PEMANFAATAN PLATFORM DIGITAL UNTUK KEJAHATAN SEKSUAL ANAK
Oleh AHMAD SOFIAN (Desember 2018)
Artikel ini merupakan pandangan kritis saya terhadap dampak platformdigital bagi anak-anak khususnya ketika persoalan ini dikaitkan dengan eksploitasi seksual anak online. Perkembangan platformdigital di era informasi dan teknologi telah memunculkan dampak yang luar biasa khususnya bagi anak-anak di seluruh dunia. Tidak diragukan lagi, platformdigital telah membawa perubahan besar dalam hidup mereka yang sebagian besar perubahannya sangat positif. Selain itu, platform digital juga telah mengubah dunia anak-anak menjadi lebih baik. Namun demikian, artikel ini bukan untuk mengulas tentang banyak dimensi positif dari platform digital, melainkan untuk berbagi dengan pembaca beberapa risiko yang ditimbulkannya khusus resiko kepada anak-anak baik di Indonesia maupun anak-anak lain di seluruh dunia.
Sebagai alat yang bentuknya online, platformdigital (seperti facebook, tiktok, Bigo, IG), banyak membuat hidup kita berkembang dan menjadi lebih baik, namun di sisi lain memberikan ancaman juga bagi anak-anak dan generasi muda. Sebagai contoh: Platform peer-to-peer dan livestreamingyang telah menyebabkan peningkatan sirkulasi materi pelecehan dan kekerasan pada anak. Kemajuan dalam layanan berbasis cloudmemungkinkan pelaku untuk menyembunyikan gambar yang mengerikan tersebut. Mata uang virtualdan jejaring gelap telah memudahkan untuk saling membeli, menjual dan menyembunyikan bahan-bahan yang tidak senonoh dari penegak hukum atau pihak berwenang lainnya. Platformdigital telah memungkinkan pelanggar untuk membentuk komunitas virtualyang menyediakan “tempat perlindungan” bagi mereka untuk berbagi, berdiskusi dan mengkoordinasi pelanggaran seksual terhadap anak-anak dan memiliki “akses” kepada korban.
Pelaku kejahatan anak menjadi begitu mudah dalam mengakses informasi tentang anak-anak, bertukar informasi, berbagi gambaran tentang pelecehan seksual anak, dan bahkan mengilhami anak-anak untuk melakukan kejahatan. Hal ini tentunya berpotensi menjadi masalah yang sangat besar. Anak-anak dieksploitasi dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sebagian besar korban yang ditampilkan dalam materi pelecehan seksual online adalah anak-anak dan remaja dan bahkan anak-anak di bawah usia 10 tahun. Sebuah Survei yang diterbitkan tahun 2017 oleh Center for Child ProtectionKanada menemukan bahwa 56% korban eksploitasi seksual online dimulai pada atau sebelum usia 4 tahun.
Menurut data di atas berarti tidak ada usia anak-anak yang kebal terhadap ancaman eksploitasi seksual online. Seiring bertambahnya usia anak, begitu juga akses mereka ke internet dan teknologi maka semakin tinggi risikonya atas bahaya eksploitasi. Dengan demikian, cara anak-anak dapat dieksploitasi meningkat dan menjadi lebih kompleks. Mereka menjadi lebih rentan terhadap grooming, sexting, dan sextortion.
Tingkat pelecehan dan kekerasan seksual anak secara onlinepada platformdigital digambarkan semakin memburuk. Temuan yang mengganggu dari studi yang dirilis oleh ECPAT Internasional dan INTERPOL pada tahun 2016 menunjukkan bahwa tingkat keparahan pelecehan dan kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak muda cenderung lebih besar.
Respon yang diberikan atas persoalan-persoalan yang saya sebutkan di atas terbilang belum memuaskan, hukum nasional kita pun belum memberikan jalan keluar untuk melindungi korban. Sebagai contoh : Melati (nama samaran) berusia 14 tahun adalah korban kejahatan seksual anak online. Gambar dan video yang diambil secara paksa tersebut disebar di berbagai platform digital. Setiap saat gambar dan video tersebut ditonton berulang oleh ratusan bahkah oleh ribuan orang. Situasi ini telah membuat Melati semakin trauma berkepanjangan. Oleh karena begitu banyaknya pelaku yang melakukan viktimisasi pada Melati menyebabkan penegak hukum kesulitan dalam menangani masalah ini. Demikian juga respon dari pemerintah terhadap hak-hak Melati untuk mendapatkan perlindungan. Kondisi inilah yang saya katakana sebagai respon dan kebijakan untuk mengatasi masalah eksploitasi seksual anak yang masih belum memuaskan. Masih begitu banyak kasus anak-anak yang mirip dengan Melati ditemukan.
Jadi apa yang bisa dilakukan? Jawaban atas pertanyaan ini memang rumit karena berbagai alasan. Salah satunya karena internet dan darknettidak memiliki batas. Pada saat ini seorang pelaku di Maluku mungkin saja mengadakan live streamingdengan anak di Sumatera Utara berusia lima tahun. Anak yang melakukan tindakan seksual di depan kamera web mungkin berada di Jakarta. Gambar-gambar pelecehannya dapat disiarkan langsung ke 50 pemirsa di 25 propinsi di seluruh Indonesia. Gambaran yang saya berikan di atas menunjukan bahwa respon nasional sangat diperlukan.
Hukum Nasional
Indonesia hanya memiliki satu undang-undang yang dapat merespon masalah eksploitasi seksual anak online,yaitu Undang-Undang No. 11 tahun 2008 yang kemudian direvisi melalui Undang-Undang No. 19 tahun 2016. Undang-undang tersebut di atas telah dengan terang menyatakan bahwa penyebaran konten yang mengandung unsur kesusilaan adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dalam pasal 27 UU-ITE (11/2008) menyebutkan:
“setiap orang dengan sengaja mendistribusikan dan atau mentransmisikan dan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dana tau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan”
Ancaman pidananya diatur dalam dalam 45 UU-ITE yaitu pidana maksimum 6 tahun dana tau denda maksimum 1 Milyar Rupiah
Selain Pasal 27, Pasal 29 juga melarang setiap orang untuk melakukan ancaman atau pemerasan atau menakut nakuti seseorang. Ancaman pidananya diatur dalam Pasal 45B dengan pidana maksimum 4 tahun dan atau denda maksimum 750 juta rupiah.
Namun ketentuan sanksi yang ada di dalam UU-ITE masih sebanyak penjara dan atau denda. Dalam konteks kejahatan seksual anak online, anak mengalami trauma yang berkepanjangan dan bahkan viktimiasi yang dilakukan oleh pelaku berulang dan oleh banyak pelaku, sehingga korban semakin trauma. PIdana denda dan pidana penjara masih belum mampu menyembuhkan luka batin yang dihadapi oleh korban, karena itu perlu mempertimbangkan pidana ganti kerugian oleh setiap pelaku yang ditujukan untuk menyembuhkan korban.
Sebagai perbandingan Uni Eropa pada taun 2007 telah menerbitkan sebuah Konvensi yang diberi nama “The Council of Europe Convention on the Protection of Children against Sexual Exploitation and Sexual Abuse”. Konvensi ini sering disebut dengan “the Lanzarote Convention”. Tiga hal besar yang diatur dalam konvensi ini yaitu (1) mencegah dan memerangi eksploitasi dan kekerasan seksual anak; (2) melindungi hak-hak anak sebagai korban; (3) mempromosikan kerjasama nasional dan internasional. Konvensi ini juga memonitor setiap negara penanda tangan untuk menindak, menghukum pelaku kejahatan seksual anak online termasuk pornografi anak.
Perkembangan terbaru yang terjadi di Amerika Serikat adalah diluncurkan hukum baru yang memberikan sanksi ganti kerugian oleh pelaku kepada korban sebesar $ 3.000 (tiga ribu dollar), bagi setiap pelaku yang memiliki atau melihat atau mendistribusikan gambar atau video (imageslainnya) yang mengandung kontens seksual. Ganti kerugian ini tidak menghilangkan pidana lainnya yan ditujukan kepada pelaku. Ganti kerugian tersebut langsung dibayarkan kepada korban atau orang tuanya. Ganti kerugian ini dimaksudkan untuk membantu korban yang mengaami trauma akibat distribusi gambar/video tersebut yang dilakkan oleh banyak pelaku dan berulang-ulang. (***)
Published at :