SISTEM HUKUM & PENGARUHNYA TERHADAP KEPUTUSAN PERADILAN
Oleh AGUS RIYANTO (Desember 2018)
Suatu realitas bahwa sistem hukum di dunia dihadapkan kepada sebuah keberbedaan. Keberbedaan ini disebabkan faktor sejarah negara penjajah terhadap daerah-daerah bekas jajahannya. Di dalam garis besarnya terdapat dua sistem hukum. Pertama, sistem Common Law (Anglo Saxon) adalah sistem yang berlaku di Inggris dan negara-negara bekas daerah jajahannya. Di dalam sistem hukum ini terdapat tiga karakteristik yaitu yurisprudensi sebagai sumber hukum utama, dianutnya sistem preseden (doktrin stare decicis) dan terdapatnya adversary systemdalam peradilannya. Dengan sistem ini, maka hukum yang berlaku adalah hukum tidak tertulisatau hukum kebiasaan yang berkembang melalui putusan-putusan pengadilan. Hakim menggunakanstaredecicisatau keputusan hakim terdahulu untuk perkara yang sejenis sebagai dasar pembenaran keputusan. Kedudukan hakim terbatas memeriksa dan memutuskan hukumnya, sementara juri yang memeriksa kasus untuk dapat menentukan dan memutuskan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang berpekara. Keterlibatan juri menunjukkan bahwa keadilan tidak bergantung sepenuhnya kepada lembaga peradilan tetapi menjadi bagian integral kehadiran masyarakat dalam proses penegakannya.
Kedua, sistem hukum Civil Law (Eropa Kontinental)adalah sistem hukum yang berlaku di negara-negara bekas daerah jajahan Belanda. Indonesia sebagai negara jajahannya, maka berdasar asas konkordansi berlakulah Civil Law. Di dalam sistem ini terdapat tiga ciri khas sistem hukum yaitu hukum itu adalah yang dikofikasikan, hakim tidak terikatsistem preseden (doktrin stare decicis) dan hakim berpengaruh besar mengarahkan dan memutuskan perkara (inkuisitorial). Dalam sistem inilah, hakim terikat undang-undang dalam memutuskan perkara yang ditanganinya. Hal ini berarti kepastian hukum hanya ada itu bentuk dan sifatnya tertulis.Kedudukan hakim sangatlah sentral, karena hakim memeriksa langsungmateri kasus yang ditangani, menentukan bersalah dan tidaknya terdakwa atau pihak yang sedang berperkara, sekaligus menerapakan hukumannya. Untuk itu, maka tidak dikenal juri di dalam sistem ini. Hal ini menjadikan tanggung jawab hakim lebih berat, karena hakim harus memeriksa fakta-fakta hukum, menentukan kesalahan serta menerapakan hukuman dan sekaligus menjatuhkan putusannya yang di duga bersalah dan harus dihukum.
Berbedanya kedua sistem hukum itu menjelaskan keberbedaan. Di Common Lawkelenturan penerapan hukum terjadi, karena hakim tidak harus selalu berpegang teguh kepada hukum tertulis, tetapi dapat menggunakan hukum yang berkembang di masyarakat (hukum kebiasaan) sebagai bagian dari proses menjatuhkan putusanya. Berpegang yurisprudensi hakim, maka terbentuk aturan yang tidaklah harus bergantung eksekutif dan legisilatif (sebagaimana di Indonesia) tetapi melalui keputusan dapat dijadikan sumbernya hukum. Yurisprudensinya keputusan itu tidak berdiri sendiri, tetapi dengan mendengarkan rasa keadilan menurut juri. Hakim tetap berpegang kepada ketentuan dan menilai apa yang dilanggarnya, tetapi keputusan salah dan tidak tetap berada di tangan para juri, sehingga yang terjadi adalah kombinasi hakim dan juri yang berbeda latar belakangnya membuat keputusannya. Hakim tidak lagi menjadi tunggal menjadikan hitam dan putihnya dalam menjatuhkan putusan di dalam sisten hukum ini.
Doktrin stare decicismengandung arti bahwa dalam memutuskan suatu perkara, seorang hakim harus mendasarkan putusannya kepada prinsip hukum yang sudah ada dalam putusan hakim lain dari perkara sejenis yang sebelumnya (preseden). Selain itu, prinsip ini dapat menciptakan hukum baru yang dapat menjadi pegangan bagi hakim-hakim lain untuk menyelesaikan perkara sejenis. Artinya, dalam hal ini hakim berfungsi tidak hanya sebagai yang menetapkan dan menafsirkan peraturan-peraturan hukum saja. Dalam hal ini, hakim sangat berperan besar membentuk seluruh tata kehidupan masyarakat. Hakim mempunyai wewenang yang sangat luas untuk dapat menafsirkan peraturan hukum yang berlaku. Hakim dapat menjatuhkan putusan sesuai kebiasaan atau melaksanakan asas ini dengan sepenuhnya. Dengan kekuasaan hakim yang luas, maka hakim dapat membentuk hukum baru melalui penafsirannya. Hakim dapat membuat norma atau aturan berdasarkan detak keadilan masyarakat dengan yurisprudensinya.
Kedudukan juri dalam sistem ini menjadi sentral di dalam menegakan keadilan. Hal ini, karena keadilan yang sesungguhnya ada dan hidup itu berada di masyarakat. Sistem juri mempunyai kelebihan dibanding dengan sistem peradilan di Indonesia, dimana sistem ini lebih mengutamakan keterlibatan masyarakat sebagai unsur sosial yang berdaulat, serta membatasi kekuasaan dan ketergantungan pemerintahan yang dijalankan melalui hakim dan penuntut umum. Penggunaan juri berlaku dalam sistem berlaku baik perkara pidana maupun perdata. Juri dipilih dari komunitas warga masyarakat (tokoh-tokoh masyarakat setempat) dan bukan ahli hukum diharapkan originalitas dalam menjatuhkan putusan menjadi berlaku obyektif. Untuk itu, juri akan mempertimbangkan bukti dan kesaksian dalam menentukan pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian sementara hakim biasanya aturan untuk menggali pertanyaan-pertanyaan hukum.
Kontradiksi dengan yang terjadi di Indonesia, sebagai negara yang menganut Civil Law adalah sistem peradilannya. Potret buramkelembagaannya peradilan bukan isapan jempol, tetapi realitas telah terjadi. Kasus Basar Suyanto & Kholil yang divonis Pengadilan Negeri Kediri, Jawa Timur, pada tahun 2009 dengan hukuman 2 bulan 10 hari, karena mencuri sebuah semangka. Nenek Minah yang sudah tua dijatuhi hukuman 1 bulan penjaran dengan masa percobaan 3 bulan, karenai mencuri 3 buah kakao seharga Rp 2.000 milik PT Rumpun Sari Antan di Banyumas, Jawa Tengah. Nenek Asyani yang diduga mencuri 7 batang katu jati milik Perum Perhutani. Menurut wanita tua Situbondo, Jawa Timur tersebut, kayu jati itu dulunya ditebang almarhum suaminya dari lahan mereka sendiri yang kini telah dijual. Namun, Perhutani tetap mengatakan bahwa kayu jati itu berasal dari lahan milik mereka dan bersikeras memperkarakan ulah Nenek Asyani itu. Padai tahun 2009 lalu, seorang kakek berusia 76 tahun bernama Klijo dituduh mencuri setandan pisang yang apabila dijual hanya Rp 2.000 saja. Kasus ini bermula permintaan sekelompok anak untuk menebang pisang di pinggir jalan, maka warga yang mengetahui apa yang dilakukan Mbah Klijo tersebut langsung melaporkannya ke kepolisian. Kasus-kasus ini telah mempertontonkan bahwa vonis cenderung tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Hukum mudah menghukum rakyat kecil, tetapi tidak untuk para koruptor. Kasus korupsi yang melibatkan 41 dari 45 anggota DPRD Malang yang ditangkap KPK. Keseluruhannya diduga merima uang Rp 12,5 – Rp 50 juta dari Wali Kota Malang nonaktif Moch Anton, yang juga telah menjadi tersangka. Uang itu diduga diberikan Anton terkait pengesahan RAPBD-P kota Malang tahun 2015. Di Riau juga diuga bahwa tersangka Gubenur Zumi Zola telah menyuap 53 anggota DPRD (dengan istilah uang ketok palu) di dalam rangka pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Anggaran Belanja Tahun 2017 dan 2018. Korupsi yang telah terjadi menjadi berjamaah. Hasil penelitian Indonesia Corruption Watch (ICW) terhadap vonis kasus korupsi tahun 2017 dari tingkat pertama hingga ke kasasi dan peninjauan kembali (PK) mencatat rata-rata vonis pidana penjara hanya 2 tahun 2 bulan telah meneguhkan adanya keberpihakan pengadilan kepada kekuasaan dan uang, tetapi tidak untuk yang termarginalkan. Kondisi tidak berpihak yang lemah ini menjadi terjal dan tidak mudah untuk mendapatkan keadilannya.
Masalah tersebut di atas dapat ditelusuri peradilan yang tidak berkeadilan bermula dari sistem hukumnya itu sendiri. Pertama, mengendepankan kodifikasi menjadikan hukum tertulis. Kepolisian, jaksa dan hakim menjadikan hukum berkonotasi kepada undang-undang. Penegak hukum bagaikan mulutnya undang-undang. Apa yang telah ada di dalam tulisan atau teks undang-undang, maka itulah yang akan dijalankan dengan menggunakan kaca mata kuda. Keadilan diukurnya oleh teks yang mengaturnya dengan tanpa memahami lebih dalam makna dibalik yang diatur dan keadilan yang harus dikedepankan. Kedua, tidak dikenanya stare decisisberimplikasi kepada keadilan yang hadir lebih lama dan entah kapan. Hal ini berarti bahwa justice delayed is justice denied(keadilan yang datangnya terlambat, sama saja dengan ketidak adilan) adalah realitassistem hukum ini. Seharusnya pengadilan tidak harus mempermainkan waktu pencari keadilan di dalam mencari keadilannya. Ketiga, besarnya peranan dan kedudukan hakim dengan jumlah tiga orang membuka potensinya terjadinya penyalahgunaan jabatan. Apakah itu sogok, suap dan jual beli perkara sebagaimana yang terjadi saat ini. Jumlah yang hanya tiga hakim saja itu memudahkan pihak yang berpekara dengan kekuatan uangnya untuk mempengaruhi hakim yang akan menjatuhkan perkaranya. Berbeda hal dengan sistem Common Lawdimana juri pada umumnya terdiri lebih 10 orang, maka tidaklah mudah untuk mempengaruhi seluruhnya.
Dengan pemaparan kondisi sistem hukum ini, maka mendapatkan jalan untuk mencari pilihan keluarnya adalah dengan teori Hukum Progresif. Teori ini digagas Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, SH arti substansinya mengarah kepada kemajuan. Berhaluan kepada arah perbaikan keadaan saat ini teori ini pilihan alternatif terbaik untuk dapat memperbaiki keadaan dimana sistem peradilan yang ada lebih berpihak ke atas, tetapi tidak masyarakat bawah adalah realitas. Dalam arti merubah sistem yang berlaku tidak mungkin, tetapi dengan teori ini dapat dicarikan jalan keluarnya. Apakah teori hukum progresif itu ? Terdapat tiga pemahaman hukum progresif. Pertama, hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum. Artinya, hukum itu bukan menjadi titik sentranya, tetapi manusianya itu sendiri titik utamanya. Kedua, hukum progresif itu menolak mempertahankan status quo di dalam berhukum. Hukum itu tidak legalistik semata-mata, tetapi hukum itu dapat berubah apabila masyarakat menghendaki untuk merubahnya. Hal ini, karena hukum status quo dapat mengobarkan masyarakat. Ketiga, hukum progresif memfokuskan kepada perilaku manusia dalam berhukum. Hal itu dapat dilakukan dengan menjunjung tinggi moralitas sebagai akar kehidupan dalam masyarakat. Dengan ini, maka hukum dapat mengendalikan masyarakat dengan mengedepankan keadilan sebagai dasarnya.
Melalui hukum progresif, maka seharusnya perilaku koruptif di pengadilan tidak terus berkembang biak menjadi memburuk. Ide hukum progresif menjadi penting dan relefan di tengah maraknya mafia peradilan dan merosotnya kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga peradilan. Hukum selalu identikan dengan positivistik di pengadilan melalui teks yang tertulis dengan menihilkan peranan manusia, tetapi dalam realitasnya teks tidak dapat menjawab permasalahan telah menunjukkan hukum tidak dapat dipercaya dalam kehidupan sesungguhnya, termasuk lembaga peradilan. Di dalam pandangan ke depan hukum tertulis itu baru dalam tahap janji-janji saja, baru dapat menjadi hukum apabila dijalankan dengan sungguh, sepenuh hati dan dengan hati nurani dijalankan penegak hukum dan ditaati oleh masyarakat, maka hukum itu hidup dan di masyarakat. Gambaran terlihat di kelembagaan pengadilan sebagai bahan mempelajarinya. Pengadilan bersih, obyektif dan tidak berpihak menjatuhkan putusan, maka pencari keadilan mendapatkan keadilan yang diharapkan. Sebaliknya, pengadilan yang koruptif keadilan akan sulit memperoleh keadilannya. Kesemuanya bermuara kepada pilihan sistem hukum yang berlaku di negaranya, namun betatapun sistem dan peradilan tidak baik, maka menggunakan teori hukum progresif adalah solusi untuk mendeteksi permasalahan dan yang kemudian untuk dapat mengobati lebih dalam luka yang ada dengan berpedoman kepada teori hukum progresif.
LITERATUR
- Munir Fuady, Perbandingan Ilmu Hukum, Refika Aditama, Bandung, 2007.
- Ade Maman Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Rajawali Press, Jakarta, 2004.
- Denny Indrayana, Negeri Para Mafioso (Hukum di Sarang Koruptor), Kompas, Jakarta, 2008.
- Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim (Berbasis Nilai-nilai Hukum dan Masyarakat dan Rasa Keadilan Yang Hidup di Masyarakat), Kencana, Jakarta, 2018.
- Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Progresif, Kompas, Jakarta, 2014.
- Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2011.
- https://news.detik.com/berita/4003096/riset-icw-vonis-koruptor-rata-rata-2-tahun, diakses pada tanggal 8 September 2018.
Published at :