CERITA RINGAN TENTANG MASJID DAN MAKANAN HALAL DI TAIWAN
Oleh SHIDARTA (Oktober 2018)
Taiwan adalah salah satu destinisasi yang kerap dikunjungi dosen dan mahasiswa BINUS dalam berbagai kesempatan. Kerja sama dengan universitas-universitas di Taiwan terbilang cukup intensif, termasuk dalam rangka pertukaran dosen dan mahasiswa. Dosen-dosen BINUS, termasuk dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS juga menjadi dosen tamu di sejumlah universitas di sana. Penelitian tentang hukum Taiwan saat ini juga sedang berlangsung, melibatkan dosen dari Jurusan Hukum Bisnis BINUS.
Bagi pengunjung beragama Islam, kebutuhan akan tempat ibadah dan makanan halal menjadi isu tersendiri, mengingat keberadaan masjid dan restoran halal di Taiwan masih belum menjadi fenomena umum. Untuk masjid, misalnya, penduduk Taipei hanya memiliki satu masjid besar. Sementara untuk restoran, pilihannya lebih banyak, kendati tidak semuanya tersertfikasi secara resmi oleh majelis ulama setempat. Pilihan makanan di restoran-restoran ini juga terbatas. Menu favorit adalah beef noodle.
Di kota Taipei, misalnya, terdapat sebuah masjid raya yang menjadi pusat kehidupan masyarakat Muslim di ibukota Taiwan ini. Tidak ada nama khusus untuk masjid ini, kecuali sekadar disebut sebagai Masjid Raya (Grand Moaque). Letaknya di jalan Xinsheng Selatan (Da’an District).
Menurut catatan yang bisa dirujuk dalam Ensiklopedia Taiwan, masjid ini diresmikan oleh Wakil Presiden Taiwan Chen Cheng pada tanggal 13 April 1960, berdiri di atas lahan seluas 2.747 meter persegi. Bangunan yang didesain oleh arsitek terkemuka Taiwan Yang Cho-cheng ini telah ditetapkan sebagai bangunan bersejarah oleh Pemerintah Taiwan. Konon pada saat pendirian, masjid ini mendapat bantuan dana dari Pemerintah Iran dan Jordania, ditambah dengan pinjaman dari Pemerintah Kuomintang dan Bank of Taiwan. Pinjaman ini konon sudah berhasil dilunasi, sebagian melalui donasi para jamaah masjid dan sebagian lagi dari kebijakan penghapusan hutang oleh Pemerintah Taiwan. Dalam keseharian, masjid ini dikelola oleh Persatuan Muslim China (the Chinese Muslim Association/CMA/中國回教協會). Di Taiwan sendiri ada beberapa organisasi Islam, seperti the Chinese Muslim Youth League (中國回教青年會) yang mengelola masjid tersendiri yaitu Taipei Cultural Mosque di Xinhai Road.
Dengan jumlah orang Indonesia di Taiwan saat ini sekitar 300.000 orang, maka tidak mengherankan jika kita menjumpai banyak wajah-wajah “Indonesia” di dekat masjid ini. Mereka akan mudah dijumpai, khususnya pada saat sholat Jumat. Jemaah dari negara lain yang cukup dominan adalah kaum muslim dari Malaysia. Warga Taiwan yang beragama Islam umumnya berasal dari etnik Hui, yang notabene leluhur mereka dulu ikut hijrah dari Daratan Tiongkok.
Sama seperti masjid lain di Taiwan,area wudlu di Gand Mosque Taipei ini diberi tempat duduk untuk jemaah yang sedang mengambil air wudlu. Model ini tampaknya meniru gaya masjid-masjid di Timur Tengah. Air wudlu di masjid ini disediakan dalam dua jenis suhu, yang mengucur dari dua kran berbeda. Jamaah dapat memilih untuk membuka kran dengan air bersuhu hangat atau biasa. Seusai berwudlu, para jemaah pun siap memasuki ruang sholat. Uniknya, untuk mengeringkan kaki, pengurus masjid menyediakan handuk-handuk bersih untuk tiap jemaah. Handuk-handuk ini, setelah dipakai, langsung disisihkan untuk dicuci kembali.
Hal lain yang unik, yang lazim ditemui oleh para pengunjung di Taiwan ini adalah soal toilet. Lobang toilet jongkok untuk pembuangan kotoran di berbagai fasilitas umum di Taiwan, memiliki rancangan yang sangat berbeda dengan desain di Indonesia. Hal yang sama dapat ditemukan pada toilet di masjid Taipei ini. Perlu dicatat bahwa seringkali toilet-toilet di Taiwan tidak menyediakan kran air khusus untuk pembasuh, kecuali tentu saja, air penggelontor. Rata-rata orang Taiwan memakai tisu sebagai pengganti air untuk membersihkan diri saat berada di toilet. Sehabis ke toliet, dianjurkan untuk membasuh tangan di wastafel.
Khotbah Jumat di Taiwan menggunakan bahasa pengantar dengan bahasa Mandarin, diselingi dengan bahasa Arab pada mukadimah atau tatkala khotib harus mengutip ayat-ayat Al-Quran. Kurang lebih mirip dengan gaya khotbah Jumat di kebanyakan masjid-masjid di Tanah Air. Seusai sholat, sebagian jemaah mengantri untuk mengambil minuman ringan. Saat tim dosen BINUS berkunjung ke sana, di sayap Selatan masjid disediakan dispenser yang berisi minuman dan jemaah boleh mengambil sendiri minuman tersebut. Sekilas seperti teh tarik. Dan, hidangan ini memikat bagi banyak komunitas Muslim yang berasal dari Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Di trotoar dan di pinggir jalan, tepat di depan masjid, tampak dua kendaraan diparkir sebagai tempat berjualan makanan. Di sini dijual makanan kebab dan sejenisnya. Harga satu porsi kebab (jika dirupiahkan saat itu) antara IDR 35.000 sampai 40.000. Porsinya sedikit lebih besar daripada kebab yang biasa kita jumpai di Indonesia. Jemaah baru ramai menyerbu kedai berjalan tersebut seusai sholat.
Di area di sekitar masjid di Taiwan, sering dijumpai rumah-rumah makan yang menyediakan menu halal. Saat di kota Kaohsiung, yang terletak di Selatan Taiwan, persis di sebelah masjid di jalan Jainjun di kota itu, kebetulan terdapat restoran Indonesia. Tapi, di dekat Grand Mosque Taipei tidak dijumpai restoran Indonesia. Namun, ada satu restoran yang rupanya cukup menjadi favorit bagi orang Indonesia, yaitu Yunus Halal Restaurant yang berlokasi di Distrik Songshan, Taipei. Dari Grand Mosque Taipei, perlu waktu sekitar 10 menit naik kendaraan untuk sampai di restoran halal ini. Rumah makan ini tidak terlalu luas, tetapi rupanya sudah sangat dikenal, sehingga di dinding restoran berjejer foto-foto beberapa tokoh yang sempat mampir di sana, seperti Mahfud MD, Muhaimin Iskandar, dan KH Ma’ruf Amin. Saat kami mengunjungi rumah makan ini, ia secara khusus meletakkan bendera Merah-Putih di meja makan, tetapi sayangnya, ia justru tidak menyajikan makanan khas Indonesia. Beberapa menu berasal dari Thailand, seperti tom-yam. Beberapa lagi hasil modifikasinya sendiri.
Populasi Muslim yang makin bertambah di Taiwan, sesungguhnya sangat disadari oleh Pemeirintah Taiwan sebagai peluang bisnis tersendiri. Untuk itu, pemahaman tentang kebutuhan komunitas Muslim, merupakan satu hal yang juga perlu dimiliki. Indonesia, sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, selayaknya kita mengambil peluang baik ini dengan menawarkan program-program pelatihan yang sesuai dengan semangat berbisnis di negeri pulau ini. Keberadaan Kantor Dagang dan Ekonomi Indonesia (KDEI) sebagai lembaga non-pemerintah di bawah binaan Kementerian Perdagangan, tentu sangat diharapkan dapat menjembatani interaksi seperti ini. (***)
Referensi: https://en.wikipedia.org/wiki/Taipei_Grand_Mosque