MENINJAU PEMETAAN KEKUATAN DARI KEBERLAKUAN SOSIOLOGIS HUKUM POSITIF PPHI
Oleh IRON SARIRA (Desember 2018)
Menyoroti masalah terjadinya perselisihan dalam ranah hubungan industrial maka objek yang sekiranya perlu dijadikan sorotan adalah “realitas” dari perselisihan hubungan industrial itu sendiri yang menjadi pilihan untuk dilakukan agar mempertajam model penalaran hukum terhadap konsep ide dan materi secara sekaligus. Pertanyaan yang muncul sebagai realitas menjadi perlu dijawab dengan melihat hukum positif ketenagakerjaan (hubungan kerja) yang dalam hal ini perselisihan hubungan industrial menjadi bagian yang dibicarakan.[1]Pandangan dualismeantara sosiologis dan positivistik tidak sekedar melihat hukum sebagai suatu konsep materi semata, melainkan memiliki keberfungsian mengalirkan materi tersebut kepada sumber bahwa hukum tidak sekedar menjadi produk (materi) politik, tetapi juga sebagai sumbangsih ide dari kebudayaan manusia.[2]Plato (427-347 SM) adalah orang yang dipandang berjasa dalam pengemukaan pandangan dualismeini. Istilah dualismeini lahir pada sekitar tahun 1700 oleh Thomas Hydeyang merujuk kepada adanya konflik kebaikan melawan kejahatan yang merupakan suatu kondisi “ada” (realitas) terhadap dua sumbernya sekaligus, yakni materi dan rohani (ide).[3]
Penalaran terhadap aspek sosiologis adalah mempersoalkan apa yang merupakan hakikat dari realitas. Suatu keadaan yang tak berkesudahan terkait pertanyaan atas realitas apa suatu perselisihan dalam hubungan industrial. Hal ini menjadi penting untuk selalu disadari melalui pertanyaan-pertanyaan seperti di atas, karena norma positif tentang PPHI telah mengatur mengenai jenis-jenis perselisihan hubungan industrial ke dalam empat jenis perselisihan sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 2 huruf a-d. Namun, selain perlunya disadari perihal realitas pertanyaan di atas, maka perlu juga kiranya para pemikir-pemikir hukum memberikan kajian berupa pendekatan terkait hakikat realitas menurut aliran dualismeyang membawa kedua unsur tersebut secara bersamaan, yakni ide (gagasan) dan meteri.
Pemetaan terkait konsep dualismeyang secara filsafat memiliki padanan dengan konsep idealismedan konsep materialisme. Ide tercermin dalam karya, dan materi tercermin dalam produk dari karya tersebut, sehingga hakikat dari perselisihan hubungan industrial tersebut dalam penalaran hukum pada aspek ontologis dapat dijelaskan sebagaimana gambar di bawah ini:
Jenis perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang diangkat dalam tulisan singkat ini, yakni mengerucut kepada jenis perselisihan hak dan perselisihan kepentingan, sekiranya dapat diposisikan ke dalam dimensi idealismeuntuk perselisihan kepentingan (ide, gagasan, pemikiran) dan ke dalam dimensi materialisme untuk perselisihan hak (materi).
Norma positif perselisihan hubungan industrial sebagai yang dijelaskan pada dimensi dualismeperlu melihat realitas jenis-jenis perselisihan yang terjadi sehingga dapat dicapai penegakan hukum.[4]Dimensi ini harus mampu memberikan pertanggungjawabannya sebagai suatu norma positif yang ada untuk menjawab permasalahan dalam perselisihan hak (materi) dan perselisihan kepentingan (ide) secara bersama (linear) sebagaimana yang diragakan pada Gambar di atas. Pergerakan sumbu pada dimensi dualismeke arah dimensi materialismebersamaan dengan adanya pergerakan ke arah dimensi idealisme. Hal ini dapat diartikan sebagai wujud pertanggungjawaban ontologis dalam norma positif yang mengatur tentang perselisihan hubungan industrial untuk dapat menyelesaikan atau mewujudkan perdamaian terhadap jenis perselisihan hak yang dijelaskan pada sumbu materialismedan perselisihan kepentingan yang dijelaskan pada sumbu idealisme.
Referensi
[1] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan, Djambatan, Jakarta, 1999, Cet. 12 (edisi revisi), hlm. 132-134.
[2] Shidarta, Op.Cit., hlm. 60.
[3] Shidarta menjelaskan dalam bukunya pada halaman 58 paragraf ke 5 bahwa rohani (spiritual) adalah suatu dunia ide. Hal ini menjadi yang utama menurut pandangan idealismebahwa ide lebih hakiki dibandingkan dengan materi, karena materi hanyalah penjelmaan dari ide.
[4] Sudikno Mertokusumo, Op.Cit., hlm. 160.
Disebutkanbahwa dalam konteks menegakkan hukum terdapat 3 (tiga) unsur yang selalu harus diperhatikan, yakni: kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan (zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit).
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...