MAMPUKAH BPSK MENGAWASI PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU?
Oleh SHIDARTA (November 2018)
Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) adalah badan alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Pasal 52 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menetapkan tugas dan wewenang BPSK, yang meliputi sebanyak 13 (tiga belas) butir. Sebenarnya, inti dari tugas dan wewenang BPSK ada pada butir pertama, sementara 12 butir berikutnya seharusnya adalah rincian dari tugasnya melakukan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen. Namun, dari semua butir itu, ada satu tugas yang menarik dan “tiba-tiba” berbeda dari tugas utamanya, yakni pada butir ketiga (huruf c) yang menyatakan bahwa BPSK melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku.
Ketentuan tentang klausula baku di dalam UUPK, tercantum dalam Pasal 18. Esensi dari larangan pembuatan atau pencantuman klausula baku (pada dokumen dan/atau perjanjian) terletak pada Pasal 18 ayat (1) huruf a. Pada huruf a inii dikatakan bahwa pelaku usaha dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku yang isinya memuat pengalihan tanggung jawab pelaku usaha (untuk dialihkan ke konsumen). Seperti apa bentuk-bentuk pengalihan tanggung jawab itu? Jawabannya ada pada huruf b sampai dengan huruf h. Klausula yang memuat pengalihan tanggung jawab ini lazimnya disebut klausula eksonerasi. Jadi, pelaku usaha sama sekali tidak dilarang membuat dan menantumkan klausula baku, tetapi jangan isinya mengandung klausula eksonerasi. Tapi, seberapa mampu BPSK menjalani tugas inii?
Keberadaan klausula baku sudah menjadi fenomena dalam transaksi konsumen di manapun. Oleh sebab itu, ia harus diterima sebagai keniscayaan sosiologis demi alasan efisiensi dalam transaksi itu sendiri. Klausula baku harus dibedakan dengan perjanjian baku. Klausula baku ada di dalam perjanjian baku. Jika ada klausula yang melanggar Pasal 18 UUPK, maka menurut ketentuan ayat (3) dari pasal ini, kausula itu dinyatakan batal demi hukum. Tidak otomatis perjanjiannya yang dibatalkan, kecuali tentu saja jika klausula baku itu berkenaan dengan unsur esensialia dalam perjanjian.
Perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Indonesia umumnya membuat klausula baku untuk dicantumkan dalam dokumen-dokumen mereka dalam rangka melayani konsumen. Sebagai contoh, bank yang berkantor pusat di Jakarta, akan membuat perjanjian baku yang di dalamnya ada klausula-klausula baku. Perjanjian dan klausula ini pasti didistribusikannya ke semua cabangnya di seluruh Indonesia. Apabila ada BPSK yang kemudian berinisiatif mengawasi pencantuman klausula baku tersebut, lalu apa yang dapat dilakukannya?
Mari kita berasumsi bahwa BPSK setempat pertama-tama akan memanggil pelaku usaha terkait. Oleh karena BPSK ini ada di suatu daerah (tingkat II kabupaten/kota), maka tentu pelaku usaha yang dipanggil adalah perwakilan bank yang ada di daerah kompetensinya. Pelaku usaha ini bakal dinasihati oleh BPSK dengan baik-baik bahwa ia tidak boleh lagi mengedarkan klausula baku tersebut. Pelaku usaha ini tentu akan bertanya: “Apakah dengan demikian, kami di daerah ini harus membuat klausula baku tersendiri, yang berbeda dengan klausula baku pada bank-bank perwakilan di daerah lain?”
Dengan demikian, tugas BPSK yang ada di suatu daerah, hampir tidak mungkin dapat mengawasi pencantuman klausula baku untuk pelaku usaha yang beroperasi di lintas daerah. Dibutuhkan lembaga lain yang jauh lebih luas cakupan tugas dan kewenangannnya. Semula kita berharap Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) dapat melakukan tugas ini, namun kapasitas kelembagaan BPKN pun tidak cukup dapat diandalkan. Artinya, di Indonesia saat ini tidak ada satu lembaga yang memang bertugas melakukan ini secara menyeluruh, bukan sekadar sektoral. Apalagi untuk kepentingan perlindungan konsumen pada umumnya. Itulah sebabnya, jangan heran, misalnya klausula yang mencantumkan keterangan “barang yang sudah dibeli tak dapat dikembalikan” masih beredar dan mudah dijumpai di mana-mana. Praktis, tanpa ada penindakan sekalipun sudah dilarang menurut Pasal 18 ayat (1) huruf b UUPK..
Karena pengawasan sebagai tindakan pre-emptif dan preventif tidak berjalan, maka yang berlaku adalah tindakan menunggu saja sampai ada gugatan di pengadilan. Penulis beberapa tahun silam pernah diminta menjadi ahli untuk memberi keterangan di Pengadilan Negeri Pekalongan terkait gugatan seorang nasabah koperasi atas klausula baku dalam perjanjian di antara mereka. Gugatan nasabah koperasi ini mendasarkan pada Pasal 18 UUPK. Di sini pengadilan perlu sangat hati-hati mencermati bahwa tidak semua klasula baku adalah klausula yang tunduk pada UUPK. Jika klausula baku itu dibuat oleh sesama pelaku usaha, maka klausula baku ini tidak berada dalam area hukum perlindungan konsumen. Dengan demikian, Pasal 18 UUPK tidak dapat diberlakukan. Kebetulan dalam kasus di Pekalongan ini, nasabah itu meminjam uang dari koperasi untuk digunakan sebagai modal perluasan tambak ikan. Jadi, klausula baku dalam perjanjian kredit ini harus dikonstruksikan sebagia hubungan antara sesama pelaku usaha, bukan antara pelaku usaha dan konsumen. Beruntung, majelis hakim Pengadilan Negeri Pekalongan di dalam putusannya, sepakat dengan keterangan ahli.
Putusan perkara perdata yang dikeluarkan oleh pengadilan, tentu memiliki keterbatasan. Putusan tersebut hanya berlaku kasuistis. Katakanlah bahwa klausula baku yang dipersoalkan di pengadilan itu benar merupakan klausula baku menurut UUPK, dan oleh majelis hakim dinyatakan telah batal demi hukum, lalu apakah pernyataan batal demi hukum ini akan memaksa pelaku usaha mengubah klausula yang sudah sekian lama dengan nyaman digunakannya? Pada kenyataannya tidak. Beberapa putusan tentang kasus parkir yang dimenangkan oleh konsumen, misalnya, terbukti tidak membuat pengelola parkir mengubah klausula baku pada karcis-karcis parkir yang diserahkan ke konsumen. Pengelola parkir berargumen bahwa putusan itu hanya berlaku untuk kasus tersebut saja, tidak mengikatnya untuk mengubah klausula baku bagi konsumen-konsumen pada umumnya.
Kendati ada kendala-kendala konseptual dan teknis bagi BPSK untuk berperan menjalankan tugasnya sendiri menurut Pasal 52 huruf c UUPK, sesungguhnya anggota BPSK bisa punya peran juga untuk didengar keterangannya di pengadilan apabila terdapat gugatan tentang klausula baku ini. Anggota BPSK dapat diminta bantuannya menjelaskan bobot pelanggaran dari suatu klausula baku. Inilah minimal yang bisa dilakukan oleh BPSK guna menyiasati ketidakmampuannya saat ini untuk menjalankan tugas menurut Pasal 52 huruf c UUPK. (***)