MASUKAN DOSEN BINUS UNTUK PEMBINAAN IDEOLOGI PANCASILA
Sebanyak kurang lebih 12 orang pakar diipimpin oleh Deputi Bidang Pengkajian dan Materi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Prof. Dr. F.X. Adji Samekto, S.H., M.Hum mengadakan focus group discussion (FGD) penyusunan Garis-Garis Besar Haluan Pembinaan Ideologi Pancasila (GBHPIP), bertempat di Hotel Aryaduta, Karawaci, Tangerang, tanggal 13 Desember 2018. Beberapa tokoh intelektual yang ikut hadir adalah Prof. Satya Arinanto (UI), Prof. Ade Saptomo (UP), Dr. Daniel Dhakidae (Prisma Resource Center), Dr. A.B. Kusuma (UI), Widodo, S.H,, M.H. (DPR), Sementara dari BINUS hadir Ketua Jurusan Hukum Bisnis, Shidarta, yang diundang untuk menyampaikan pandangannya terkait draf GBHPIP tersebut.
Shidarta mengawali diskusi pada sesi selepas makan siang dengan memberi catatan atas sistematika GBHPIP. Pertama-tama ia menanyakan kepada siapa GBHPIP ini ditujukan. Apabila diasumsikan GBHPIP ini dibaca oleh kalangan tertentu (misalnya akademisi pemerhati ideologi Pancasila, dan bukan orang awam pada umumnya), maka ia menggarisbawahi perlunya kejelasan ‘rationale’ antara satu bab dengan bab lainnya. Hal ini penting bagi pembaca yang kritis untuk tahu apa benang merah yang menjalin sistematika tersebut.
Shidarta juga menyebut beberapa terminologi kunci yang harus didefinisikan secara cermat. Untuk itu, Shidarta menyarankan agar dibuatkan glosari pada GBHPIP ini. Sebagai contoh, kata ‘ideologi’ itu bisa dimaknai luas maupun sempit. Demikian juga kata falsafah, pandangan hidup, dan dasar negara.
Dalam kaca mata filsafat hukum, menurut Shidarta, ada perbedaan tatkala kita memahami Pancasila sebagai hasil galian nilai-nilai yang bersumber dari praktik kehidupan bermasyarakat, adat istiadat, dan kearifan lokal. Ini artinya nilai-nilai imanen inilah yang kemudian mengalami kristalisasi menjadi nilai-nilai yang dipahami sebagai cita negara, dan lebih spesifik lagi kemudian menjadi cita hukum. Hal ini berbeda apabila kita menggunakan paham idealisme, yang meyakini nilai-nilai Pancasila itu sebagai sesuatu yang datang secara heteronom dan transenden, dengan membawa nilai-nilai universal, bukan partikular. Boleh jadi, nilai-nilai Pancasila kita sebenarnya tidak bersumber pada salah satu di antaranya, melainkan keduanya (dualisme).
Selain itu juga diutarakannya mengenai belum jelasnya posisi Pancasila dalam sistem hukum Indonesia. Apakah tepat, misalnya, jika disebutkan bahwa Pancasila adalah cita hukum, yang konon diambil dari kata ‘rechtsidee’? Hal yang sama juga berlaku untuk norma dasar negara, yang ditranslasi dari istilah ‘staatsfundamentalnorm’ sebagaimana diperkenalkan oleh Hans Nawiasky. Menurut Shidarta, ada perbedaan konseptual antara istilah-istilah itu, Belum lagi jika dikejar dengan pertanyaan: apa jenis peraturan perundang-undangan yang tepat untuk diposisikan sebagai norma dasar negara. Apakah Pembukaan UUD atau alternatif lain, seperti Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945?
Kata “ideologi” sendiri, menurut Shidarta yang pernah menulis buku berjudul “Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila dalam Sistem Hukum Indonesia” itu, selalu mempunyai kecenderungan untuk membenarkan dirinya sendiri. Dalam hal ini ideologi adalah suatu perspektif yang secara sadar dipilih (genitivus subjectivus), sehingga tidak mungkin dapat secara sangat objektif memaparkan suatu isu. GBHPIP harus disadari sejak awal, telah mengambil posisi demikian, sehingga kontroversi dari pandangan dan pemikiran yang terkandung di dalamnya, dapat terjadi dan terkadang tidak mungkin dihindari, sehingga penting untuk diantisipasi.
Apabila GBHPIP ini nanti akan dikukuhkan, sangat mungkin dipilih format yang paling cepat, yakni peraturan presiden. Jenis peraturan ini bukan tanpa masalah karena materi muatan yang dikandung mengarah ke jenis peraturan yang lebih tinggi, setidaknya setingkat undang-undang. Apabila GBHPIP ini diposisikan sebagai lampiran suatu peraturan perundang-undangan, maka jumlah halaman dan kedalaman uraiannya juga harus diperhatikan. Masyarakat luas yang membaca GBHPIP itu sebenarnya lebih berkepentingan untuk mendapatkan wawasan tentang ideologi Pancasila dan mampu menggunakan wawasan itu dalam menjawab tantangan yang muncul di era globalisasi dan pasca-reformasi (Bab II dan III dari draf GBHPIP). BPIP sebaiknya mendudukkan diri sebagai think-tank yang mampu menampung dan mendistribusikan wacana yang mencerdaskan bangsa dengan wawasan-wawasan tersebut. Di sinilah diperlukan strategi yang jitu, karena subjek yang mencerna wawasan-wawasan itu juga sangat beragam, yang berakibat produk dan media yang digunakan akan sangat bervariasi. BPIP tidak mungkin bekerja sendiri mengolah knowledge management ini, tetapi ia dapat menjadi lembaga referensial.
Pada kesempatan itu, Shidarta juga menitipkan kepada BPIP materi pembelajaran yang selama ini dipakai di lingkungan BINUS, yang dikemas dalam mata kuliah Character Building Pancasila. Naskah tersebut disusun oleh Tim Character Builidng Developoment Center (CBDC) BINUS, yang saat ini dipimpin oleh Antonius Atosokhi Gea, S.Th., M.M. (***)
Published at :