FGD HUKUM SIBER DI UNIVERSITAS MALAYA BERSAMA PROF. ABU BAKAR MUNIR
Dua dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, yakni Dr. Shidarta dan Dr. Bambang Pratama, didampingi oleh Reinhard Christian Prima Surya, salah seorang mahasiswa yang tengah meneliti masalah hukum siber, pada tanggal 11 Agustus 2018, mengunjungi Kampus Fakulti Undang-Undang Universiti Malaya (Law Faculty, University of Malaya) di Petaling Jaya, Malaysia. Mereka disambut oleh Prof. Abu Bakar Munir, guru besar hukum siber di salah satu perguruan tinggi terbaik Malaysia ini. Prof. Abu Bakar Munir adalah ahli hukum siber terkemuka yang dalam beberapa kesempatan juga didaulat sebagai narasumber oleh Pemerintah RI dalam pengembangan hukum siber di Indonesia.
Pada kesempatan focus group discussion (FGD) yang berlangsung santai di ruang kerja beliau tersebut, dipaparkan tentang penelitian yang tengah berlangsung, sebagaimana dijalankan oleh dosen-dosen BINUS. Prof. Abu Bakar Munir menyinggung beberapa perkembangan terbaru tentang area hukum siber sampai saat ini. Demikian juga penelitian dan publikasi yang sudah dan sedang dilakukannya, khususnya dalam ranah perlindungan data pribadi. Para dosen hukum BINUS memperoleh informasi tentang kemajuan perlindungan di negara-negara lain, khususnya Malaysia. Oleh karena Indonesia belum memiliki peraturan di bidang ini, maka ada banyak pengalaman Malayia yang dapat dipetik untuk keperluan pengaturan peraturan tersebut di masa datang.
Personal Data Protection Act 2010 (Akta 709) yang berlaku di Malaysia tersebut, menurut Prof. Abu Bakar Munir termasuk perintis untuk kawasan Asia karena baru sedikit negara yang memiliki aturan di area hukum ini, bersama dengan Korea Selatan, Jepang, Singapura, Taiwan, Filipina, India, dan China. Dua teritori China lain yang termasuk dalam “barisan” ini adalah Hongkong, dan Macau. Prof. Abu Bakar Munir bersama dengan dua rekannya dari Fakultas Hukum Universiti Teknologi MARA dan University of Malaya menulis secara khusus buku tentang “Data Protection Law in Asia” terbitan Thomson Reuters, Hongkong (2018).
Khusus tentang peraturan yang berlaku di Malaysia, Prof. Abu Bakar mencatat sejumlah kelemahan. Ia mengemukakan sedikitnya tiga kelemahan. Pertama, ketentuan Akta 709 tidak diberlakukan bagi Pemerintah Federal dan Pemerintah Negara Bagian. Juga undang-undang ini tidak berlaku bagi setiap data pribadi yang diproses di luar Malaysia, kecuali data itu dimaksudkan untuk ditindaklanjuti pemrosesannya di Malaysia. Menurut Prof. Abu Bakar Munir, pengecualian ini tidak tepat karena undang-undang ini seharusnya tidak memberi pengecualian bagi siapapun. Kedua, data pribadi dimaknai sebagai setiap informasi yang terkait transaksi komersial, yang diproses atau direkam seluruh atau sebagian dengan perlengkapan yang beroperasi secara otomatis, atau direkam untuk keperluan sistem filing yang relevan. Menurut beliau, banyak kepentingan non-transaksi komersial yang juga berpotensi menyalahgunakan data pribadi, sehingga tidak harus dibatasi hanya untuk keperluan transaksi komersial. Hal ketiga yang dikritik oleh Prof. Abu Bakar Munir adalah posisi Komite Penasihat Perlindungan Data Pribadi (the Personal Data Protection Advisory Committee). Komite ini diangkat oleh menteri, terdiri dari seorang ketua, tiga anggota dari sektor publik, dan sedikitnya tujuh (tetapi tidak boleh lebih dari sebelas) orang anggota lain. Dilihat dari segi otoritas, tampak bahwa komite seperti ini tidak cukup independen.
Sejak keberlakuannya, Akta 709 dan Komite yang didirikan tidak banyak berurusan dengan kasus-kasus terkait perlindungan data priadi. Baru ada empat kasus saja yang terjadi, menimpa lembaga pendidikan yang dalam salah satu aktivitasnya mengumpulkan dan memproses data pribadi. Keempat institusi pendidkan itu tidak melaporkan kegiatannya itu. Untuk itu, mereka telah didenda, sekalipun dengan jumlah yang tidak signifikan. (***)