KEDUDUKAN YURISPRUDENSI DALAM PUTUSAN HAKIM
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Desember 2018)
Dalam membuat suatu putusan, yang terpenting bagi hakim adalah fakta dan peristiwanya dimana dari fakta atau peristiwa tersebut dan telah setelah dibuktikan hakim dapat menemukan hukum. Seorang hakim harus mampu mengeneralisir suatu peristiwa yang telah dianggap benar melalui pembuktian. Dalam perkara perdata, Hakim dalam pertimbangan hukum pada putusannya wajib melengkapi alasan-alasan hukum yang tidak dicantumkan oleh para pihak.
Hakim harus memastikan peristiwa-peristiwa konkret yang disengketakan melalui suatu pembuktian untuk kemudian dicarikan hukum yang sesuai. Inilah yang dinamakan penemuan hukum (rechsvinding). Penemuan hukum bukanlah suatu kegiatan yang berdiri sendiri melainkan suatu kegiatan yang bersinambungan dengan kegiatan pembuktian. Dalam hal ini undang-undang harus disesuaikan dengan peristiwanya yang konkret agar undang-undang dapat ditetapkan. Contoh kasus menyadap aliran listrik orang lain yang dikualifikasikan sebagai perbuatan mengambil barang milik orang lain dengan melawan hukum di mana perbuatan tersebut melanggar ketentuan Pasal 362 KUHP mengenai pencurian.
Penerapan undang-undang pada suatu peristiwa hukum tidak lain merupakan penerapan silogisme. Setelah menentukan hukumnya kemudian undang-undang diterapkan pada peristiwa hukumnya kemudian hakim akan memutuskan. Hakim dalam memutuskan suatu perkara seyogianya memperhatikan tiga faktor, yaitu keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan.
Dalam memutus suatu perkara hakim dapat menemukan hukumnya dari berbagai sumber hukum hukum baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Sumber hukum tertulis terdiri dari undang-undang, hukum trakat dan yurisprudensi. Kemudian hukum tidak tertulis terdiri dari kebiasaan tidak tertulis, putusan desa dan doktrin.
Undang-undang dibedakan menjadi undang-undang materil dan undang-undang formil. Yang dimaksud dengan undang-undang materil adalah keputusan penguasa yang dilihat dari segi isinya mempunyai kekuatan mengikat secara umum. Sedangkan undang-undang formil adalah keputusan penguasa yang diberikan nama undang-undang disebabkan bentuk yang menjadikannya undang-undang. Contoh undang-undang formil adalah undang-undang APBN, undang-udang kewarganegaraan. Undang-undang memiliki hierarki di mana terdapat asas lex superior derogat legi inferiori. Hakim harus mengadili menurut undang-undang dalam memutus kedudukan undang-undang sebagai sumber hukum tidak dapat diganggu gugat.
Traktat merupakan perjanjian yang dibuat antar negara yang dituangkan dalam bentuk tertentu. Jika perjanjian tersebut mengandung masalah-masalah yang sangat penting bagi kelanggungan hidup bangsa/negara bisanaya diberi pentuk traktar, namun perjanjian yang kurang penting dinamakan konvensi, protocol, piagam, charter, pakta dan lainnya. Seperti undang-undang, traktat memiliki hirarki. Golongan pertama merupakan perjanjian internasional atau traktat sedangkan golongan kedua adalah persetujuan. Selain itu juga dibedakan antara traktat bilateral dan traktat kolektif/multilateral. Pada prinsipnya suatu traktat menciptakan hukum sehingga disebut sebagai sumber hukum forma. Untuk membentukan hukum, trakat kolekyif penting sekali karena ia berlaku sebagai hukum dilingkungan yang lebih luas di antara negara-negara yang bersangkutan. Selanjutnya tergantung dari hukum negara masing-masing yang bersangkutan, yaitu lembaga-lembaga negara yang berwenang menjadikan trakat menjadi sumber hukum yang berlaku di negara tersebut.
Yurispudensi merupakan suatu kebiasaan dari hakim untuk mengikuti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum telah ada untuk perkara sejenis. Putusan pengadilan tinggi dianggap memuat pokok pokok pikiran mengenai persoalan hukum yang dinamakan standard arresten. Sistem hukum Indonesia tidak mengenai asas the binding force of precedent, akan tetapi yurispudensi dapat dianggap menjadi sumber putusan hakim. Menurut Blackstone, asas tersebut bertujuan untuk menjaga skala keadilan meskipun dan memenangkan dan tidak bertanggung jawab untuk menggoyah setiap pendapat hakim baru. Menyebab seorang hakim mengikuti hakim lain untuk perkara yang sejenis yaitu pertimbangan psikologis, penyebab praktis dan pendapat yang sama.
Sumber hukum yang tidak tertulis salah satunya kebiasaan tidak tertulis. Hal ini bermula dari suatu kebiasaan yang terjadi dalam suatu masyarakat yang karena dianggap patut lalu diulang dan diikuti sehingga selanjutnya dianggap sebagai norma hukum dalam masyarakat yang bersangkutan yang sifatnya turun menurun. Kebiasaan dapat menjadi hukum yang tidak tertulis apabila memenuhi tiga syarat. Yang pertama syarat materil adalah adanya perbuatan tingkah laku yang dilakukan secara berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu. Kedua, syarat intelektual yaitu adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan. Ketiga adanya akibat hukum apabila kebiasaan ini dilanggar. Hakim tidak semata-mata terikat dengan undang-undang sebab kebiasaan juga mempunyai peran penting bagi hakim dalam memutus suatu perkara sehingga kebiasaan merupakan sumber hukum.
Menurut Daniel S. Lev, hukum bukan sekadar hukum tertulis atau undang-undang. Hukum dan perubahan dimana hukum merupakan prakter dari aparat penegak hukum sehingga apabila perilaku aparat penegak hukum berubah maka hukum pun berubah meskipun hukum tertulis atau undang-undang tidak berubah. Kesenjangan antara hukum dan perubahan sosial memberi tempat pada peran putusan hakim, untuk mengimbangi antara kekakuan dan kestabilan hukum tertulis dengan perubahan sosial.
Menurut Satjipto Rahardjo menyatakan hakim haruslah progresif karena hakim sebagai makluk sosial harus menetapkan dirinya dalam masyarakat dan hukum adalah untuk rakyat bukan sebaliknya. Melalui putusan-putusannya, hakim disebut mewakili suara rakyat yang tidak terwakili dan kurang terwakili. (***)
Published at :