TERMINOLOGI HUKUM ‘PERLINDUNGAN ANAK DI INDONESIA’
Oleh AHMAD SOFIAN (September 2018)
Setiap ilmu pengetahuan selalu mempergunakan bahasa, istilah dalam mengutarakan konsep atau variabel . Bahasa itu terdiri atas kata-kata disusun dalam kalimat-kalimat. Kata-kata itu kemudian dijadikan sebagai “istilah atau terminologi”, yang dimaksudkan sebagai suatu simbol yang arti dan isinya dipastikan sesuai dengan apa yang akan ditetapkan oleh Ilmu Pengetahuan yang bersangkutan. Dengan kata lain, “Istilah” dalam suatu ilmu pengetahuan hanya akan dapat dimengerti oleh mereka yang melakukan studi di dalam ilmu yang bersangkutan.
Hal utama yang sering kita hadapi dalam memahami suatu cabang dari ilmu pengetahuan tertentu adalah berkenaan dengan suatu “definsi” yang dipergunakan untuk menjelaskan atau menguraikan “suatu konsep” di dalam lingkungan suatu cabang ilmu yang bersangkutan. Definisi tersebut dapat sama sekali berlainan isi dan artinya dengan isi dan artinya sehari-hari menurut pemahaman orang awam (orang yang berada diluar ilmu pengatehaun tersebut). Dalam konsep hukum, definisi bukan merupakan satu-satunya cara untuk menjelaskan suatu konsep. (https://fhukum.unpatti.ac.id/umum/62-mungkinkah-hukum-diberi-definisi).
Dalam konteks perlindungan anak, maka istilah, konsep dan definisi menjadi sangat penting, karena akan memberikan makna atas masalah anak yang sesungguhnya, dijadikan sebagai prioritas, sebagai upaya untuk merespon atau menyusun kebijakan. Penting juga untuk memberikan definisi atau suatu istilah dari sisi hukum. Hal ini dimaksudkan agar ada konsistensi, tidak menimbulkan kebingungan khususnya dalam proses penegakan hukum atau suatu perisitiwa yang menimpa anak-anak. Ketidakhadiran definisi yang memuaskan atas persoalan-persoalan anak dari sisi hukum menyebabkan masalah anak tidak bisa dituntaskan dengan cara pandang yang sama.
Perundangan-Undangan Nasional
Menurut catatan penulis setidak-tidaknya ada 22 undang-undang yang memberikan perlindungan terhadap anak-anak dari praktek kekerasan, eksploitasi, penelantaran dan perlakuan salah . Ke-22 undang-undang tersebut adalah :
Tabel Undang-Undang Nasional tentang Perlindungan Anak
Undang-undang yang disebutkan di atas tidak semuanya mengatur perlindungan anak secara langsung, tetapi ada juga yang mengatur masalah perlindungan anak secara tidak langsung, bahkan sebagian adalah ratifikasi konvensi (opsional protokol) internasional. Namun demikian, semuanya memiliki relasi atau keterkaitan dengan perlindungan anak di Indonesia.
Undang-Undang Perlindungan Anak menjadi catatan khusus, karena undang-undang ini telah dua kali mengalami revisi, dan revisi yang dilakukan tidak didasarkan pada semangat untuk melakukan harmonisasi dengan standard internasional yang diratifikasi tetapi lebih didasarkan pada respon atas persoalan-persoalan anak yang mengemuka atau muncul di masyarakat. Dengan kata lain revisi yang dilakukan masih bersifat parsial dan kasuistis. Oleh karena itu, revisi yang sudah dilakukan tidak menjawab pengentasan persoalan anak secara menyeluruh.
Perundang-undangan nasional tentang perlindungan anak mengatur sejumlah tindak pidana yang ditujukan pada anak diantaranya : kekerasan, penelantaran, eksploitasi, perlakuan salah dan diskriminasi terhadap anak. Tindak pidana tersebut jelas-jelas dilarang dan diancam pidana. Pengaturan terhadap tindak pidana tersebut tertuang dalam beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002, Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 dan secara khusus untuk tindak pidana seksual pada anak diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016.
Namun undang-undang ini tidak memberikan definisi yang memuaskan terhadap tindak pidana kekerasan, eksploitasi, penelantaran, diskirminasi dan perlakuan salah pada anak. Undang-undang nasional cenderung memberikan ancaman hukuman kepada siapa saja yang melakukan tindak pidana tersebut dengan ancaman hukuman yang sangat bervariasi dan cenderung menggunakan pendekatan retributive (balas dendam), meski dalam beberapa pasal juga memberikan ancaman hukuman berupa denda, ganti kerugian dan rehabilitatif, tetapi pendekatan retributif lebih menonjol dalam undang-undang nasional.
Filosofi pemidanaan dengan pendekaan rebrtibutif sudah mulai ditinggalkan di banyak negara, termasuk sekalipun ketika yang menjadi korban adalah anak-anak. Banyak pandangan mengatakan bahwa ketika seseorang melakukan tindak pidana pada anak, banyak faktor yang menjadi penyebab, dan faktor-faktor ini tidak bisa digeneralisasi. Hukum pidana sering gagal dalam mengindividualisasi faktor-faktor tersebut sehingga kesan yang muncul adalah melakukan balas dendam kepada pelaku dengan ancaman berat. Pandangan lain mengatakan bahwa pelaku kejahatan yang sangat kejam sekalipun masih bisa dipulihkan dan dikembalikan kepada masyarakat. Upaya penderitaan (pendekatan retributive/absolut) sering tidak efektif dalam menangkal kejahatan. Oleh karena itu, sekarang muncul gerakan yang disebut dengan “pemidanaan yang adil” (Jan Remmelink, Hukum Pidana, 2003). Pendekatan rehabilitatif, ganti kerugian, penyitaan asset, tanggung jawab pada korban, restorative menjadi pilihan pemidanaan terhadap para pelaku kejahatan termasuk kejahatan pada anak. (***)