PENINDAKAN DAN PENGHUKUMAN ‘ILLEGAL FISHING’
Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2018)
Maraknya illegal fishing di Indonesia lima tahun terakhir ini menimbulkan banyak permasalahan di sektor kelautan dan perikanan, karena selain melecehkan kedaulatan negara juga menimbulkan kerugian keuangan negara. Kerugian akibat illegal fishing mencapai US$ 20 Miliar atau Rp.240 Triliun per tahun .
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur diluar dan berbatasan dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah dibawahnya dan air diatasnya dengan batas terluar 200 mil laut diukur dari pangkal laut wilayah Indonesia. Dengan ZEE ini pemerintah memiliki hak berdaulat untuk menggunakan kebijakannya dalam mengatur kapal-kapal asing yang melakukan illegal fishing di wilayah laut Indonesia.
Sebagai negara kepulauan dengan luas wilayah mencapai 5.193.253 km², yang terdiri atas 1.890.754km² daratan dan 3.302.498 km² lautan, berpotensi terjadinya illegal fishing oleh kapal-kapal asing.Salah satu kasus illegal fishing di Tahun 2015 yang mengadili nahkoda kapal milik asing melalui proses pengadilan yaitu kasus Zhu Nian Le berkebangsaan Cina (Tiongkok) Nahkoda kapal M.V. Hai.Fa dijerat dengan pasal 100 juncto pasal 7 ayat (2) UU nomor 31 tahun 2004 sebagaimana dirubah dengan UU nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan. Putusan Pengadilan Perikanan Ambon menetapkan denda sebesar Rp 200 juta kepada Nahkoda Kapal Hai Fa, keputusan ini tidak memberikan efek jera karena pelanggaran yang dilakukan serta kejahatan penangkapan 15 ton ikan hiu koboi (carcharhinius longimanus) dan hiu martil (sphyma spp) tanpa Surat Layak Operasi (SLO) merupakan tindak pidana yang sangat merugikan sumber daya laut juga melanggar kedaulatan negara.
Penenggelaman dan peledakan puluhan kapal asing yang di lakukan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tanpa melalui persidangan ini memang merupakan kewenangan negara yang berlandaskan pada pasal 69 Ayat (4) Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan yang menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penyidik dan/atau pengawas perikanan dapat melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.”
Tindakan ini diharapkan dapat memberikan efek yang signifikan terhadap hak-hak traditional fishing untuk mendapatkan hasil tangkapan ikan dengan bobot berat yang meningkat, juga diharapkan mampu meningkatkan pendapatan ekonomi negara melalui sumbe rdaya perikanan dan hasil laut yang berlimpah. Namun kebijakan hukum nasional ini harus juga memperhatikan hukum internasional, karena permasalahan yang dihadapi berkaitan dengan negara-negara asal pemilik kapal asing yang juga dapat menimbulkan kontroversial dari berbagai pihak.
Indonesia sebagai negara yang telah meratifikasi UNCLOS (United Nation Convention in the Law of the Sea) memiliki kewenangan dan kedaulatan untuk menegakkan hukum yang berkaitan dengan kepentingan dalam negeri di wilayah perairan yang berbatasan dengan negara lain, dalam upaya penegakan hukum tersebut Indonesia harus menyelaraskan ketentuan hukum nasional dengan ketentuan hukum internasional. Berdasarkan pasal 73 ayat (4) UNCLOS 1982 ketika terjadi penangkapan atau penahanan kapal asing, negara pantai harus segera pemberitahukan secara resmi kepada negara bendera, melalui saluran yang tepat, mengenai tindakan yang diambil dan mengenai setiap hukuman yang dijatuhkan.
Pelaku yang bertindak atas nama perusahaan atau perseorangan dapat diberikan sanksi pidana baik hukuman kurungan maupun pembayaran ganti rugi sejumlah ikan yang ditangkap. Penghukuman mengenai pelaku tindak pidana illegal fishing harus ditegaskan dan tentu harus dapat membuat pelaku merasakan akibat yang setimpal dengan delik yang dilakukannya.
H.L. Packer menegaskan bahwa dalam hal “punishment” kita memperlakukan seseorang karena ia telah melakukan suatu perbuatan salah dengan tujuan, baik untuk mencegah terulangnya perbuatan itu maupun untuk mengenakan penderitaan atau untuk kedua-duanya. Pemerintah sejauh ini dengan produk hukum mengenai illegal fishing belum mengatur penuh mengenai kerugian negara yang dapat dipertanggungjawabkan oleh para pelakunya.
Penindakan Pelaku Illegal Fishing terhadap Kerugian Negara
Keterkaitan antara illegal fishing dan Transnational Organized Crime (TOC), pada Sidang Umum PBB yang ke-70, Bagian IV dari Resolusi A/RES/ 70/75 Tahun 2015 (para.87) menyatakan, : “Juga memperhatikan adanya kemungkinan keterkaitan antara kejahatan transnasional terorganisir dan penangkapan ikan secara illegal dibeberapa wilayah di dunia, dan mendukung negara-negara, termasuk melalui forum dan organisasi internasional yang sesuai, untuk mempelajari penyebab, metode dan faktor pendukung terjadinya penangkapan ikan secara illegal, mengenai kejahatan transnasional terorganisir dalam bidang industri perikanan, dengan memperhatikan perbedaan rezim hukum dan ganti kerugian berdasarkan hukum internasional yang berlaku untuk penangkapan ikan secara illegal dan kejahatan transnasional terorganisir”
Dalam kasus illegal fishing ini sudah memenuhi unsur-unsur diatas karena kejahatan dilakukan oleh beberapa warga negara, kejahatan terjadi di suatu wilayah laut negara Indonesia yang memnyebabkan kerugian hukum karena menangkap ikan secara over fishing tanpa dokumen yang sah tidak sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. Kejahatan transnasional ini dilakukan oleh kelompok yang terorganisir, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 huruf a yang menyebukan bahwa kejahatan terorganisir adalah suatu kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 orang atau lebih, dibentuk untuk periode waktu tertentu dan bertindak dengan melakukan tindak pidana serius atau kejahatan dengan tujuan mendapatkan keuntungan keuangan atau keutungan materiil lainnya.
Tindak Pidana serius sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2 huruf b adalah kejahatan yang diancam hukuman pidana penjara sekurang-kurangnya 4 tahun atau hukuman yang lebih berat. Tindak pidana ini dapat diposisikan pada pembentuk atau ketua organisasi yang telah merencanakan dan mengatur langkah untuk melakukan illegal fishing yang dilakukan oleh anggota oraganisasi yang turun ke lapangan atau bertindak melakukan penangkapan di laut. Para pelaku yang terjun langsung di lapangan, yaitu Nahkoda dan ABK juga terlibat melakukan tindak pidana karena dianggap telah ikut serta dalam melakukan tindak pidan dan dianggap mendapatkan keuntungan dari hasil tindak pidana penangkapan ikan secara illegal, sebagaimana ditegaskan dalam pasal 6 yang mengatur tentang keikutsertaan dalam kelompok kejahatan terorganisir.
Penjatuhan hukuman pada illegal fishing belum menyentuh pada pelaku yang sesungguhnya yang merupakan suatu organisasi. Padahal dengan banyaknya kerugian negara yang timbul akibat illegal fishing dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya pada pelaku utamanya. Karena sejauh ini proses hukum yang mengadali para nahkoda hanya didenda dengan nominal yang kecil tidak dapat mengambalikan kerugian negara. Adapun nominal yang besar tidak dapat dibayar karena nahkoda tidak memiliki uang untuk membayar dan hukuman ditambahkan pada kurungan.
Dalam hal melakukan penyidikan pada organsisasi sebagai pelaku utama illegal fishing bukan merupakan suatu hal yang mudah, karena pasti dilindungi oleh pemerintahan negaranya, namun apabila dasar hukum negara Indonesia telah tegas dan didukung dengan melakukan pendekatan multi-door antar Undang-Undang seperti dengan UU Perseroaan, UU ZEE, UU Perpajakan, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UNCLOS dan pihak-pihak yang berwenang dapat membantu untuk mengungkap organisasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya sehingga kerugian negara dapat tergantikan. Karena tindak pemerintah untuk menenggelamkan dan atau membakar kapal asing saat ini hanya merupakan langkah tegas untuk memberantas illegal fishing, tetapi masalah kerugiannya belum dapat diatasi.
Tindakan dan penghukuman illegal fishing yang dilakukan pemerintah melalui Satgas hanya berupa tindakan penenggelaman dan/atau pembakaran kapal, adapun hukuman hanya dijatuhkan kepada nahkoda dengan kapal belum menyentuh organisasi sebagai pelaku utamanya. Tindak pidana transnasional ini, membutuhkan penindakan yang tidak cukup hanya ditelah dari konteks hukum saja, melainkan permasalahan kerugian negara yang tidak kembali perlu ditinjau melalui kacamata ekonomi.
Kasus illegal fishing yang menimbulkan kerugian pada negara selain permasalahan hukum juga termasuk dalam masalah ekonomi karena akibat tindakan penangkapan ikan yang bertentangan dengan hukum berdampak pada kerugian keuangan negara karena ikan yang bernilai ekonomi untuk diperdagangkan malah dicuri. Pendekatan analisis ekonomi mikro tentang hukum pidana berasal dari teori ekonomi mikro yaitu, “the study of how scarce resources are allocated among competing ends” (Studi mengenai bagaimana sumber daya yang terbatas dialokasikan antara berbagai hasil akhir yang bersaing satu sama lain).
Teori ekonomi mikro menawarkan suatu teori umum tentang bagaimana setiap orang/pemimpin/kelompok orang mengambil keputusan. Peneliti akan menganalis bagaimana tindakan pemerintah dalam menindak pelaku illegal fishing di wilayah teritorial Indonesia. dimana sejauh ini pemerintah menindak dan menghukum pelaku belum ke arah penerapan ekonomi, hukum yang dikenakan terhadap para pelaku selain berfungsi untuk menciptakan kepastian hukum juga harus mempertimbangkan keadilan (justice) dan kemanfaatan (utility) hukum. Pidana denda yang dijatuhkan terhadap Nahkoda kapal banyak yang tidak sesuai dengan jumlah kerugian negara, hal ini tidak akan memberikan efek jera dan justru pelaku tidak akan merasa rugi, karena hasil tangkapan mereka lebih besar dari denda yang dijatuhkan kepadanya. Banyak modus operandi yang digunakan oleh pelaku agar tidak diketahui ketika melakukan penangkapan ikan, penyelidikan hanya dilakukan terhadap barang bukti untuk menjatuhkan hukuman.
Secara yuridis kasus-kasus illegal fishing diadili berdasarkan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya, kemudian baru dijatuhi hukuman. Ketentuan penjatuhan hukuman dalam Undang-undang belum memberikan efek jera dan tidak dapat mengembalikan kerugian negara. Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Kejaksaan perlu mengeluarkan keputusan berdasarkan sudut pandang ekonomi. Karena melaui teori ekonomi mikro ini yang merupakan teori mengenai aspek tingkah laku manusia didasarkan pada tiga prinsip yaitu : (i) Optimalisasi (maximization dan minimization), (ii) keseimbangan (equilibrium) dan (iii) efisiensi (efficiency)
Perlu dilakukan pembaharuan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 khususnya terkait dengan hukuman baik penjara maupun denda. Penyelidikan dan penyidikan dilakukan kepada pelaku utama baik berbadan hukum atau tidak berbadan hukum, untuk dimintai pertanggungjawaban pidananya. Dalam menindak dan menghukum pelaku illegal fishing yang merugikan negara perlu dilakukan pendekatan ekonomi mikro dalam hukum pidana, teori ekonomi mikro dapat megatasi dan menyesuaikan hukuman dengan beratnya pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan karena teridiri dari prinsip optimalisasi (maximization dan minimization), keseimbangan (equilibrium) dan efisiensi (efficiency). (***)
Published at :