PERSPEKTIF AKSIOLOGIS HUKUM POSITIF PPHI BERBASIS KEADILAN & KEMANFAATAN SERTA KEPASTIAN HUKUM
Oleh IRON SARIRA (Desember 2018)
Dimensi aksiologis menekankan bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya. Pemenuhan kepentingan tersebut merekatkan kepada pemahaman bahwa ada tidaknya kebebasan dalam kehendak manusia tersebut.[1]Terhadap ke tiga aspek dalam dimensi aksiologis, yakni idealisme-etis, deontologisme-etis, dan teleologisme-etis, maka dapat dijelaskan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang menyentuh aspek-aspek pergerakan yang besar atau luas, yang dimaksudkan memiliki eksistensinya terhadap aspek-aspek yang sangat intuisi tidak hanya empiris, namun sudah dipastikan memiliki kewajiban untuk ditaati secara fisik.[2]
Pemahaman terhadap kajian di atas dalam melihat hukum dari segi nilai-nilai termasuk dalam hal ini adalah hukum adat yang merupakan produk sistem budaya. Namun, tetap perlu diakui bahwa dalam konteks keindonesiaan dewasa ini, pengembanan hukum praktis dalam pembentukan hukum menuju ke arah pembangunan (pembinaan) sistem hukum nasional di Indonesia tidak mungkin sepenuhnya bertumpu kepada hukum adat,[3]walau tetap bahwa falsafah ketimuran sebagaimana yang disampaikan oleh Stevensonmemiliki ciri-ciri dan karakteristiknya.[4]
Berlandaskan pembentukannya, hukum mengambil nilai-nilainya dari sistem budaya serta mendapatkan energinya dari pengaruh sistem politik. Manakala hubungan sibernetis sistem hukum PPHI dengan sistem lainnya ini dikondisikan terhadap model ideal dalam konteks keindonesiaan yang terejawantahkan dalam nilai-nilai lokal suatu masyarakat daerah, maka tahap pertamadari pencapaian tujuan tersebut akan terkaji melalui analisis norma PPHI terhadap idealisme-etis (aspek keadilan – gerechttigkeit) dan teleologisme-etis (aspek kemanfaatan – zweckmäβigkeit). Pola penalarannya sebagai berikut:
Tahap keduadari pencapaian tujuan tersebut terkaji melalui analisis norma PPHI terhadap deontologisme-etis (kepastian – rechssicherheit). Pola penalarannya dikonstelasikan sebagai berikut:
Aksiologi terhadap naratif dan gambar di atas, sekiranya akan ditutup dengan penjelasan bahwa tindakan manusia adalah fungsi dari kepentingannya, the end toward which men strive in life is happiness.Adagium ini merupakan salah satu kepentingan dalam kehidupan sebagaimana yang disampaikan oleh Aristoteles.[5]Manakala tindakan ini dilatarbelakangi oleh motivasi (kehendak), maka seberapa besar kebebasan manusia dalam kehendak tersebut. Manusia mampu melakukan penalaran yang diartikan sebagai mencari pengetahuan berlandaskan kehendak bebas, sebab dengan kehendak bebas (free will) terdapat pertanggungjawaban secara baik-buruknya tindakan manusia yang didasari dari kehendak (motivasi) tersebut terhadap moral dan hukum dapat dijadikan ukuran suatu pertanggungjawaban.
[1] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, 2013, hal. 73.
[2] Ke tiga aspek aksiologis di atas pernah diujikan melalui pertanyaan kepada para Hakim Ad-hoc PHI disela-sela acara Lokakarya yang diselenggarakan oleh TURC (Trade Union Reight Centre) di Jakarta, 7-9 September 2018, dengan mengambil topik “Penguatan Filsafat Hukum Bagi Ad-hoc Demi Terwujudnya Pengadilan Hubungan Industrial yang Berkeadilan.” Adapun pertanyaan utama yang diajukan adalah:
- Kesulitan apa yang selama ini dialami dalam penerapan UUPPHI?
- UUPPHI seperti apa yang diharapkan dapat mewujudkan Hubungan Industrial yang berkeadilan?
Para narasumber yang memberikan pandangannya adalah perwakilan Hakim Ad-hoc dari Provinsi Aceh, Provinsi KalBar – Pontianak, dan Provinsi SulSel – Makassar, yang secara garis besar menaruh harapan terhadap PPHI yang memiliki kepastian dalam prosesnya dan jangan ada kondisi formalitas, serta diharapkan bahwa tujuan dari PPHI yakni menciptakan peradilan yang tertutup, cepat, dan murah perlu dikuatkan dari sisi substansi terhadap kewenangan pihak-pihak yang memilikinya baik di tingkat tripartit maupun di litigasi (Pengadilan HI). Para narasumber juga sangat mendukung manakala disampaikan terkait hukum dalam konteks ideal keindonesiaan dengan hukum tidak hanya memperhatikan aspek kewajiban untuk ditaati secara fisik dan aspek empirisnya, namun perlu juga memperhatikan hal-hal terkait intuisi yang membawa nilai-nilai yang mampu memberikan wujud keseimbangan di antara para pihak yang berselisih. Selain itu, pada substansi penyampaian terkait Garis Tiga Konsep dalam tinjauan efektifitas dan efisiensi pada penyelesaian perselisihan, yang disampaikan bahwa secara teoretis wilayah Musyawarah (2) dan Penengahan (3) memiliki daerah arsir terbesar yang diartikan sebagai memiliki kemungkinan terbesar terjadinya aspek perdamaian, serta wilayah Penundukan (1) dan Intervensi Hakim (4) adalah tetap memiliki potensi perdamaian, mereka (para hakim Ad-hoc) memiliki pandangan yang sama dengan Garis Tiga Konsep tersebut dengan dasar pertimbangan mereka adalah tujuan dari PPHI dalam menciptakan hubungan industrial yang dinamis, harmonis, dan berkeadilan. Selain terhadap hal-hal yang disampaikan di atas tersebut, para perwakilan Hakim Ad-hoc PHI juga menyampaikan harapan untuk kedepannya bahwa jenis-jenis PHI tersebut cukup saja dibagi ke dalam adanya Perselisihan Hak dan Kepentingan, serta Perselisihan PHK yang kesemuannya dapat incracht pada tingkat pertama. Terkait harapan mereka ini, penyebutan yang sama juga disampaikan oleh Agusmidah (Dosen Hukum Ketenagakerjaan USU, Medan) dalam acara Simposium Hukum Ketenagakerjaan ke II, di UNPAR – Bandung, Juli 2018. Satu hal yang perlu disampaikan terkait kesulitan dalam proses PPHI adalah tidak adanya kesadaran dari para pihak sejak permasalahan muncul hingga upaya musyawarah mufakat di sampaikan pada tingkat tripartit dan litigasi, sehingga perlu sekiranya disampaikan bahwa sepakat dalam perjanjian sebagaimana KUH Perdata berdasarkan Pasal 1320 dan 1338 menjadi memiliki konsekuensi yang lebih tinggi lagi. Aspek penguatan filsafat menjadi penting menurut para narasumber.
[3] Shidarta, Hukum Penalaran dan Penalaran Hukum, Op.Cit., hal. 413.
[4] Jay Stevenson, dalam Ibid., hal. 412.
“One of the most significant features that distinguishes Eastern from Western thought is the idea that reality is harmonious and unified and that all things are interrelated. This wholeness has important implications for the nature and purpose or Eastern philopshy. Unlike Wester thinking, Eastern thought tend not to place itself outside of wherever it is thinking about. After all how can you stand outside of all that exists? Instead, it tends to accept verbal formulations as only partial truths and to recognize and work within the limits of human understanding.
Anything people can say, in other words, it at best only part of the story and, at worst, a false lead on the way to wisdom. In keep with this attitude, Eastern philosophy is often elusive. What is true under one set of circumstances is no longer true in new situations. Mpre often that not, dogmatic statements are misleading.
Knowledge can not be reduced into words but is a state of mind and an approach to life. The teaching of philosophy can guide, but ultimatedly, the truth must be experienced and practiced to hold any validity.”
[5] Aristoteles, “Nicomachean Ethics”, dalam Aristoteles, On Man in the Universe, terjemahan James E.C. Welldon (New York: Walter J. Black, 1943). Ibid., hlm. 73.
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...