ANALISA PUTUSAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN HUTAN
Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2018)
Kasus Posisi
Tulisan ini merupakan pembahasan atas sebuah putusan Nomor 129/Pid.B/LH/2017/PN Lbb. Dalam putusan ini, kasus posisi dapat digambarkan sebagai berikut: Pada tanggal 21 September 2017 Agusri Masnefi datang ke rumah Erdi untuk memintanya melakukan penebangan 2 batang pohon milik adat dari keluarga isterinya. Dalam penebangan ini Erdi telah melengkapinya dengan surat dari ketua Wali Nagari dan Wali Jorong yang isinya memberikan izin untuk menebang kayu di tanah ulayat isteri Agusri Masnefi yang terletak di Jorong Muko, Kenagarian Tanjung Sani Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam. Untuk melakukan penebangan tersebut Agusri Masnefi membayar upah sebesar Rp. 900.000 dan Erdi menyetujuinya.
Pada tanggal 22 September 201, Agusri dan Erdi memasuki kawasan dengan membawa alat pemotong kayu (chainsaw) lalu memilih kayu yang akan ditebang. Lalu tidak lama kemudian proses penebanngan dilakukan. Tidak lama kemudian datang petugas gabungan Polres Agam dan Dians Kehutanan Kabupaten Agam.
Dakwaan
Jaksa mendakwa terdakwa dengan jenis dakwaan kombinasi yaitu :
Dakwaan Pertama :
- Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 33 ayat (1) Jo Pasal 40 ayat (1) UU No. 05 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, ATAU
- Pasal 12 huruf b Jo Pasal 82 ayat (1) huruf b UU No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutab Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, DAN
Dakwaan Kedua
- Pasal 12 huruf f juncto Pasal 84 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP, ATAU
Dakwaan Ketiga
- Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayar (1) Ke-1 KUHP, DAN
- Pasal 84 ayat (3) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Aya (1) ke-1 KUHP, ATAU
Dakwaan Keempat
- Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP
Tuntutan
Menuntut para terdakwa terbukti secara syah dan meyakinan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP dan menjatuhkan pidana masing-masing 10 bulan dikurangi masa tahanan dan pidana denda masing-masing Rp. 500.000 dan subsidari 1 (satu) bulan kurungan
Pertimbangan Hakim
Hakim memilih dakwaan alternatif ke empat sebagaimana diatur dalam Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 tahun 2013 Jo Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut :
- Setiap orang
- Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan pejabat yang berwenang
- Yang dilakukan oleh orang perseorangan yang bertempat tinggal di dalam dan atau di sekitar hutan
- Yang melakukan, yang menyuruh melakukan yang turut serta melakukan
- Subjek Hukum
Dalam pertimbangan hakim, majelis menyatakan bahwa unsur “barang siapa” mengacu pada setiap orang dengan merujuk pada yurisprudensi dan doktrin yang menyebutkan bahwa setiap orang dapat dimaknai sebagai subjek pelaku tindak pidana. Pendapat ahli yang dikutip diantaranya Simons, Vos, Pompe dan Hazewingkel Suringa yang menyatakan bahwa subjek tindak pidana adalah manusia (naturlijk personen).
Majelis juga memberikan tafsir “setiap orang” dalam Pasal 1 butir 21 UU No. 18/2013 yaitu orang perseorangan/korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah Indonesia. Majelis juga berpendapat bahwa subjek hukum yang dimaksud dalam perkara ini adalah orang perseorangan yang telah diajukan ke persidangan sebagai terdakwa oleh Penuntut Umum yaitu Erdi dan Agusri Masnefi yang melakukan penebnagan pohon dalam kawasan hutan.
- Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang
Erdi menebang dua pohon di atas tanah ulayat isteri Agusri Masnefi yang dimiliki secara turun temurun. Erdi tidak mengetahui apakah lokasi kedua batang pohon tersebut terletak di tanah ulayat atau di atas hutan Cagar Alam Maninjau. Namun dari keterangan saksi-saksi, tanah tersebut terletak di tanah ulayat dan ada juga saksi yang menyatakan tidak tahu da ada saksi yang menyatakan lokasi penebangan pohon ada di atas tanah Cagar Alam.
- Yang dilakukan oleh orang per seorangan yang bertempat tinggal dalamdan atau di sekitar hutan
Para terdakwa bertempat tinggal di Jorong Mungko-Mungko, Nagari Koto Malintang Kecamatan Tanjung Raya, Kabupaten Agam yang merupakan satu wilayah dengan tempat kejadian perkara yaitu Labuah Usang Jorong Muko Muko Kenagarian Koto Malintan Kecamatan Tanjung Raya Kabupaten Agam, sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa para terdakwa melakukan penebanngan pohon di wilayah Cagar Alam Maninjau yang telah ditetapkan oleh pemerintah.
- Yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan.
Dalam pertimbangan hakim yang dikatakan turut melakukan adalah bersama-sama melakukan yaitu sedikit-dikitnya dua orang yang melakukan dan yang turut serta melakukan.
Analisa Pertimbangan Hakim dan Putusan Pengadilan
- Tafsir Subjek Delik “Setiap Orang”
UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan atau sering disebut dengan UU P3H merupakan undang-undang pidana khusus, yang dimaksudkan untuk memberantas kejahatan hutan terorganisir dan kejahatan hutan yang dilakukan oleh korporasi, undang-undang ini tidak dimaksudkan untuk mengkriminalkan petani kecil yang tinggal dan bermukim di dalam atau disekitar hutan untuk berkebun. Argumentasi ini dapat dilihat dari Penjelasan Umum UU ini :
“Akhir-akhir ini perusakan hutan semakin meluas dan kompleks. Perusakan itu terjadi tidak hanya di hutan produksi, tetapi juga telah merambah ke hutan lindung ataupun hutan konservasi. Perusakan hutan telah berkembang menjadi suatu tindak pidana kejahatan yang berdampak luar biasa dan terorganisasi serta melibatkan banyak pihak, baik nasional maupun internasional. Kerusakan yang ditimbulkan telah mencapai tingkat yang sangat mengkahwatirkn bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara. Oleh karena itu, penanganan perusakan hutan dilakukan secara luar biasa.”
Dalam penjelasan umum jelas dan nyata, bahwa tindak pidana kehutanan yang dimaksudkan dalam undang-undang ini dilakukan oleh sindikasi kehutanan, dimana undang-undang sebelumnya dinilai masih belum mampu mengatasi kejahatan kehutanan yang berlangsung luar biasa dan sistemik. Dengan demikian, undang-undang ini akan menemukan dan mempidana pelaku-pelaku kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Jadi subjek hukum undang-undang ini adalah pembalak liar yang memiiki koneksi dengan sindikat kejahatan, pelaku kejahatan yang terorganisir, yang bahkan lintas negara, dan bukan ditujukan kepada pelaku-pelaku yang tidak terorganisir, tidak terlibat dalam sindikasi. Untuk tindak pidana kehutanan dalam skala yang lebih kecil dapat merujuk pada undang-undang kehutanan (UU No. 41/1999).
Bukti otentik lainnya terkait dengan argumentasi ini dapat dilihat dari konsideran UU P3H :
“d. bahwa perusakan hutan, terutama berupa pembalakan liar, penambangan tanpa izin, dan perkebunan tanpa izin telah menimbulkan kerugian negara, kerusakan kehidupan sosial budaya dan lingkungan hidup, serta meningkatkan pemanansan global yang telah menjadi isu nasional, regional dan internasional;
- bahwa perusakan hutan sudah menjadi kejahatan yang berdampak luar biasa, terorganisasi dan lintas negara yang dilakukan dengan modus operandi yang canggih, telah mengancam kelangsungan kehidupan masyarakat sehingga dalam rangka pencegahann dan pemberanansa perusakan hutan yang efektif dan pemberian efek jera diperlukan landasan hukum yang kuat dan mampu menjamin efektivitas penegakan hukum;
- bahwa peraturan perundang-undangan yang ada sampai saat ini tidak memadai dan belum mampu menangani pemberantasan secara efektif terhadap perusakan hutan yang terorganisasi;”
Kutipan di atas memperkuat argumentasi, bahwa hanya subjek hukum korporasi dan perseorangan yang terorganisasi saja yang menggunakan undang-undang ini, sehingga sejak awal penyidik harus bisa memastikan bahwa ketika akan menggunakan undang-undang ini, telah ada bukti permulaan yang cukup tentang pelaku kejahatan yang terorganisasi ini yang diduga melakukan tindak pidana perusakan hutan. Jika bukan subjek hukum yang terorganisasi maka sebaiknya gunakan undang-undang kehutanan. Terkait dengan subjek hukum yang terorganisasi ini dapat dilihat dari Pasal 1 angka 21 yang berbunyi :
“Setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara terorganisasi di wilayah hukum Indonesia dan/atau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia”
Undang-Undang P3H, juga memberikan tafsir yang otentik terhadap kata-kata terorganisasi yaitu sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 angka 6 yang bunyi lengkapnya sebagai berikut :
“Terorganisasi adalah kegiatan yang dilakukan oleh suatu kelompok yang terstruktur, yang terdiri dari 2 (dua) orang atau lebih, dan yang bertindak secara bersama-sama pada waktu tertentu dengan tujuan melakukan perusakan hutan, tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”
Dengan demikian jelas bahwa tindak pidana kehutanan yang tidak terorganisir tidak bisa menggunakan undang-undang ini, termasuk tindak pidana yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tinggal di sekitar hutan/perladangan tradisional yang mengambil manfaat hutan untuk keperluan hidup. Para petani tradisional yang tinggal di sekitar hutan atau bahkan di dalam hutan yang memanfaatkan hutan untuk hidup memiliki kekebalan (imunitas) atas undang-undang ini, dan tidak dapat dijadikan subjek delik.
Oleh karena itu, subjek hukum yang dituntut dalam perkara ini yaitu Erdi dan Agusri Masnefi tidak tepat yang menyimpang dari norma yang diatur dalam UU P3H karena Erdi dan Agustri Masnefi bukanlah perseorangan yang melakukan kejahatan terorganisasi sebagaimana diatur dalam pasal-pasal yang disebutkan di atas. Analisa ini sejalan dengan Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns dan Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw.
Dalam Putusan Pengadilan Negeri Watansopeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns Terdakwa yaitu Jamadi yang dituntut melakukan penebangan pohon dalam Kawasan Hutan tanpa izin dan melanggar Pasal 12 huruf b Jo Pasal 82 ayat (1) huruf a UU No. 18 Tahun 2013. Jamadi dalam pembelaannya mengatakan bahwa hutan tersebut merupkan milik nenek moyangnya yang turun temurun.
Dalam pertimbangannya, majelis hakim tidak sependapat dengan Jaksa Penuntut Umum dan membebaskan terdakwa. Satu-satunya pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti secara syah dan meyakinkan adalah mengenai tidak terpenuhinya unsur “setiap orang” sebagaimana didakwakan JPU kepada terdakwa. Menurut Majelis Hakim pengertian “setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 memiliki pengertian yang bersifat khusus (specialis) yang berbeda dengan pengertiana “setiap orang” pada ketentuan peraturan perundang-undangan pada umumnya. Pengertian “setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 harus merujuk pada Pasal 1 angka 21 yaitu orang perseorangan dan atau korporasi yang melakukan perbuatan perusakan hutan secara “teroganisasi” di Wilayah Hukum Indonesia dana tau berakibat hukum di wilayah hukum Indonesia (PutusanPengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns).Majelis hakim memaknai kejahatan terorganisasi dengan merujuk pada pengertian terorganisasi sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6. Lalu Majelis Hakim mengkaitkan dengan terdakwa yang dihadirkan dalam persidangan, dimana terdakwa dihadirkan secara pribadi dan bukan atas nama suatu perkumpulan, perusahaan ataupun organisasi, dengan demikian terdakwa dihadirkan secara orang perseorangan dan bukan korporasi. Lalu Majelis juga mengkaitkan dengan cara-cara yang dilakukan oleh terdakwa dalam menebang pohon di hutan, yaitu dilakukan seorang diri, tidak melibatkan kelompok tertentu, digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sendiri dan bukan untuk dikomersialisasikan, berdasarkan hal tersebut maka perbuatan terdakwa tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang terorganisasi atau terstruktur. Oleh karena itu, unsur secara teroganisasi tidak terpenuhi (Putusan Pengadilan Negeri Watansoppeng Nomor 9/Pid.Sus/2018/PN Wns).
Sementara itu dalam Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw, dimana seorang terdakwa yaitu Satumin dituntut melanggar Pasal 92 ayat (1) huruf a Jo Pasal 17 ayat (2) huruf b UU RI No. 18 Tahun 2013 yaitu “dengan sengaja melakukan kegiatan perkebunan tanpa Izin Menteri di dalam kawasan hutan” dan menjatuhkan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 2 (dua) bulan dan denda sebesar Rp. 1.500.000.000 (satu milyar lima ratus juta rupiah) subsidair 4 (empat) bulan kurungan dipotong selama terdakwa ditahan.
Satumin didakwa karena menanam pohon antara lain durian, alpokat dan jengkol. Lalu menanam kopi dan jahe kawasan pinggiran hutan lindung di Kecamatan Songgon Kabupaten Banyuwangi. Pendapatan terdakwa dari menanam di hutan lebih kurang 430.000 yang digunakan untuk keperluan hidup sehari-hari.
Majelis hakim membebaskan terdakwa dari semua dakwaan JPU dan menyatakan bahwa perbuatan terdakwa tidak terbukti secara syah dan meyakinkan. Salah satu pertimbangan majelis hakim adalah terkait dengan tidak terpenuhinya unsur “orang perorangan” dalam semua dakwaan JPU (Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw). Dalam pertimbangannya Majelis menemukan fakta bahwa tanaman yang ditanam di hutan adalah dilakukan oleh terdakwa sendiri tanpa ada yang menyuruh dan merupakan inisiatif terdakwa sendiri yang hasilnya digunakan untuk menambah pendapatan terdakwa sendiri dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari keluarganya. Dengan demikian perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa tidak dilakukan secara terstruktur dan terorganisasi (Putusan Pengadilan Negeri Banyuwangi Nomor 516/Pid.B/LH/2018/PN Byw).
Dari uraian yang disebutkan di atas dan jika dikaitkan dengan dua putusan pengadilan yang dijadikan rujukan maka tafsir “setiap orang” yang dilakukan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Lubuk Basung dalam putusan No. 129/Pid.B/LH/2017/PN Lbb adalah keliru. Majelis Hakim tidak menggunakan tafsir otentik dari unsur “setiap orang” sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun 2013. “Setiap orang” dalam UU No. 18 Tahun 2013 harus diartikan sebagai “korporasi” dan/atau “kelompok kejahatan” terorganisasi yang terdiri dari dua orang atau lebih, dilakukan secara terstruktur, sistematis, untuk komersialisasi dan tidak bermukim di dalam atau di sekitar hutan. Jika salah satu unsur dari “setiap orang” terpenuhi maka subjek delik yang didakwakan tidak tepat. Inilah kekhususan (specialis) dariUU No. 18 Tahun 2013 ini dibandingkan dengan undang-undang lainnya. Asas lex specialis derogatelegegeneralis harus diterapkan dalam kasus ini, termasuk penentuan subjek hukum.
Asas lex specialis derogat lege generalisdiatur dalam dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP yang menyatakan bahwa jika suatu perbuatan, yang masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang dikenakan. Pasal ini digunakan sebagai filter dalam menentukan validitas keberlakuan suatu peraturan ketika aturan tersebut diatur dalam dua undang-undang yang berbeda dengan kadar aturan yang berbeda atau mungkin kadar sanksi yang berbeda pula, maka dipilihlah aturan yang khusus sebagai aturan yang valid. Dengan kata lain, aturan yang bersifat umum tidak memiliki validitylagi untuk diterapkan.
Menurut Hart, asas ini mengatur tentang pembatasan kewenangan aparat penegak hukum dalam menentukan hukum mana yang berlaku dan diterapkan. Dengan kata lain memberikan batasan atas tindak represi oleh aparat negara atas dugaan adanya tindak pidana. Ancel menambahkan bahwa dalam tahap aplikasi, asas lex specialis derogate lege generalismerupakan suatu asas yang mengatur kewenangan, bukan terkait dengan perumusan delik. Dia menambankan bahwa asas ini merupakan suatu games-rulesdalam penerapan hukum. Asas ini penting bagi penegak hukum, dalam menerapkan aturan hukum mana yang diberlakukan atas suatu peristiwa konkrit tertentu yaitu aturan yang bersifat khusus.
Tidak ada kriteria dalam membatasi ketentuan pidana yang bersifat khusus (bijzondere strafbepaling).Namun secara doktrin ada dua cara pandang dalam menentukan ketentuan khusus ini yaitu cara pandang logis (logische beschouwing)dan cara pandang juridis (jurisdische beschouwing). Menurut Enschede dalam tulisannya yang berjudul “lex specialis derogat lege generali” (1963), pandangan secara logis mengatakan bahwa suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, jika ketentuan pidana tersebut di samping memuat unsur-unsur yang lain, juga memuat semua unsur dari suatu ketentuan pidana yang bersifat umum. Pandangan ini juga disebut sebagai suatu logische specialiteitatau sebagai suatu kekhususan secara logis.
Sementara itu dalam pandangan yuridis dikatakannya suatu ketentuan pidana itu walaupun tidak memuat semua unsurdari suatu ketentuan yang bersifat umum, ia tetap dianggap sebagai suatu ketentuan pidana yang bersifat khusus, yaitu apabila dengan jelas dapat diketahui, bahwa pembentuk undang-undang memang bermaksud untuk memberlakukan ketentuan pidana tersebut sebagai suatu ketetentuan pidana yang bersifat khusus. Pandangan ini juga disebut suatu jurisdische specialiteitatau systematische specialiteit, yang berarti kekhususan secara yuridis atau secara sistematis (Alvi Syahrin, 2013).
Majelis Hakim menyidangkan perkara Erdi dan Agusri Masnefi menafsirkan “setiap orang” dengan menggunakan asas y berlaku pada tindak pidana umum dana tidak mempertimbangkan asas-asas yang berkembang pada tindak pidana khusus. Majelis juga mengenyampingkan asas lex specialis deregot legi generalis. Selain itu, majelis juga menggunakan doktrin-doktrin dari ilmuwan hukum pidana yang memperkembangkan hukum pidana umum dan tidak mengggunakan referensi dari ilmuwan hukum pidana yang telah mengembangkan doktrin hukum pidana khusus. Selain itu, majelis hakim juga memberikan tafsir yang sempit atas Pasal 1 angka 21 UU No. 18 Tahun 2013, sehingga pasal ini tidak dilihat secara utuh. Majelis juga mengenyampingkan situasi sosiologis dan filosofis atas lahirnya UU No. 18 Tahun 2018.
Dengan demikian dapat dinyatakan bawah unsur “setiap orang” tidak terbukti dalam perkara ini sehingga jika salah satu unsur saja tidak terbukti, maka terdakwa harus dibebaskan dalam seluruh dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
- Melakukan Penebangan Pohon Tanpa Izin Pejabat yang Berwenang
Unsur ini tidak diulas oleh penulis, karena sifat unsur ini masuk dalam ranah hukum administratif negara.
- Melakukan Penebangan Pohon di Kawasan Hutan
Dalam membuktikan unsur yang kedua ini, majelis hakim tidak mempertimbangkan aspek “imunitas” yang dimiliki oleh subjek delik yang tinggal di kawasan sekitar atau di dalam kawasan hutan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU No. 18 Tahun 2013. Dalam pasal tersebut nyata-nyata disebutkan bahwa“Teroganisasi….…. tidak termasuk kelompok masyarakat yang tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan yang melakukan perladangan tradisional dan/atau melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial”. Pasal ini bisa juga ditafsirkan sebagai alasan yang menghapus pidana terhadap perbuatan (perbuatan-perbuatan) yang dilakukan oleh orang perseorangan terorganisasi yang :
- tinggal di dalam atau di sekitar kawasan hutan;
- melakukan perladangan tradisional;
- melakukan penebangan kayu untuk keperluan sendiri dan tidak untuk tujuan komersial
Perbuatan yang dilakukan Erdidan Agusri Masnefi meskipun menebang dua batang pohon tidak bisa dikatakan telah memenuhi unsur “melakukan penebangan pohon di kawasan hutan”, karena unsur ini tidak bisa dilihat secara parsial hanya dengan Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013, tetapi juga harus dikaitkan dengan Pasal 1 angka 6 yang merupakan prinsip-prinsip dasar (general principle) atau asas yang memayungi undang-undang ini. Unsur melawan hukum dari perbuatan menebang pohon dengan sendirinya hapus, karena perbuatan tersebut tidak dilakukan secara terorganisasi
Secara doktrin, alasan penghapus pidana terdiri dari alasan pemaaf dan alasan pembenar Moeljatno, 2013). Alasan pemaaf dimaksudkan untuk memaafkan kesalahan sedangkan alasan pembenar, dimaksdukan untuk menghapus sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut. Dalam alasan pemaaf, maka tindak pidana tersebut tetap ada, namun orangnya dimaafkan, atau kesalahannya dihapuskan, sehingga orang tersebut dilepaskan dari segala tuduhan. Sementara itu, dalam hal alasan pembenar, maka sifat melawan hukum dari perbuatan tersebut dihapuskan dan pelaku tindak pidana dibebaskan. Dengan demikian, unsur melawan hukum dari perbuatan menebang pohon di dalam kawasan hutan yang dilakukan Erdi dan Agusri Masnefi harus dihapuskan.
- Yang melakukan, yang menyuruh melakukan, yang turut serta melakukan.
Bagian ini bukan merupakan unsur dari Pasal 82 ayat (2) UU No. 18 Tahun 2013, tetapi lebih menunjukkan bahwa delik tersebut diwujukan oleh lebih dari satu orang, sehingga tidak perlu ditafsirkan lagi.
Kesimpulan
Majelis Hakim seharusnya menyatakan bahwa dakwaan Jaksa Penuntut Umum keliru menerapkan UU Nomor 18 tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (UU P3H). Sebab secara filosofis UU P3H ditujukan secara khusus pada tindak pidana perusakan hutan yang dilakukan secara terorganisir sebagaimana tercantum dalam konsiderans UU P3H. Sementara itu, fakta yang terungkap pada persidangan membuktikan bahwa kedua Terdakwa hanyalah warga biasa yang menebang pohon semata-mata untuk keperluan hidup sehari-hari dan bukan untuk tujuan komersial. Selain itu, penebangan itu dilakukan bukan dengan cara-cara yang terstruktur, sistematis dan memiliki afiliasi dengan pihak lain.
Jika saja Majelis Hakim membebaskan terdakwa, maka putusan ini tentu sejalan dengan nilai-nilai yang dianut oleh UU No. 18 Tahun 2013. Mejelis Hakim telah berhasil melihat undang-undang ini secara utuh dan berhasil mehami landasan filosopis dan landasan sejarah dibentuknya undang-undang tersebut. Selain itu, Majelis Hakim juga berhasil menyelami asas-asas hukum pidana khusus (lex specialis)sebagaimana tercantum dalam Pasal 1 UU No. 18 Tahun 2013.
Jelas bahwa jika saja Majelis Hakim memberikan makna “setiap orang” sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 18 Tahun 2013 orang perseorangan secara terorganisir, maka kedua terdakwa tersebut harusnya dibebaskan oleh Majelis Hakim. Karena perbuatan dilakukan oleh terdakwa dilakukan tidak secara terorganisir. Oleh karena itu, unsur “setiap orang” yang didakwa kepada terdakwa tidak terpenuhi. (***)
Published at :