KECERDASAN BUATAN DALAM OTOMOTIF DAN HUKUM BERLALU LINTAS
Oleh SHIDARTA (Desember 2018)
Dalam perspektif futuristik, konon sopir-sopir tidak lagi dibutuhkan. Jika kita ingin berpergian ke suatu tempat dengan taksi atau kendaraan pribadi, kita tak lagi harus repot-repot memastikan sopir kita tahu jalan terdekat dan bebas macet. Juga tak perlu lagi memikirkan uang tips atau ongkos makan siangnya. Kita hanya perlu menyebutkan tempat tujuan dan secara otomatis mobil itu akan bergerak dengan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence).
Namun, setiap teknologi pasti mempunyai kelemahan mendasar. Polisi di Redwood City, California Utara, beberapa waktu lalu dilaporkan mengalami kesulitan untuk menghentikan sebuah mobil Tesla Model S, yang dikemudikan secara autopilot oleh seseorang bernama Alexander Samek (45 tahun). Masalahnya, orang ini masuk ke dalam mobil tersebut dalam keadaan mabuk dan kemudian tertidur pulas. Mobilnya berjalan sendiri melalui Highway 101 dengan kecepatan 70 mph. Tatkala diberikan sinyal lampu oleh polisi untuk menepi, mobil ini tetap tidak berhenti. Untuk itu, polisi terpaksa menghentikan arus lalu lintas di belakang mobil ini, lalu menuntun mobil ini dari depan secara perlahan agar dapat benar-benar berhenti.
Kejadian ini menyadarkan kita pada satu hal. Apakah Alexander Samek yang tertidur dalam keadaan mabuk dalam mobil autopilot-nya ini dapat dikenakan sanksi karena “telah mengendarai” mobil dalam keadaan tidak sadar? Apakah dengan menyerahkan kendali pada teknologi kecerdasan buatan pada mobil Tesla Model S ini, tanggung jawab Alexander Samek menjadi teralihkan? Pertanyaan-pertanyaan demikian mungkin saja ikut menyertai kita tatkala menyimak cerita di atas. Dan, perlu dicatat bahwa kendaraan seperti Tesla Model S ini sudah lolos uji kelayakan untuk beroperasi di jalan raya, sehingga urusan legalitas pengoperasiannya seharusnya tidak lagi menjadi isu.
Kendala teknis seperti kesulitan menghentikan kendaraan ini walaupun sudah diberi sinyal oleh polisi, diasumsikan bukanlah perkara sulit untuk diatasi. Kejadian itu pasti akan ditanggapi dengan cepat oleh para mekanik di perusahaan mobil tersebut, sehingga dalam waktu dekat mobil tersebut dapat berhenti jika diperintahkan oleh polisi. Persoalannya lagi-lagi menyangkut urusan hukum. Undang-Undang Lalu Lintas [dan Angkutan Jalan] yang berlaku di banyak negara, termasuk tentu saja di Indonesia, masih belum cukup mampu mengantisipasi perkembangan demikian, padahal kecerdasan buatan autopilot dalam teknologi otomotif sudah benar-benar di ambang pintu.
Persoalan subjek hukum yang bertanggung jawab dalam pengoperasian kendaraan dengan teknologi autopilot ini, membuka potensi ke banyak pihak yang bisa terlibat. Pemilik teknologi kecerdasan buatan yang karyanya digunakan dalam kendaraan itu adalah salah satunya. Di sini harus dipastikan bahwa tidak ada yang salah pada teknologi kecerdasan buatan ini. Pemegang merek kendaraan bisa pula menjadi subjek yang lain lagi. Pemegang merek adalah pihak yang secara resmi berhak untuk melepas produk itu ke pasaran, yang berarti ia menjamin bahwa barang itu tidak mengandung cacat tersembunyi. Selanjutnya pemilik kendaraan, juga merupakan subjek penting karena kemampuan dan ketepatan pengoperasian ada pada kendalinya. Jadi, seandainya mobil ini sampai menabrak penggunaan jalan lain hingga berakibat fatal, maka hukum positif seharusnya dapat secara tegas memastikan siapa yang layak dijadikan tersangka dan kemudian terdakwa dalam kasus tersebut.
Konstelasi subjek-subjek hukum dan beban tanggung jawab yang dipikul masing-masing di dalam contoh kasus mobil autopilot ini adalah satu model menarik untuk dikaji lebih jauh. Boleh jadi, lewat konstruksi hukum tersebut dapat dihasilkan suatu prototipe penerapan hukum terhadap kasus-kasus kecerdasan buatan yang terjadi di berbagai area hukum yang lain. (***)