tetapi menjadi bagian pembahasan dari PKN dengan titik tekan pada praktek dalam hal menghadapi bencana. Dapat juga menjadi bagian dari Corporate Social Responsiility (CSR) perusahaan publik untuk dilibatkannya dalam rangka sosialisasi menghadapi bencana alam yang dapat terjadi setiap saat. Sehingga, memang dibutuhkan perluasan pengertian CSR dan tidak sesempit pengertiannya sekarang. Keterlibatan swasta sangat penting, karena bencana alam pada akhirnya juga akan dapat berpengaruh terhadap kalangan swasta apabila terkena bagian usahanya sebaimana yang terjadi di Tanjung Lesung, Pandeglang. Dibutuhkan sebuah keterlibatan seluruh komponen bangsa untuk menghadapi dan menyelesaikan serta bahayanya bencana alam. Titik akhirnya, menghentikan bencana alam sangat tidak mungkin, tetapi manusia sebagai makhluk yang berakal dan nalar, seharusnya, tahu bagaimana bertindak, memprediksikan bencana itu, serta dapat menyelamatkan diri dari bencana alam dengan tepat dan terukur. Untuk itu, perubahan kehidupan menghadapi ganasnya bencana alam dengan belajar dan berdampingan dengan alam, sehingga tumbuh persahabatan di dalam kehidupannya. Melalui berdampingan dengan alam, maka menghadapi perubahan alam yang mendadak dapat disikapi dengan lebih bijak dan tidak salah dalam melangkah melihat fenomena alam yang tidak bersahabat ini. Alam yang bersahabat adalah dambaan seluruh kehidupan kemanusian. (***)
Published at :