PENGARUH POSITIVISME TERHADAP PENEGAKAN HUKUM
Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2018)
Belajar dari Soerjono Soekanto dalam bukunya “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum” yang berpendapat bahwa terdapat lima faktor yang menjadi penyebab dapat atau tidaknya penegakan hukum, maka pertanyaannya adalah apakah masalah penegakan hukum tergantung “hanya” kepada lima faktor itu sajakah ? Ternyata tidak. Hal ini, karena terdapat satu unsur lagi yang menyebabkan tidak mudahnya penegakan hukum. Sehingga, keseluruhannya enam faktor yang menjadikannya penegakan hukum tidak mudah dimana terdapat lima alasan dan saat ini bertambah satu yang dapat mempengaruhi penegakan hukum yaitu aliran positivisme hukum. Hal ini, karena aliran ini berpendapat bahwa hukum harus tertulis, sehingga tidak ada norma hukum di luar hukum positif. Keenam faktor ini, lima diantaranya diungkapkan Soerjono Soekanto, menjadi bertambah sulit penegakan hukum sesungguhnya bermuara kepada positivisme hukum. Hal ini, karena tanpa disadarinya dan diketahui para penegak hukum telah menyetujuinya. Berpikir aliran ini bagaikan mesin mekanis dan otomatis yang bekerja dalam penegakan hukum dengan mengabaikan rasa keadilan dan kebenaran yang seharusnya ada. Penegakan hukum yang bersifat matematis ini berbahaya bagi pencari keadilan dengan ekonomi terbatas, sebab tidak ada kesempatan untuk menjelaskan masalah sesungguhnya. Lain halnya kelompok ekonomi yang mapan dan kuat mereka dapat mempengaruhi untuk membelokkan kemana sesuai kehendaknya sepanjang penegak hukum mau berkerjasama. Positivisme hukum ini terlalu memberikan penghargaan berlebihan-lebihan terhadap kekuasaan yang membentuk dan menciptakannya hukum yang tertulis dan kekuasaan adalah sumber hukum dari kekuasaan adalah hukum itu sendiri.
Pola berpikir positivisme hukum di atas berakibatnya dalam menegakan hukum hanya terbatas kepada menegakkan bunyi undang-undang saja dan tidak berkehendak menegakan keadilan dengan substansi hukum itu sendiri. Hal ini jika dilakukan dan dijalankan sebagai dasarnya, penegakan hukum bagaikan menggunakan kaca mata kuda dalam penegakan hukumnya. Hal ini berbahaya, karena para penegak hukum tidak dapat membedakannya kesalahan yang prosedural dan substansial dalam menyelesaikan kasus yang dihadapinya. Dalam hal ini penegakan hukum hanya berpegang “rule and procedure“-nya saja dan tidak mendalami dibalik permasalahan sesungguhnya. Yang diutamakannya adalah parsial saja dan seharusya menelah kasus dan menegakannya harus dengan melihat secara komprehensif terhadap semua aspek hukum. Penegakan hukum lebih legaslistik membuahkan rasa ketidakadilan. Ketidakadilan yang menjauhkan idealisme dan cita-cita pembentuk peraturan itu sendiri. Sebuah kerugian yang tidak saja merugikan pencari keadilan, tetapi juga semua lapisan masyarakat yang sedang dan akan mencari keadilan di Indonesia sekarang dan masa yang akan datang.
Positivisme hukum menjadi demikian kakunya penegakan hukumnya, karena positivisme itu berasal dari kata “positif”. Positif di sini sama artinya dengan faktual, yaitu apa-apa yang berdasarkan fakta-fakta. Dengan demikian, maka pengetahuan menurut positivisme tidak pernah dapat dari melebihi fakta-fakta yang ada. Hal ini menjadikan ilmu pengetahuan yang empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Untuk maksud itu juga positivisme menolak cabang filsafat metafisika. Menyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenar-benarnya” adalah termasuk juga filsafat, tetapi bertugas hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Disamping itu positivisme mengutamakan pengalaman. Yang berbeda dengan empirisme yang terjadi di Inggris adalah menerima pengalaman batiniah atau subjektif sebagai sumber pengetahuan melalui pengalaman batiniah tersebut, namun demikian tetap mengandalkan fakta-fakta belaka. Melalui dasar berpikir yang demikian menjadi jelas permasalahan penegakan hukum akan menggunakan alur berpikir yang sederhana dan normatif saja sebagai acuannya. Para penegak hukum tanpa disadari telah berpegang dan mengakui positivisme hukum kepada cara berpikir bahwa keseluruhan proses dengan melihat fakta-faktanya di lapangan dan kemudian berusaha mencari pembenaran dengan ketentuan aturan yang dilanggarnya sebagai dasar bekerjananya.
Positivisme hukum hanyalah mengenal ilmu pengetahuan yang positif, sehingga yang dikenalnya hanya ada satu jenis hukum, yakni hukum positif saja. Sisi kelam positivisme hukum adalah yang dikaji hanya aspek lahiriahnya, sehingga yang muncul bagi realitas kehidupan sosial, tanpa memandang nilai-nilai dan norma-norma seperti keadilan, kebenaran, kebijaksanaan, dan lain-lain yang melandasi hadirnya aturan-aturan hukum tersebut, karena nilai-nilai itu tidak dapat ditangkap oleh panca indera manusia. Di samping itu, sesungguhnya positivisme hukum tidak memisahkan antara hukum yang ada atau berlaku (positif) dengan hukum yang seharusnya ada, yang berisi norma-norma ideal, akan tetapi menganggap bahwa kedua hal itu harus dipisahkan melalui bidang-bidang yang berbeda. Konsekuensi mengabaikan apa yang terdapat di balik hukum, yakni berupa nilai-nilai kebenaran, kesejahteraan dan keadilan yang seharusnya ada dalam hukum, sehingga positvisme hukum berpegang pada prinsip-prinsip a). Hukum adalah perintah-perintah dari manusia (command of human being). b) Tidak perlu ada hubungan antara hukum dengan moral, antara hukum yang ada (das sein) dengan hukum yang seharusnya (das sollen). c) Analisis terhadap konsep-konsep hukum yang layak dilanjutkan dan harus dibedakan dari penelitian-penelitian historis mengenai sebab-sebab atau asal-usul dari undang-undang, serta berlainan pula dari suatu penilaian kritis. d) Keputusan-keputusan (hukum) dapat dideduksikan secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada terlebih lebih dahulu, tanpa perlu menunjukan kepada tujuan-tujuan sosial, kebijaksanaan, dan moralitas. e) Penghukuman (judgement) secara moral tidak dapat ditegakkan dan dipertahankan oleh penalaran rasional, pembuktian, atau pengujian.
Prinsip-prinsip yang dijadikan dasarnya positivisme hukum terlihat dengan jelas bahwa aliran ini memiliki pengaruh terhadap filsafat hukum, yang berwujud dengan nama sebagai positivisme hukum. Sebelum itu, ada aliran pemikiran dalam ilmu hukum legisme. Pemikiran hukum ini berkembang semenjak abad pertengahan banyak berpengaruh di berbagai negara-negara, tidak terkecuali di Indonesia. Aliran ini mengidentikkan hukum dengan undang-undang, tidak ada hukum selain di luar undang-undang tertulis. Satu-satunya sumber hukum adalah undang-undang. Aliran legisme, menganggap undang-undang sebagai “barang keramat”, dan mendorong para penguasa untuk memperbanyak undang-undang sampai seluruh kehidupan diatur secara yuridis. Kaum positivisme ini berpandangan bahwa dalam hal terdapat peraturan-peraturan yang baik, maka hidup bersama akan berlangsung dengan baik namun demikian tidaklah selalu demikian. Kondisi inilah yang berpotensi akan terjadinya penyalahgunaan atas celah atau kelemahan dari bunyi pasal-pasal undang-undang. Hukum memang ada di dalam undang-undang, tetapi juga harus ditemukan hakekatnya. Mencari dalam peraturan adalah menemukan makna atau nilai yang terkandung di dalam peraturan dan tidak hanya membacanya secara datar begitu saja. Hukum adalah sesuatu yang sarat makna dan nilai.
Berdasarkan pemaparan tersebut, maka jelas bahwa disamping terdapat lima faktor yang dapat menjadi penghambat penegakan hukum, tetapi di dalam prakteknya menjadi telah bertambah ke enam karena positivisme hukum juga memberikan pengaruh dan andil besar dalam penegakan hukum yang tanpa disadari kehadirannya dalam alam pikir para penegak hukum. Untuk itu, dalam menjalankan tugas para penegak hukum, sudah seharusnya, berani menerapkan penegakan hukum progresif. Hukum progresif yang digagas Prof. Satjipto Rahardjo memiliki sebuah konsep besar bahwa dalam penegakan hukum tidak hanya sekedar kata-kata hitam-putih dalam peraturan (according to the letter), tetapi berlandaskan semangat dan makna lebih dalam (to very meaning) dari tekstual undang-undang. Penegakan hukum tidak saja berangkat kecerdasan intelektual semata, tetapi juga dengan kecerdasan spiritual.
Dengan berpegang kepada kajian pembahasan maka keseluruhannya menjadi jelas bahwa penegakan menjadi sulit diteggakan apabila keenamnya ada dan hadir di antara para penegak hukum. Sebuah ironi memang, namun hal ini haruslah dipahami dan diakhiri segera. Tergambar bahwa positivisme hukum itu sebatas ajaran filsafat biasa, namun jika dikaji lebih dalam dampaknya begitu besar dan dahsyat merasuki pola berpikirnya aparat penegak hukum yang tidak dapat dipandang sebelah mata dan biasa. Harus ada upaya untuk menjelaskan dan mengingatkan bahwa cara-cara penegakan hukum yang demikian legalistik hitam putih tidak benar dan sudah waktunya ditinggalkan dengan menggunakan terobosan baru yang lebih mengedepankan unsur obyektivitas dan keadilan yang substantif di dalam penegakan hukumnya di Indonesia. Hukum Progresif adalah dapat menjadi alternatifnya.
Dengan kata lain, penegakan hukum dilakukan dengan penuh determinasi, empati, dedikasi, komitmen terhadap ketidakadilan dalam penegakan hukum dengan disertai keberanian untuk mencari jalan berupa terobosan dari pada yang biasanya dilakukan oleh para penegakan hukum selama ini. Hukum progresif dibutuhkan mendesak untuk menghambat dampak negatif positivisme. Kekhawatiran itu ada, karena penggunaan kaca mata kuda dalam penegakannya hanya dapat melihat penegakan hukum dalam satu arah yaitu rumusan undang-undang secara tekstual normative saja tanpa ada kepedulian dan sensitivitas terhadap kondisi lingkungan sosial di sekitarnya. Penegakan hukum harus dengan menempatkan sisi keadilan dan kebenaran di atas dari peraturan atau undang-undang. Sebab, jika penegakan hukum yang dibuat hanyalah berdasarkan konstruksi-konstruksi logis yang ada dalam hukum positif formal, maka penegakan hukum hanya menjadi mulutnya UU. Penegakan hukum yang progresif dituntut melepaskan diri dari kungkungan pola berpikir positivistik yang kaku dan tidak membumi. Untuk itu hukum progresif pilihan jalan keluanya, karena positivisme telah begitu mapan/mentradisi, bahkan mendominasi begitu kuat sebagai satu-satunya cara berpikir baik dalam ilmu maupun dalam penegakan hukum. Diasumsikan implikasinya terhadap ilmu dan penegakan hukumnya lebih bersifat negatif daripada positifnya. Nilai keadilan dan kemanfaatan semakin jauh dari ilmu dan penegakan hukum. (***)
LITERATUR :
- Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 1983.
- Yusriyadi, Positivisme dan Implikasinya Terhadap Ilmu dan Penegakan Hukum Di Indonesia, Bahan Kuliah Umum : di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, Palembang, Selasa, 18 April 2017.
- Anime Gaul, Keadilan Dalam Pandangan Pemikiran Hukum Progresif Satjipto Rahardjo, https://hukum88.wordpress.com/2012/06/24/keadilan-dalam-pandangan-pemikiran-hukum-progresif-satjipto-rahardjo/, diakses tanggal 19 Oktober 2018.
- Arief Sidharta, Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya, Remaja Rosda Karya, Bandung 1994.
- Juhaya S. Praja, Aliran-Aliran Filsafat dan Etika Prenada, Media Jakarta 2003.
Published at :