QUO VADIS HUKUM SIBER INDONESIA
Oleh BAMBANG PRATAMA (Desember 2018)
Undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU-ITE) boleh jadi adalah produk undang-undang yang seringkali digunakan untuk menyelesaikan permasalahan hukum di dunia Internet. Secara teoretis, banyak para ahli hukum menyebutnya dengan sebutan hukum siber (cyber law) atau hukum yang mengatur interaksi manusia di ruang siber. Dalam perkembangannya, teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menjadi semakin kompleks, sehingga muncul bentuk pelanggaran baru yang notabene bukan dilakukan di ruang siber tetapi menggunakan perangkat elektronik seperti SMS penipuan Mama-Papa Pulsa. Bentuk kejahatan demikian kemudian dikenal dengan terminologi kejahatan yang menggunakan komputer (computer-related crime). Mengacu pada terminologi kejahatan siber dan kejahatan menggunakan komputer, maka tentunya ada dua perbedaan bentuk tindakan, ruang lingkup, objek. Namun demikian, secara kerugian kedua bentuk kejahatan di atas tetaplah bermuara pada dunia nyata.
Mengaitkan terminology di atas dengan ruang lingkup UU-ITE memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana ruang lingkup UU-ITE mengaturnya? Apabila mengacu pada definisi dari UU-ITE khususnya pada pasal 1 butir 14, komputer didefinisikan sebagai “alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan.” Dengan berpijak pada definisi di atas, maka yang termasuk ke dalam kategori objek UU-ITE, tentunya tidak hanya komputer, tetapi mencakup perangkat elektronik dalam arti luas. Di sinilah letak keunikan dari UU-ITE, yang mana dalam definisinya memasukan konsep cyber law dan konsep computer-related crime.
Di beberapa negara, ada sebagian negara yang menggabungkan ketentuan tentang kejahatan siber dan kejahatan komputer, dan ada juga sebagian negara yang memisahkannya. Inggris misalnya mengatur kejahatan siber dengan Misuse Computer Act yang didalamnya juga mengatur tentang kejahatan siber. Amerika Serikat misalnya, sebagai negara yang memisahkan kejahatan siber dan kejahatan komputer.
Dengan dibentuknya Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), dan dorongan pembentukkan undang-undang keamanan siber (cyber security), maka arah perjalanan pengaturan hukum siber Indonesia adalah memisahkan ketentuan tentang kejahatan siber dan kejahatan menggunakan komputer. Dorongan membentuk undang-undang tentang keamanan siber memang sangat beralasan, mengingat saat ini teknologi informasi dan komunikasi telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan manusia. Dikatakan demikian karena hampir setiap orang di dunia ini sudah melakukan interaksinya dengan menggunakan TIK.
Melalui TIK juga, telah terjadi pergeseran nilai-nilai dan perubahan pola hidup manusia, dari yang sebelumnya bersifat manual atau analog menjadi digital. Kondisi demikian tentunya membawa tantangan hukum baru yang perlu segera diantisipasi secepatnya, agar aturan hukum dapat mengejar faktanya. Melihat kondisi saat ini dengan belum diundangkannya pengaturan tentang keamanan siber, maka tentunya kedudukan UU-ITE mainkan dua peran. Hal ini secara mutatis mutandis bisa dilihat dalam definisi komputer.
Selain definisi komputer, untuk dapat menjelaskan ruang lingkup dari UU-ITE, maka definisi lainnya yang memainkan peranan penting adalah definisi “transaksi elektronik” sebagaimana diatur dalam pasal 1 butir 2 UU-ITE, yang mana rumusannya: Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Mengacu pada definisi di atas, maka segala bentuk pengiriman (send), pencatatan (write), duplikasi (copy), penyalinan (paste) yang menggunakan media elektronik, baik yang dilakukan secara online ataupun offline, maka termasuk ke dalam ruang lingkup UU-ITE.
Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah bentuk telekomunikasi dengan menggunakan perangkat telekomunikasi seperti gawai cerdas (smart phone), telepon genggam (GSM/CDMA phone) juga termasuk ke dalam ruang lingkup UU-ITE. Sebagai contoh sederhana ketika A melakukan panggilan telepon atau mengirim SMS kepada B, maka tindakan A termasuk ke dalam kategori melakukan transaksi elektronik. Kondisi demikian menunjukkan bahwa dalam memahami terminologi “transaksi elektronik” tidak semata-mata sebagai tindakan melakukan jual-beli secara online.
Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat secara jelas bahwa UU-ITE memiliki ruang lingkup yang sangat luas. Hal ini juga telah ditegaskan dalam penjelasan UU-ITE dalam bagian definisinya. Namun demikian, apabila di masa mendatang undang-undang tentang keamanan siber dibuat oleh pemerintah, maka kedudukan UU-ITE adalah sebagai lex generalis dari undang-undang tentang kejahatan komputer (computer crime). Tantangan bagi para pengemban hukum di masa mendatang adalah pentingnya literasi komputer dan literasi siber agar dapat menyesuaikan dengan kebutuhan hidup manusia dalam menggunakan perangkat TIK. (***)
Published at :
SOCIAL MEDIA
Let’s relentlessly connected and get caught up each other.
Looking for tweets ...