PEMAHAMAN KEARIFAN LOKAL MELALUI KAJIAN ANTROPOLOGI HUKUM
Oleh IRON SARIRA (Desember 2018)
Konsepkearifan lokal (local wisdom, local genius)pertama kali disebutkan oleh Quaritch Wales(1948-1949), adapun pemahaman konsep ini yang paling mendekati adalah hukum yang berlaku atau hidup dalam masyarakat (the living law), nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, hukum tidak tertulis, hukum kebiasaan.[1]Selain itu, pandangan serupa dari Ajip Rosidi yang mengartikan istilah local geniusini dengan mengambil pendapat dari QW sebagai “kemampuan kebudayaan setempat dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan tersebut berhubungan.” Oleh karenanya, nilai-nilai lokal setempat dapat dijelaskan sebagai wujud dari suatu kepribadian setempat, identitas kultural masyarakat setempat berupa nilai, Norma, moral dan etika, kepercayaan, adat istiadat, dan aturan khusus (kebijakan) yang telah teruji kemampuannya sehingga dapat bertahan secara turun temurun sebagai suatu aktualisasi sikap dan tingkah laku masyarakat setempat dalam berinteraksi dengan penuh rasa kearifan.[2]Nilai-nilai ini sekiranya dapat diakomodasi sebagai aturan atau kebijakan yang dapat diberlakukan sebagai Norma hukum positif melalui proses konkretisasi, karena dianggap memiliki kemampuan untuk bertahan dan berinteraksi terhadap perubahan yang terjadi.[3]
Nilai kearifan lokal (NKL) di Indonesia tidak terlepas dari pemahaman tentang Masyarakat Hukum Adat[4], yakni suatu kajian tentang kehidupan masyarakat hukum yang tunduk kepada prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang, yang memiliki suatu karakteristik kedaerahan yang merubahnilai-nilai kehidupan masyarakat dalam kehidupan bersama.Keberadaan nilai-nilai lokal masyarakat tersebut sudah ada jauh sebelum hukum tertulis (the written law) ada, sebagai sistem nilai budaya atau adat yang merupakan abstraksi tertinggi dari hukum yang hidup dan diterima dalam suatu masyarakat. Hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat menganai hal-hal yang harus dianggap sangat bernilai dalam hidup oleh masyarakat.[5]Pentingnya membawa NKL sebagai suatu pendekatan yang lazim ada dalam kebudayaan suatu daerah sebagai suatu konsep tentu didasarkan kepada unsur-unsur kebudayaan tersebut yang bisa ditemukan di semua kebudayaan dunia baik yang hidup pada masyarakat pedesaan yang kecil terpencil maupun dalam masyarakat perkotaan yang besar dan kompleks.[6]Persinggungan wujud-wujud kebudayaan tersebut sebagai sistem nilai budaya sebenarnya menjadi topik atau pola pengaturan terhadap hasil karya manusia, yang salah satunya adalah memiliki sub-sub unsur dalam hukum.[7]Local wisdomdalam beberapa pendefinisiannya yang dapat diangkat dalam pendalaman karakteristiknya, disebutkan beberapanya sebagai berikut:
“Traditional knowledge practices and traditional value patterns in relation to ecology and human life, to preserve and make avail of indigenous wisdom”
“Berbagai nilai yang diciptakan, dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup mereka.”
“The concept of community culture was developed through local community leaders to the agricultural production by using culture to run the production process, which is based on the concept of self-sufficiency and self-reliance.”
“Gagasan-gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanaman dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.”
“Gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.”
“Koleksi gagasan dan asumsi yang digunakan untuk memandu, mengendalikan dan menjelaskan tindakan dalam suatu pengaturan yang spesifik berdasarkan pada sistem nilai dan epistemologi.”
Berdasarkan pendapat di atas, maka kearifan lola dapat disimpulkan:
“Gagasan kebaikan yang terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat suatu daerah yang diwujudkan sebagai indentitas budaya yang unik dan memiliki daya tahan dalam berhadapan dengan pengaruh eksternal. Kearifan lokal harus mengandung nilai-nilai moral yang dijunjung tinggi oleh masyarakat itu sendiri. Itulah sebabnya kearifan lokal ini bisa berkesinambungan, dijaga dan dipelihara dalam perjalanan kehidupan masyarakat setempat.”
Antropologi hukum menyorot kekhususan peninjauan hukum sebagai aspek dari kebudayaan. Nilai-nilai budaya sebagai peradaban manusia menjadi sesuatu yang harus dijunjung tinggi, karena kebudayaan dikatakan oleh Clyde Kluckhohn adalah:[8]
“A culture is an historically created system of explicit and implicit design for living, which tends to be shared by all of specially designated members of a group at a specific point in time”.
Kebudayaan manusia memiliki peran dalam menentukan nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi dalam mengatur serta menetapkan cara hidup dan berinteraksi masyarakat, sehingga pengaturannya perlu dilestarikan, dan salah satu cara untuk mendorong para anggota masyarakat supaya melestarikan kebudayaan tersebut adalah hukum.[9]Hal lain dikatakan terkait kebudayaan oleh C.A van Peursen adalah endapan dari kegiatan dan karya manusia.[10]Sehingga, dengan kajian terhadap kearifan lokal terkait definisi dan pemahamannya, serta antropologi dalam perspektif yang menyoroti hukumnya, maka kearifan lokal yang merupakan nilai terhadap ide atau gagasan-gagasan manusia dalam mempertahankan keluhuran budayanya, merupakan the living law yang menjadi kebiasaan masyarakat yang dipertahankan dan terus diyakini.
Reference
[1] Lilik Mulyadi, Kearifan Lokal Hukum Pidana Adat Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori, Praktik dan Prosedurnya, Varia Peradilan, Majalah Hukum Tahun, XXVI, No. 303, Februari, 2011, hlm. 66.
[2] Ajip Rosidi, Kearifan Lokal Dalam Perspektif Budaya Sunda, Kiblat Buku Utama, Bandung, Desember, 2011, hlm. 29.
[3] Ade Saptomo, Hukum dan Kearifan Lokal, Grasindo, Jakarta, 2010, hlm. 29.
[4] Kurnia Warman, Peta Perundang-undangan tentang Pengakuan Hak Masyarakat Hukum Adat, hlm. 2 (Pasal 18B ayat 2). Dapat diakses dalam http://procurement-notices.undp.org/view_file.cfm?doc_id=39284
[5] Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2015, hlm. 27.
Lebih jauh dijelaskanbahwa sistem nilai budaya atau adat merupakan ejawantah dari wujud-wujud kebudayaan sebagaiSuatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma peraturan dan sebagainya (wujud ideal);dan, Suatu kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat (sistem sosial);serta, Benda-benda hasil karya manusia (kebudayaan fisik).
[6] Ibid., hlm. 2 – 3.
Unsur-unsur kebudayaan yang universal tersebut secara urutannya memiliki tingkata dari kesukarannya dalam perubahan hingga sampai pada tingkat yang mudah dalam perubahannya, dengan urutan sebagai berikut: (1). Sistem religi dan upacara keagamaan; (2). Sistem dan organisasi masyarakat; (3). Sistem pengetahuan; (4). Bahasa; (5). Kesenian; (6). Sistem mata pencaharian hidup; (7). Sistem teknologi dan peralatan.
[7] Ibid., hlm. 3.
[8] Clyde Kluckhohn, The Study of Culture, seperti yang dikutip dalam buku Antropologi dan Hukum, T.O Ihromi (ed.), Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, November 2000, Cet. 3, hlm. 4.
[9] T.O Ihromi, Ibid., hlm. 4, paragraf 1 (phrase akhir).
[10] C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, Kanisius, Yogyakarta, 1988, hlm. 9.
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...