KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI MENGENAI UPAH PEKERJA/BURUH TERHUTANG SEBAGAI HAK YANG DIDAHULUKAN PEMBAYARANNYA
Oleh ERNI HERAWATI(Desember 2018)
Tulisan ini masih merupakan lanjutan dari pembahasan mengenai ketentuan mengenai kreditur preferen dalam hukum positif. Kali ini permasalahan yang dibahas adalah tentang kedudukan gaji karyawan dalam hal terjadinya kepailitan pada perusahaan. Ketentuan mengenai kreditur preferen atau kreditur dengan hak istimewa ini secara umum dapat dibaca pada Pasal 1132-1135, Pasal 1137, Pasal 1139 dan Pasal 1149 KUH Perdata. Upah buruh merupakan salah satu daftar yang masuk sebagai utang yang harus didahulukan pembayarannya.
Hukum positif yang mengatur tentang upah buruh atau pekerja adalahUndang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK). Pasal 95 ayat (4) UUK mengatur bahwa “Dalam hal perusahaan dinyatakan pailit atau dilikuidasi berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka upah dan hak-hak lainnya dari pekerja/buruh merupakan utang yang didahulukan pembayarannya”. Pada penjelasan pasal tersebut ditegaskan kembali bahwa “Yang dimaksud didahulukan pembayarannya adalah upah pekerja/buruh harus dibayar lebih dahulu dari pada utang lainnya”.
Berdasarkanpenjelasan di atas, terdapat berbagai ketentuan undang-undang yang masing-masing mengatur secara spesifik tentang siapa kreditur yang harus didahulukan pembayarannya, maka beberapa pekerja PT. Pertamina mengajukan judicial reviewke Mahkamah Konstitusi untuk menyelesaikan konflik norma tersebut. Norma yang dianggap bermasalah adalah terkait dengan ketentuan dalam Undang-Undang Perasuransian yang menempatkan pemegang polis, tertanggung, atau peserta sebagai pihak yang didahulukan pembayarannya dan Ketentuan mengenai pajak dimana menyatakan bahwa pajak adalah hak negara yang juga harus didahulukan pembayarannya apabila debitur dinyatakan pailit. Masing-masing ketentuan ini dianggap lexspecialis, meskipun pada praktiknya pajak seringkali lebih diutamakan.
Mahkamah Konstitusi dalam Putusan No. 67/PUU-XI/2013 tanggal 11 September 2014 menyatakan bahwa Pasal 95 ayat (4) dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai daya mengikat apabila tidak dimaknai “pembayaran upah pekerja/buruh yang terhutang didahulukan atas semua jenis kreditur termasuk atas tagihan kreditur separatis, tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, sedangkan pembayaran hak-hak pekerja/buruh lainnya didahulukan atas semua tagihan termasuk tagihan hak negara, kantor lelang, dan badan umum yang dibentuk Pemerintah, kecuali tagihan dari kreditur separatis. Dengan keputusan di atasmaka Mahkamah Konstitusi telah menetapkan bahwa upah pekerja/buruh menempati urutan pertama dalam hal terdapat beberapa kreditur preferen apabila terjadi likuidasi atau pailit perusahaan. Berbeda perlakuan dengan hak-hak pekerja/buruh lainnya, hak ini didahulukan atas semua tagihan kreditur preferen, kecuali tagihan dari kreditur separatis. (***)
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...