MAKAN PIZZA DENGAN SUMPIT
Oleh SHIDARTA (Desember 2018)
Apa yang terjadi jika Anda mendapati ada iklan kecap yang menggambil lokasi di sebuah restoran padang? Akankah kita, terutama rekan-rekan yang berasal dari Sumatera Barat akan tersinggung dan memboikot produk dari iklan tersebut? Hal serupa terjadi pada iklan produk Dolce & Gabbana (D&G), sebuah rumah mode Italia ternama yang membuka gerai di China. Produk ini diboikot besar-besaran sebagai dampak dari sebuah iklan yang beredar melalui instagram, memperlihatkan seorang wanita China (model iklan) yang mencoba menyantap pizza dengan menggunakan sumpit dan gagal total. Ia menyerah… dan kemudian melupakan sumpitnya.
Ada apa di balik iklan ini? Sebagian orang berpendapat iklan seperti itu lucu. Tidak ada nuansa rasis di dalamnya. Namun, suasananya berubah drastis ketika akun instagram dari co-owner D&G Stefano Gabbana muncul dan menjadi santapan publik. Inti dari komentar itu mengungkapkan apa yang tersimpan di benak D&G, atau minimal di pikiran Stefano Gabbana, mengenai China dan budayanya. Tampaknya komentar inilah yang memancing kemarahan meluas hingga produk D&G diboikot di China, bahkan konon menyentuh juga para diaspora China di seluruh dunia.
Setelah semuanya terlambat, D&G buru-buru membuat eskapasi yang lagi-lagi konyol, yakni mengaku akun instagram dari Stefano Gabbana telah diretas orang yang tidak bertanggung jawab. Komentar-komentar yang menghebohkan itu, diakui bukan datang darinya. Alih-alih meredam kemarahan, pernyataan ini justru dijawab dengan ketidakpercayaan warga net, sehingga D&G kemudian terpaksa harus menganulir dalih peretasan itu dan bersedia meminta maaf.
Demikianlah kita melihat betapa dunia maya dapat berdampak sangat masif dalam pencitraan apapun. Sebuah produk tidak hanya dilihat dari kualitas barang atau jasa yang ditawarkan, melainkan juga orang-orang di balik produk tersebut. D&G sebagai merek dari produk mode kelas atas, jelas tak terbantahkan. Namun, D&G tidak sekadar merek produk, ia punya roh, yakni brand. Di dalam brand, ada narasi yang bercerita tentang banyak hal, seperti kerja keras, pengorbanan, loyalitas, kepedulian, penghormatan, dan nilai-nilai positif lainnya. Produk tidak hanya menjual merek, melainkan menjual narasi-narasi positif itu.
Hukum biasanya berurusan hanya dengan merek, bukan brand. Sebab, brand tidak bersentuhan langsung dengan hukum. Ia bersentuhan dengan alam bawah sadar pemikiran (mind) manusia. Merek mungkin bisa dibangun reputasinya melalui pembuktian kualitas dari suatu produk, tetapi brand harus dibangun lewat strategi pencitraan. Bagi dunia bisnis, strategi ini tentu bisa saja didesain dan direkayasa, termasuk dengan bantuan kreativitas para ahli strategi pemasaran. Hanya saja, strategi ini akan sia-sia apabila figur-figur kunci (ikon) dalam pencitraan ini lepas dari kontrol. Komentar dari Stefano Gabbana itu adalah contoh menarik. Komentar ini jelas ada di luar kontrol divisi pemasaran D&G karena terpublikasi lewat akun instagram pribadi, tetapi di mata publik, narasi yang disampaikan oleh Stefano Gabbana merupakan satu kesatuan dengan keseluruhan narasi (brand) D&G. Jika Stefano Gabbana tidak menghormati budaya suatu bangsa, maka D&G juga sama halnya. Kita dapat menyatakan penyimpulan seperti itu adalah sebuah kesesatan berpikir (fallacy). Sayangnya, urusan brand dari suatu produk, kerapkali memang tidak logis.
Kita bisa saja mempertanyakan di mana letak salahnya jika ada konsumen di sebuah rumah makan pandang meminta tambahan bumbu kecap pada nasi yang tengah disantapnya. Apakah demi tradisi, si pemilik restoran harus tersinggung dengan permintaan ini? Pertanyaan seperti ini mohon tidak dijawab dengan logika. Sebab, para pebisnis sebenarnya tidak pernah dapat menduga reaksi publik. Reaksi yang sangat mungkin bersifat impulsif dan sesaat. Lagi-lagi itulah persoalan ‘branding”, sesuatu yang berproses di alam bawah sadar manusia. Dengan memahami kondisi demikian, dalam menghadapi kasus-kasus seperti ini, para penegak hukum juga perlu berhati-hati agar tidak buru-buru merespons terlalu jauh. Pasal-pasal tentang penghinaan dan pencemaran nama baik, tidak boleh serta merta dipasang secara sembarangan guna melayani reaksi impulsif dan sesaat. (***)
Untuk mengikuti pemberitaan terkait kasus “makan pizza dengan sumpit”, silakan mengklik tautan berikut:
https://www.youtube.com/watch?v=CyHiWbTctPk
Published at :