KEWENANGAN PENYELESAIAN SENGKETA UNTUK NON-MUSLIM DALAM AKTIVITAS EKONOMI SYARIAH
Oleh ABDUL RASYID (Agustus 2018)
Menurut UUD 1945 Pasal 24 ayat (2), dinyatakan bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan Peradilan Militer. Menurut Pasal 1 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dengan Peradilan Agama adalah ‘peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam’. Kemudian, menurut Pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 dinyatakan bahwa ‘Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a perkawinan; b. kewarisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam; c. wakaf dan shadaqah.
Berdasarkan Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 49 ayat (1) di atas berlaku asas personalitas Keislaman, yaitu suatu asas yang menentukan bahwa pengadilan agama hanya menyelesaikan sengketa perdata antara orang-orang yang beragama Islam saja di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqah. Dikarenakan sengketa perdata tersebut hanya melibatkan orang-orang yang beragama Islam, maka penyelesaiannya berdasarkan kepada hukum Islam.
Seiring dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat, khususnya masyarakat Muslim, pada tahun 2006, UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diamandemen dengan UU No. 3 Tahun 2006. Kewenangan Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa diperluas. Pengadilan Agama diberikan kewenangan baru untuk menyelesaikan sengketa ekonomi syariah. Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama menyatakan bahwa ‘Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari’ah.’
Adapun yang dimaksud dengan ‘antara orang-orang yang beragama Islam’, sebagaimana yang dijelaskan dalam penjelasan Pasal 49 UU No. 3 Tahun 2006, adalah, ‘termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan pasal ini.’ Berdasarkan penjelasan di atas, dalam perkara ekonomi syaroah asas personalitas keislaman tidak bisa diimplemetasikan. Untuk sengketa ekonomi syariah berlaku ‘asas penundukan diri.’ Artinya, semua pihak, termasuk non-Muslim, yang melakukan transaksi berdasarkan akad syariah atau menjalankan bisnis syariah, maka secara sadar ia telah menundukkan dirinya untuk mengikuti hukum Islam yang menjadi dasar aktivitas ekonomi syariah. Oleh karena itu, apabila terjadi sengketa ekonomi syariah yang melibatkan non-Muslim sebagai salah saatu pihak yang bersengketa, maka penyelesaian sengketanya diselesaikan di Pengadilan Agama, bukan di pengadilan umum berdasarkan asas penundukan diri sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. (***)
Published at :