HOAX DAN FAKE NEWS DALAM UU-ITE
Oleh BAMBANG PRATAMA
Di era informasi saat ini kita dapat dengan mudah melihat sirkulasi informasi, baik itu berita ataupun gagasan lainnya dengan sangat bebas (free flow of information). Dibalik informasi yang beredar, tentunya tidak seluruhnya adalah informasi positif. Informasi yang negative secara umum dikenal dengan sebutan hoax atau berita bohong yang umumnya dikirimkan untuk membentuk suatu opini tertentu, menggerakkan orang untuk melakukan sesuatu, menyesatkan, dan melakukan tipu muslihat tertentu. Maraknya peredaran hoaxtidak bisa dipungkiri lagi karena kemudahan media teknologi informasi untuk berbagi informasi satu sama lainnya hanya dengan beberapa kali klik menggunakan gawai cerdas (smart phone), sehingga tidak heran jika muncul adagium baru “jarimu harimaumu”.
Dalam perspektif global, saat ini hoax bisa dikatakan sebagai isu global yang dihadapi oleh banyak negara. Secara konseptual hoax dapat dibagi sebagai berikut: 1) kesalahan yang tidak disengaja, 2) kabar burung, 3) konspirasi teori, 4) berita satir, 5) kesalahan pernyataan dari politisi, dan 6) laporan yang salah atau menyesatkan.(Allcott and Gentzkow, 2017). Mengacu pada pendapat di atas, maka ada pembagian jenis hoax. Dari enam (6) jenis hoax di atas, maka ada jenis dan klasifikasi dari suatu informasi yang beredar. Selain terminology hoax terminologi fake news juga dikenal untuk menunjuk fenomena hoax. Namun, dari penelitian terbaru yang dikeluarkan oleh Uni Eropa (EU), seluruh jenis informasi yang dikategorikan sebagai fake news atau hoax di atas lebih tepat jika dikatakan sebagai ‘disinformasi’. Berdasarkan penelitian (EU) ada dua alasan mengapa terminologi disinformasi lebih tepat digunakan, yaitu (1) fake newadalah pabrikasi informasi negative yang disebarkan dengan menggunakan media teknologi informasi, (2) terminologi fake news tidak adekuat untuk menjelaskan fenomena sesungguhnya tentang informasi negatif, sehingga arti dari terminologi itu sendiri menyesatkan (misleading).
Mengacu pada pendapat EU di atas, menjadi menarik untuk melihat lebih dalam tentang arti dari terminologi ’disinformasi (disinformation)”. Menurut kamus Miriam Webster, disinformasi adalah informasi salah yang sengaja disebarkan untuk memperdaya atau menipu. Disinformasi berasal dari bahasa Rusia dezinformatsiyayang digunakan oleh agen Rusia, KGB untuk melakukan propaganda pada saat perang dingin. Oleh sebab itu, terminologi disinformasi tidak ada di dalam kamus sebelum tahun 1980an.
Selain penjelasan terminologi di atas, maka muncul pertanyaan selanjutnya tentang bagaimana pengaturan disinformasi menurut hukum Indonesia, khususnya UU-ITE?. Dari sistematika UU-ITE pengaturan tentang perbuatan yang dilarang dimulai dari pasal 27 sampai dengan pasal 35 UU-ITE. Terkait disinformasi, hanya ada dua pasal yang paling dekat mengaturnya, yaitu pasal 27 dan pasal 28 UU-ITE. Muatan dari pasal 27 antara lain tentang informasi yang melanggar kesusilaan, muatan perjudian, pencemaran nama baik, dan pengancaman. Sedangkan pasal 28 UU-ITE muatannya antara lain tentang berita bohong sehingga menyesatkan konsumen yang melakukan transaksi elektronik dan informasi yang disebarkan untuk menyebar kebencian dan permusuhan terkait suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA).
Dari dua pasal pada UU-ITE, maka pasal 28 UU-ITE terkait menyebarkan informasi kebencian dan permusahan terhadap SARA adalah pengaturan yang paling mendekati pengaturan tentang disinformasi. Apabila merujuk pada pendapat Allcott and Gentzkow, maka ada beberapa jenis hoax yang tidak diatur dalam UU-ITE, yaitu: kesalahan yang tidak disengaja, konspirasi teori, dan kesalahan pernyataan dari politisi. Pada prinsipnya, keenam jenis hoax yang diklasifikasikan oleh Allcott and Gentzkow bisa dijangkau oleh UU-ITE, hanya saja syarat dari perbuatan hoax-nya harus mengacu pada ketentuan UU-ITE, yaitu tentang kerugian konsumen dalam transaksi elektronik, pencemaran nama baik, kesusilaan, dan terkait SARA.
Dari penjelasan singkat di atas, pengaturan tentang informasi negatif seperti kabar bohong atau hoax tidak diatur secara rinci dalam UU-ITE. Selain itu secara terminologi juga tidak disebutkan secara tegas apakah itu hoax (partikular) atau disinformasi (general). Meski demikian bukan berarti tidak diatur sama sekali, tetapi harus ditafsirkan dengan cara mengaitkan dengan konteks informasi apa yang disampaikan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah kesalahan melakukan informasi secara tidak disengaja dan kesalahan pernyataan dari politisi yang saat ini belum diatur. Dengan diaturnya kesalahan pernyataan dan penyampaian informasi secara tidak disengaja maka diharapkan dapat melengkapi pengaturan tentang hak berinformasi di Indonesia, akan tetapi yang perlu diperhatikan adalah penerapan hukumnya sehingga tidak digunakan sebagai sarana kriminalisasi. (***)
Published at :