KEGUNAAN POHON PORPHYRIUS DALAM PEMBUATAN DEFINISI HUKUM
Oleh SHIDARTA (September 2018)
Dalam pembelajaran penalaran hukum, ada satu topik penting yang mengawali segala perbincangan, yakni tentang pembentukan konsep dan proposisi. Konsep adalah generalisasi atas fakta-fakta, yang kemudian karena fakta-fakta ini memiliki kesamaan karakteristik tertentu, mereka dikategorikan ke dalam sebuah gagasan yang sama. Konsep tersebut terkadang diberi nama atau label, yang disebut terma (term). Jadi, terma adalah nama konsep.
Konseptualisasi pada hakikatnya merupakan proses generalisasi. Proses menggunakan cara bernalar dari khusus ke umum (inferensi induktif). Konsep-konsep ini selanjutnya dapat saling berhubungan satu sama lain, yang dikenal dengan sebutan proposisi. Jadi, proposisi adalah rangkaian konsep-konsep yang mampu mendeskripsikan suatu fenomena (interrelated concepts). Di dalam hukum, proposisi yang mapan seringkali dijadikan sebagai asas hukum. Dengan demikian, dapat dipastikan bahwa di dalam setiap asas hukum terkandung relasi antar-konsep. Tidak mungkin ada asas hukum yang hanya terdiri dari satu konsep. Sebagai contoh asas ‘lex specialis derogat legi generali’ merupakan suatu proposisi yang menunjukkan keterkaitan antara konsep undang-undang khusus (lex specialis) dan undang-undang umum (lex generalis). Relasi di antara keduanya mampu menjelaskan suatu fenomena, sehingga kita dapat mengatakan: apabila terjadi konflik norma antara dua undang-undang, misalnya antara KUH Dagang dan KUH Perdata, maka posisi KUH Dagang lebih kuat dibandingkan dengan KUH Perdata.
Oleh karena suatu konsep pada awalnya merupakan generalisasi dari fakta-fakta, maka jika arah inferensinya dibalik, berarti tatkala suatu konsep dikemukakan, haruslah selalu dapat dibayangkan fakta-faktanya. Cara kita menjelaskan makna suatu konsep dengan cara menunjuk fakta-fakta yang menjadi anggota dari konsep itu, sebenarnya termasuk metode pendefinisian konsep juga, yaitu pendefinisian denotatif. Cara pendefinisian ini relatif berhasil untuk konsep yang tegolong konkret acuan faktanya, seperti manusia, rumah, meja, dan kursi. Denotasi menjadi lebih sulit dilakukan apabila konsep yang dimaksud dibangun melalui hasil konstruksi berpikir manusia, yang disebut konstruk. Contoh konstruk adalah kemanusiaan. Denotasi dar konsepi kemanusiaan tentu tidak semudah ketika kita membayangkan denotasi untuk manusia.
Selain denotasi, ada cara pendefinisian lain, yakni dengan cara konotatif. Definisi ini juga mengenal beberapa bentuk. Dalam pembuatan definisi konotatif, yang berbentuk definisi riil, digunakan pedoman umum yang lazim disebut definitio fit per genus proximum et differentiam specificam. Ketika kita harus membuat definisi, maka mulailah dengan mencari genus terdekat. Sekitar abad ke-3 Masehi, dalam tradisi filsafat Yunani berkembang teknik berupa metode pohon porphyrius (porphyrian tree; arbor porphyriana), Pohon ini dibangun dari bawah dan beranjak makin abstrak ke genus yang lebih jauh di atasnya. Pada setiap level genus, hanya terdapat dua cabang saja. Kedua cabang ini saling berhadapan (dikotomis). Cabang yang sebelah kiri adalah cabang yang positif, sedangkan cabang sebelah kanan adalah cabang yang negatif. Hanya cabang yang positif saja yang dipakai (ingat bahwa salah satu dalil penting di dalam pembuatan definisi adalah tidak boleh memuat kata-kata penyangkalan, seperti kata tidak atau bukan). Cabang ini memuat ciri yang paling spesifik (esensial) dari definiendum dibandingkan dengan anggota-anggota (denotasi) genus tersebut. Contoh pohon itu adalah sebagai berikut:
Terma yang ingin didefinisikan (definiendum) dalam pohon ini adalah manusia. Genus terdekat dari manusia menurut pohon ini adalah binatang. Jadi, manusia adalah binatang yang berakal budi. Jika pohon porphyrius tentang manusia ini ditarik makin ke atas, maka akan ditemukan juga definisi tentang binatang, yaitu sebagai benda hidup yang sensitif. Selanjutnya, benda hidup dapat didefinisikan sebagai badan yang bernyawa. Lalu, badan adalah substansi yang berbentuk. Demikian seterusnya, hingga sampai pada suatu genus yang tertinggi (summum genus), yang disebut ”yang ada” (being), sebuah konsep penting dalam cabang filsafat metafisika. Konsep ”yang ada” ini untuk lebih konkretnya dapat dipersamakan dengan substansi.
Mengingat definisi pada hakikatnya menghubungan satu konsep dengan konsep lainnya, maka tatkala membuat definisi, kita perlu menempatkan konsep-konsep itu pada kedudukan tertentu di dalam sebuah kalimat pernyataan. Setiap tempat diberi sebutan (predikat) tertentu. Dalam logika, predikasi (pem-predikat-an) merupakan sebuah cara untuk memperjelas kerangka konseptual (conceptual framework) yang sangat penting dalam perumusan suatu definisi.
Dalam uraian di atas telah disinggung tentang definisi manusia, yaitu binatang yang berakal budi. Ada beberapa predikat (predikabilia) dalam pernyataan itu: (1) manusia, (2) binatang, dan (3) berakal budi. Setiap predikat ini menunjukkan suatu konsep tersendiri, tetapi semuanya saling berhubungan. Di antara ketiga konsep ini ada satu predikat yang paling luas, yaitu binatang. Konsep binatang adalah sebuah genus bagi manusia. Di atas binatang tentu ada genus-genus lain yang lebih abstrak, namun pohon porphyrius menyatakan bahwa genus inilah yang paling dekat (genus proximum) terhadap konsep manusia. Jadi, terma binatang [sementara ini] dipakai sebagai sebutan atau predikat untuk memperjelas konsep manusia. Dalam konteks ini, genus binatang tersebut merupakan suatu predikat esensial. Di bawah genus, terdapat spesies. Dalam konteks ini, spesies dari binatang adalah manusia. Jadi sebenarnya manusia pun adalah suatu sebutan (predikat), yakni sebagai spesies, yang kebetulan dalam hal ini berada dalam posisi sebagai subjek yang didefiniskan (definiendum).
Predikat lain yang juga esensial adalah berakal budi. Konsep akal budi (rasionalitas) merupakan atribut yang esensial, dalam arti mutlak ada pada manusia. Predikat ini disebut dengan diferensia (differentia), yang justru sangat penting untuk memberikan ciri khas (spesifik) pada manusia dibandingkan dengan anggota kelompok binatang lainnya di luar manusia. Ketiga predikabilia di atas merupakan predikabilia esensial karena mutlak (harus) ada pada sebuah konsep manusia. Oleh sebab itulah, sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya, definisi manusia sebagai binatang yang berakal budi (rasional) merupakan definisi hakikat.
Cara membaca pohon di atas dapat juga dilakukan dengan cara melompati beberapa genus sekaligus. Misalnya, kita memilih genus di atas binatang, sehingga genusnya sekarang menjadi benda hidup. Frasa penjelas (definiens) untuk terma yang ingin dijelaskan (definiendum) ‘manusia’ akan berbunyi sebagai berikut: manusia adalah benda hidup yang sensitif dan berakal budi. Apabila kita ingin naikkan lagi genusnya menjadi makin jauh, maka definisi untuk manusia menjadi sebagai berikut: manusia adalah badan yang bernyawa, sensitif, dan berakal budi. Jika ingin dilanjutkan lagi, maka definisi yang lebih luas menjadi: manusia adalah substansi yang berbentuk, bernyawa, sensitif, dan berakal budi.
Melalui cara pembacaan pohon porphyrius ini, kita dapat menyimpulkan bahwa genus proximum berperan untuk memperpendek uraian definiens. Frasa penjelas pada definens menjadi lebih singkat dibandingkan jika genusnya tidak dicarikan yang terdekat.
Mari sekarang kita terapkan cara pembuatan definisi melalui pohon porphyrius ini pada definisi suatu terma hukum (legal term). Ada dalil penting dalam pembuatan definisi, yakni kata yang didefinisikan (definiendum) tidak boleh muncul di dalam frasa penjelas (definiens). Dalam banyak definisi atas terma hukum, dalil ini sering diabaikan. Misalnya, kita ingin mendefinsikan tentang hak guna pakai air. Dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dikatakan bahwa hak guna pakai air adalah hak untuk memperoleh dan memakai air. Definisi ini kurang baik karena kata hak, pakai, dan air, sama-sama muncul di dalam definiendum dan definiens. Namun, dalam definisi hukum hal ini bisa ditoleransi karena kata-kata itu juga merupakan terma hukum dan biasanya juga sudah didefinsikan secara khusus.
Kata “hak guna pakai air” memang dikenal di dalam UU Sumber Daya Air (SDA). Jika dicarikan apa genus terdekat dari terma ini, maka akan ditemukan kata “hak guna air”. Kata ini bisa ditemukan di dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA). Menurut UU SDA, hak guna air dibedakan menjadi hak guna pakai air dan hak guna usaha air. Faktor pembedanya adalah soal pemakaiannya untuk nonkomersial dan komersial. Jika demikian halnya, maka kita dapat memperbaiki definisi tentang hak guna pakai air ini menjadi sebagai berikut: hak guna pakai air adalah hak guna air untuk mengkonsumsi air secara nonkomersial. Untuk tahu apa itu hak guna air, maka undang-undang sudah sepatutnya membuat definisi. Kita dapat memikirkan definsi yang lebih baik dengan pohon porphyrius ini, namun sekali lagi, dengan mengabaikan dalil pembuatan definisi bahwa kata yang ada di dalam definiendum tidak boleh muncul dalam definiens.
Apakah genus terdekat untuk hak guna air? Jika kita anggap kata ‘hak’ adalah terma analog yang bisa dipadankan dengan kata-kata lain untuk menerangkannya (ingat hukum DM, diterangkan-menerangkan), maka genus terdekat untuk hak guna air adalah hak guna. Sayangnya, terma ‘hak guna’ belum ditemukan dalam peraturan perundang-undangan. Dalam UUPA, ada istilah ‘hak guna usaha’, tetapi bukan ‘hak guna’. Untuk keperluan tulisan ini, kita akan coba tawarkan terma ini. Dan, pada level di atasnya lagi, ada terma ‘hak’. Apabila kita coba bangun pohon porphyrius untuk ‘hak guna pakai air’, maka kurang lebih tergambar pohonnya sebagai berikut:
Perlu dicatat bahwa definisi di atas tidak sejalan dengan definisi yang ditemukan di dalam peraturan perundang-undangan. Tulisan ini justru ingin mengoreksi pendefinisian di dalam undang-undang itu dengan menggunakan pohon porphyrius. Diharapkan pendefinisian dengan bantuan pohon porphyrius ini akan membuat definisi yang ditampilkan menjadi lebih sistematis dan mudah dicerna secara logika. Dengan demikian, kita akan temukan urutan pendefinisiannya menjadi sebagai berikut:
- hak guna pakai air adalah hak guna air untuk mengkonsumsi air secara nonkomersial.
- hak guna air adalah hak guna terkait dengan sumber daya air.
- hak guna adalah hak dalam rangka memanfaatkan [suatu objek hukum tertentu].
Jika hak guna pakai air ingin dinaikkan genusnya menjadi lebih tinggi, maka akan dapat dilakukan pendefinisian sebagai berikut:
- hak guna pakai air adalah hak guna air terkait dengan sumber daya air untuk mengkonsumsi air secara nonkomersial.
- hak guna pakai air adalah hak dalam rangka memanfaatkan sumber daya air untuk mengkonsumsi air secara nonkomersial.
Tentu saja, kita masih dapat terus berkelana lebih jauh lagi untuk mencari apa definisi dari ‘hak’. Demikianlah seterusnya sampai pada akhirnya kita akan bertemu dengan genus tertinggi (summum genus). Upaya ini memang melelahkan, namun sangat mencerahkan. (***)