SUBSTANSI GUGATAN DERIVATIF DAN MASALAHNYA
Oleh AGUS RIYANTO (Agustus 2018)
Lahirnya Undang-undang (“UU”) di dorong semangat untuk mengatur obyek yang diaturnya, menjaga hak dan kewajiban, menjalankan prosedur bagaimana seharusnya, sengketa jalan keluarnya dengan cara apa dan sanski terhadap yang melanggarnya. Kesemuan ketentuan itu bermuara kepada kepastian hukum untuk dapat hadirnya keadilan menjalankannya, namun realitasnya idealisme itu tidaklah identik dengan kenyataan yang telah diaturnya. Hal itu terjadi, karena terdapat salah satu ketentuan substansial-material UU terlalu umum dan tidak lengkap, sehingga berakibat kepada tidak dapat diwujukan. UU ini bagaikan mengatur, tetapi tidak mudah dijalankan terdapat dalam pasal 97 ayat (6) dan pasal 114 ayat (6) Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (“UUPT”). Ketentuan ini terbatas hanya mengatur syarat untuk menggugat harus 1/10 (satu persepuluh) dari seluruh pemegang saham ke Pengadilan Negeri dengan dasar Direksi atau Komisaris melakukan kesalahan atau kelalaian dan berakibat dapat terjadinya kerugian dalam perseroan. Berangkat dari ketentuan yang demikian ini, maka pengaturan gugatan derivatif dalam UUPT setengah hati kehendak pembentuk UUPT. Hal ini menjadikan gugatan derivatif sulit diperjuangkan dalam menghadapi konstelasi keterbatasan kepemilikan pemegang saham di internal perseroan, meskipun diakui telah diaturnya di dalam UUPT.
Di tengah kompleksitas dalam sengketa gugatan derivatif di Pengadilan, maka pengaturan yang limitatif menumbuhkan permasalahan yang tidak mudah terjawabkan. Masalah-masalah tersebut di antaranya : Pertama, pembatasan menggugat harus 1/10 (satu persepuluh) pemegang saham membuat ruang dan gerak pemegang lainnya (kurang dari ketentuan jumlahnya) menjadi tidak dapat menggugat Direksi atau Komisaris. Tidak seharusnya ketentuan itu ada, karena setiap pemegang saham memiliki hak yang sama dengan pemegang saham lainnya (Pasal 52 UUPT). Dengan ketentuan ini sesungguhnya UUPT memiliki kehendak mensejajarkan di antara para pemegang saham, namun yang terjadi dengan gugatan derivatif bertolak belakang dengan ketentuan tersebut. Lebih jauh jika ketentuan ini diguakan untuk Perusahaan Terbuka, maka semakin tertutup atau tidak mudah pemegang saham minoritas untuk dapat menggugat Direksi dan Komisaris. Hal ini terjadi, karena meski telah menjadi milik publik, tetapiPerusahaan Terbuka dengan jumlah saham yang dijualnya (dapat dikatakan sebagian besar yang tercatat di BEI) tidak lebih dari 20 persen. Artinya, kontrol atau penguasaan tetap kuat dan berada di pemegang saham mayoritas sebanyak 80 persen, sementara pemegang saham publik (minoritas) 20 persen masing-masing terbagi kepemilikan sahamnya dalam jumlah yang kecil-kecil dibawah 10 persen. Kedua, gugatan diajukan oleh pemegang saham kepada Pengadilan Negeri (“PN”). Seharusnya sengketa gugatan derivatif ini, sudah waktunya, dapat diajukan ke Pengadilan Niaga. Hal ini didasari pertimbangan bahwa sengketa gugatan derivatif itu termasuk sengketa bisnis, sehingga lebih tepat dalam ruang lingkup kewenangan Pengadilan Niaga dibandingkan Pengadilan Negeri. Apabila diselesaikan melalui PN, maka jangka waktunya dalam penyelesaiannya memakan waktu yang lama (PN, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung), sehingga dicarikan jalan penyelesaian sengketa yang sesuai keahlian Hakim yang menanganinya, lebih cepat dan tidak menghabiskan waktu bertahun-tahun menyelesaikan sengketa gugatan derivatif ini. Kebutuhan untuk menyelesaikan melalui Pengadilan Niaga di dasari kepada kebutuhan para pelaku usaha untuk mendapatkan penyelesaian sengketa dengan jangka waktu yang terukur dan sesuai dengan keahlian pengadilan yang akan menangani dan memutuskannya.
Ketiga,gugatan ditujukan kepada Direksi dan Komisaris. Direksi memiliki kewenangan yang tidak sama atau berbeda dengan Komisaris. Direksi yang operasional menjalankan usaha sehari-hari perseroan dan Komisaris yang akan mengawasi kebijakan dan jalannya perusahaan oleh Direksi. Berangkat dari hal itu, maka tepat apabila gugatan derivatif itu ditujukan kepada Direksi dan tidak kepada Komisaris. Mengapa Direksi ? Direksi adalah organ perseroan yang menjalankan usaha sehingga titik masalah dari apa yang terjadi adalah pihak yang mengetahuinya. Disamping juga, Direksi adalah organ yang berhubungan dan mewakili perseroan dengan pihak ketiga (eksternal) dan dalam hubungan internal Direksi adalah pihak yang langsung mewakili perseroan (internal), termasuk juga dengan pemegang saham. Melalui dasar pemikiran ini sudah waktunya untuk bahwa berangkat dari ruang lingkup kerja operasional perseroan, maka organ yang tepat digugat dalam kerangka gugatan derivatif adalah Direksi. Tidak tepat apabila gugatan derivatif juga ditujukan kepada Komisaris, karena memang fungsi dan kewenangannya berbeda dengan Direksi. Dengan cara berpikir demikian, maka jelas bahwa Direksi adalah organ yang sebaiknya menghadapi gugatan derivatif dibandingkan dengan Komisaris. Keempat, kesalahan atau kelalaian dan berakibat dapat terjadinya kerugian di dalam perseroan, sebagai dasar gugatan derivatif, tidak jelas kriterianya. Ketidakjelasan ini berakibat kepada tidak mudah untuk mengkualifikasikan bahwa tindakan Direksi atau Komisaris itu telah terjadi kesalahan atau kelalaian. Termasuk juga tidak jelas kerugian itu berapakah jumlahnya. Maksudnya, berapakah untuk kualifikasi kerugian itu memenuhi kriteria bahwa Direksi dan Komisaris dapat digugat di Pengadilan Negeri. Tidak jelasnya batasan tentang kesalahan atau kelalaian dan berakibat kerugian perseroan menjadikan tidak mudah mengkategorisasikan gugatan derivatif itu dapat diajukan atau tidak oleh pemegang saham. Hal ini dapat mempersulit pemegang saham membuktikannya di Pengadilan Negeri sebab kriteria itu tidak jelas ukurannya. Bahkan dalam penjelasan UUPT juga tidak menjelaskan apakah yang dimaksudkannya tentang hal-hal tersebut, sehingga potensi terjadinya hambatan dalam memerjuangkan hak gugatan derivatif sangat mungkin terjadi.
Berangkat dari penjelasan tersebut, maka gambaran jelas pengaturan gugatan derivatif dalam UUPT terdapat beberapa masalah. Masalah yang menjadikan tidaklah mudah bagi pemegang saham di dalam memperjuangkan hak gugat derivati. Untuk itu, maka harus dilakukan reformulasi ulang substansi yang telah diaturnya dengan memformat ulang terhadap keadaan regulasi yang ada, karena ia jauh dari ideal. Hal itu dapat dilakukan dengan mengatur keleluasaan pemegang saham dengan jumlah dibawah 1/10 (satu persepuluh) untuk menggugat Direksi. Dengan ketentuan ini, membuka kesempatan yang sama (equal opportunity)tanpa harus memperhatikan batasan jumlah kepemilikan dari saham yang dimilikinya sehingga terciptalah perlakuan yang sama (equal treatment)di organisasi usaha bisnis. Dalam rangka itu juga, maka sengketa gugatan derivatif sudah waktunya diberikan kewenangannya kepada Pengadilan Niaga untuk memutuskannya sebagai lembaga pengadilan yang memang memiliki pengalaman dan keahlian di dalam bidang usaha, sehingga dimungkinkan bahwa para pemegang saham yang mencari keadilan akan lebih terlindungi dan terpuakan dahaga keadilannya. Hal itu dapatlah diwujudkan dengan mempersempit bahwa gugatan derivatif hanya ditujukan kepada Direksi dan tidak ke Komisaris. Opsi ini dimaksudkan untuk menjadikan fokus yang ditangani oleh Pengadilan Niaga tidak menjadi melebar dan tidak jelas penyelesaiannya, serta memakan waktu yang lama apabila melalui Pengadilan Negeri. Yang terakhir harus diperjelas Batasan dan kriteria yang akan digunakan untuk mengatasi ketidakjelasan dari permasalahan arti kesalahan atau kelalaian dan berakibat dapat terjadinya kerugian dalam perseroan. Ini sudah waktunya untuk dielaborasi dengan jelas dan lengkap bagaimana seharusnya dan kemanakah batasan tersebut akan diarahkan kemana maksudnya. Dalam rangka untuk mempeoleh kejelasan, maka studi perbandingan pengaturan gugatan derivatifnya dengan negara-negara Common Law(misalnya : Inggris, Australia dan Amerika Serikat) adalah pilihan yang tidak dapat ditolak. Hal ini, karena di negara-negara tersebut telah memiliki tradisi kuat bagaimana mengatur dan bagaimana menyelesaikan gugatan derivatif dan tidak ada yang salah apabila belajar dari negara-negara yang telah lebih lengkap dan jelas mengaturnya. Tidak seharusnya mengurung diri dengan mempertahankan ketentuan gugatan derivatif yang ada dalam UUPT dengan tidak berkehendak untuk merubahnya. Merubah untuk memperbaiki ini adalah seharusnya dilakukan.
Published at :